100 hari Kabinet Indonesia Maju bekerja jika dihitung dari hari pelantikan pada 23 Oktober 2019. Apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo pada awal periode kedua pemerintahannya ini amat mencemaskan, karena cenderung mengabaikan demokrasi dan penegakan hukum. Yang paling kentara adalah cara Jokowi menjadikan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai bawahannya melalui revisi undang-undang.

KPK bukan lagi lembaga independen, karena komisionernya harus tunduk kepada Dewan Pengawas yang dipilih oleh presiden. Padahal demokrasi yang sehat selalu memerlukan alat pengontrol, karena kekuasaan cenderung korup. Mengebiri lembaga penegak hukum sekaligus menjadikan presiden sebagai lembaga superbody jelas menyebabkan demokrasi jadi pincang.

Kasus raibnya politikus PDI Perjuangan Harun Masiku, yang diduga menyuap komisioner Komisi Pemilihan Umum untuk menjadi anggota DPR, adalah contoh betapa tumpulnya KPK di bawah undang-undang baru. Integritas orang-orang pilihan Jokowi yang memimpin lembaga ini pun semakin dipertanyakan. Kasus Harun Masiku amat memalukan sekaligus merupakan preseden amat buruk bagi penegakan hukum di republik ini.

Barangkali hal ini karena cita-cita Jokowi pada masa kampanye lalu, yang ingin menciptakan “rezim investasi” dalam lima tahun ke depan. Sebagai pengusaha, ia berkeyakinan pembangunan ekonomi akan berhasil jika ditopang investasi. Jokowi pun menganggap pemberantasan korupsi menghambat pembangunan. Upaya menarik sebanyak mungkin investasi itu tidak keliru. Tapi sungguh salah jika Jokowi beranggapan pemberantasan korupsi menghambat investasi. Korupsi yang merajalela justru akan menciptakan ekonomi biaya tinggi sekaligus ketidakadilan sosial.

Langkah Jokowi berikutnya adalah membuat undang-undang sapu jagat atau “omnibus law” di bawah nama Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Undang-undang baru ini akan mengubah sekaligus menyederhanakan aturan dalam 70 lebih undang-undang yang berkaitan dengan investasi. Tujuannya, antara lain, memangkas aturan tumpang-tindih yang selama ini merepotkan investor.

Cara yang sepintas bagus itu di tangan Jokowi menjadi jalan pintas yang membahayakan lingkungan dan nasib tenaga kerja. Karena semangatnya menyenangkan pemilik modal, semua hal yang memberatkan mereka dihilangkan. Penyelia dampak lingkungan, misalnya, akan ditunjuk oleh pengusaha, bukan pihak ketiga yang independen.

Dari semua itu, ciri utama pemerintahan Jokowi dalam 100 hari pertama periode kedua ini adalah tidak mendengarkan suara publik. Penolakan terhadap rencana memindahkan ibu kota ke Kalimantan, misalnya, karena berbahaya bagi hutan Kalimantan dan akan makan ongkos besar, tak digubris oleh Jokowi. Presiden jalan terus dengan niatnya itu.

Presiden Jokowi menjadi antikritik. Proses pembuatan omnibus law pun terkesan dirahasiakan, sehingga masyarakat tak bisa memberi masukan. Indeks demokrasi Indonesia yang merosot dalam lima tahun terakhir dan berada di bawah Malaysia, menurut The Economist Intelligence Unit, telah menunjukkan bagaimana Jokowi bekerja. Benar-benar mencemaskan.

Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1300874/100-hari-penuh-kecemasan/full&view=ok