Kita tidak sedang menghadapi sekadar pelanggaran prosedural. Kita sedang menyaksikan perampokan konstitusi di siang bolong, dibungkus legalitas dan disponsori kekuasaan. Berikut 100 alasan pertama mengapa Gibran layak dimakzulkan, dimulai dari titik asal kejahatan konstitusional itu: Mahkamah Konstitusi.

1–10: Kudeta Yudisial di Mahkamah Konstitusi
1. Gibran naik panggung politik lewat Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023.
2. Putusan itu mengubah syarat usia cawapres secara instan: 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah.
3. Perubahan itu hanya menguntungkan satu orang: Gibran Rakabuming Raka.
4. Paman Gibran, Anwar Usman, adalah Ketua MK yang memimpin perkara tersebut.
5. Anwar Usman melanggar etik berat karena konflik kepentingan dalam putusan yang menguntungkan keponakannya.
6. Majelis Kehormatan MK (MKMK) menyatakan pelanggaran itu terang-benderang dan menjatuhkan sanksi.
7. Tapi putusan MK yang cacat itu tetap diberlakukan, seolah pelanggaran etik tak punya konsekuensi hukum.
8. Ini preseden berbahaya: bahwa hukum bisa dilanggar asal yang melanggar adalah keluarga penguasa.
9. Kedaulatan hukum diganti dengan loyalitas kekuasaan.
10. Inilah bentuk awal kudeta konstitusional.
11–30: Manipulasi Legal demi Dinasti
11. Perkara MK No. 90 diajukan oleh seorang relawan Jokowi, bukan publik yang netral.
12. Uji materi itu dilakukan seolah-olah mewakili kepentingan umum, padahal untuk anak presiden.
13. Mahkamah seharusnya menjaga konstitusi, bukan memfasilitasi ambisi keluarga.
14. Semua tahu: perubahan aturan ini untuk meloloskan Gibran, bukan untuk demokrasi.
15. Ini mengkhianati kepercayaan publik terhadap lembaga yudikatif.
16. Reputasi MK sebagai penjaga konstitusi kini rusak total.
17. Jika MK bisa dipakai untuk menyesuaikan hukum demi keluarga presiden, maka siapa yang bisa menjamin keadilan untuk rakyat biasa?
18. Putusan ini membuka jalan bagi kekuasaan tanpa batas.
19. Hukum menjadi alat kepentingan politik dinasti.
20. Demokrasi berubah menjadi sistem yang tunduk pada satu keluarga.
31–50: Pembangkangan terhadap Etika dan Keadilan
21. Setelah terbukti melanggar etik, Anwar Usman hanya dicopot dari jabatan Ketua MK — tetap menjabat Hakim Konstitusi.
22. Ini bukan sanksi, ini olok-olok terhadap keadilan.
23. Pelanggaran etik berat seharusnya berujung pemecatan, bukan rotasi jabatan.
24. Laporan pelanggaran pidana Anwar Usman pun dibiarkan menggantung.
25. Tidak ada pemeriksaan pidana yang serius dari KY, Kejagung, maupun KPK.
26. Ini menunjukkan bahwa sistem pengawasan lembaga yudikatif tak berfungsi dalam kasus ini.
27. Pelanggaran hukum ditoleransi karena pelaku adalah bagian dari keluarga presiden.
28. Ini pelajaran buruk bagi generasi bangsa: hukum tunduk pada darah, bukan pada kebenaran.
29. Pelanggaran ini menodai seluruh proses demokrasi pemilu 2024.
30. Maka hasil dari proses yang cacat ini, yaitu keterpilihan Gibran, juga cacat legitimasi.
51–70: Legitimasi Gibran adalah Hasil Kejahatan Konstitusi
31. Tidak ada Gibran di kertas suara jika tidak ada manipulasi usia di MK.
32. Artinya: seluruh dasar pencalonannya adalah produk penyimpangan hukum.
33. Keabsahan Gibran sebagai cawapres adalah hasil rekayasa, bukan hasil rakyat.
34. Dalam demokrasi sejati, rekayasa hukum = bentuk penipuan terhadap pemilih.
35. Maka posisi wapres yang ia duduki adalah hasil dari kecurangan sistemik.
36. Gibran adalah satu-satunya politisi di era reformasi yang naik lewat skema manipulatif tingkat MK.
37. Pemilu tidak sah secara moral jika lahir dari keputusan yang melanggar etik yudisial.
38. Maka hasilnya pun layak dibatalkan secara politik dan hukum.
39. Ini bukan hanya soal Gibran — ini soal kehormatan sistem hukum kita.
40. Kalau tidak dimakzulkan, Gibran akan menjadi preseden sahnya kekuasaan dari skandal.
71–90: Pelanggaran Konstitusi adalah Dasar Makzulan
41. UUD 1945 Pasal 7B memperbolehkan pemakzulan jika presiden/wapres melanggar hukum atau tidak lagi memenuhi syarat.
42. Gibran sejak awal tidak memenuhi syarat konstitusional secara wajar.
43. Maka statusnya sebagai wapres bisa dipersoalkan lewat mekanisme DPR dan MPR.
44. Pelanggaran konstitusi adalah pelanggaran berat.
45. Apalagi bila dilakukan melalui kolusi keluarga dalam lembaga yudisial tertinggi.
46. Tidak ada cara lain memperbaiki sistem kecuali mencabut akar persekongkolan ini.
47. Pemakzulan bukan sekadar soal individu, tapi soal pengembalian martabat negara hukum.
48. Jika dibiarkan, maka pasal-pasal UUD hanya akan jadi kertas mati.
49. Gibran bukan hanya “produk” pelanggaran etik, ia adalah simbol pengkhianatan konstitusi.
50. Maka makzul adalah satu-satunya langkah restoratif untuk menegakkan supremasi hukum.
91–100: Demi Masa Depan Demokrasi
91. Demokrasi yang sehat tidak bisa lahir dari putusan MK yang cacat.
92. Legitimasi wapres tidak bisa ditopang oleh nepotisme dan pelanggaran etik.
93. Jika kita diam, kita mewariskan pembusukan konstitusi kepada generasi berikutnya.
94. Wapres hasil manipulasi akan melahirkan pemerintahan tanpa moralitas hukum.
95. Satu preseden ini akan jadi pintu masuk untuk kediktatoran masa depan.
96. Pemakzulan Gibran adalah terapi kejut untuk menyadarkan sistem.
97. Kita butuh tindakan tegas agar MK tidak lagi jadi alat dinasti.
98. Pemilu 2024 bisa kita pulihkan — dengan mencabut hasil dari putusan sesat.
99. Gibran harus dimakzulkan — bukan karena benci, tapi karena cinta konstitusi.
100. Demi republik, demi hukum, demi demokrasi: Makzulkan Gibran sekarang.

Oleh: Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M., Advokat & Konsultan Hukum