Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden merupakan proses demokratis yang penting dalam sistem politik Indonesia. Namun, ketika proses ini tercemar oleh pelanggaran etik, maka dapat mengancam legitimasi pemerintahan yang terpilih. Salah satu contoh yang kontroversial adalah ketika Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, diloloskan sebagai calon wakil presiden (cawapres) melalui pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pertama-tama, kita harus memahami bahwa pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua MK dan Ketua KPU adalah tindakan yang tidak dapat diterima dalam proses pemilihan umum. Sebagai lembaga yang seharusnya mengawal keadilan dan kebenaran, Ketua MK seharusnya tidak memihak kepada calon tertentu dan menjalankan tugasnya dengan independen. Namun, jika Ketua MK terbukti melakukan pelanggaran etik dengan memfasilitasi pencalonan Gibran sebagai cawapres, maka hal ini akan merusak integritas lembaga tersebut.
Selain itu, pelanggaran etik juga dilakukan oleh Ketua KPU yang seharusnya bertanggung jawab atas kelancaran dan keadilan proses pemilihan umum. Jika Ketua KPU terlibat dalam pelanggaran etik dengan mengabaikan prinsip-prinsip netralitas dan keadilan dalam proses seleksi calon, maka hal ini akan meragukan integritas KPU sebagai lembaga yang mengatur pemilihan umum.
Jika Gibran diloloskan sebagai cawapres melalui pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua MK dan Ketua KPU, maka diperkirakan legitimasi pemerintahan yang terpilih pada Pemilu 2024 akan lemah. Masyarakat akan meragukan keabsahan dan keadilan dalam proses pemilihan tersebut. Hal ini dapat memicu ketidakpuasan dan ketegangan politik, yang pada akhirnya dapat mengganggu stabilitas negara.
Lebih lanjut, jika Gibran terpilih sebagai wakil presiden melalui pelanggaran etik, maka akan timbul pertanyaan mengenai kualifikasi dan kompetensinya sebagai pemimpin negara. Masyarakat akan meragukan apakah Gibran dipilih berdasarkan kemampuannya atau hanya karena kedekatannya dengan Presiden Joko Widodo. Hal ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan dan menghambat pembangunan negara.
Untuk menghindari lemahnya legitimasi pemerintahan yang terpilih, sangat penting bagi lembaga-lembaga terkait, seperti MK dan KPU, untuk menjalankan tugasnya dengan profesional dan independen. Mereka harus mengutamakan keadilan, transparansi, dan integritas dalam proses pemilihan umum. Selain itu, masyarakat juga perlu aktif dalam mengawasi dan mengkritisi proses pemilihan umum agar tercipta pemilihan yang adil dan berkualitas.
Demokrasi adalah pondasi penting dalam sistem politik Indonesia. Oleh karena itu, menjaga integritas dan keadilan dalam proses pemilihan umum adalah tanggung jawab bersama. Jika pelanggaran etik terjadi dan Gibran diloloskan sebagai cawapres, maka kita harus bersama-sama berjuang untuk memperbaiki sistem dan memastikan bahwa pemilihan umum yang akan datang memiliki legitimasi yang kuat dan diakui oleh semua pihak.
Eksplorasi konten lain dari Bernard Simamora
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.