Oleh Bernard Simamora
Berbicara tentang aspirasi dalam demokrasi perwakilan, setidaknya melibatkan tiga pihak; pemilik aspirasi, penyerap dan pembawa/penyampai aspirasi, dan penerima akhir aspirasi (end user). Andaikan kembali ke titik nol, aspirasi paling awal dibutuhkan sebagai masukan untuk menyusun kebijakan (policy), yang bila mengakomodir aspirasi yang berkembang, kita namakan kebijakan yang aspiratif.
Tetapi aspirasi tidaklah statis. Relatif terhadap dinamika implementasi kebijakan aspiratif yang telah dibuat, aspirasi juga dinamis. Pada tahap ini, aspirasi berkembang, lebih dari sekadar bahan pembuatan kebijakan, tetapi juga sekaligus menjadi feed back (umpan balik). Kebijakan (misalnya sudah aspiratif) yang diambil, sedang atau telah diimplementasikan belum tentu konsisten aspiratif.
Sebagai stake holder utama bangsa, rakyatlah pemilik aspirasi, dan untuk mereka kebijakan-kebijakan para pemimpin bangsa dibuat, bukan untuk para pejabat – tentu saja. Disisi lain, dalam demokrasi perwakilan, aspirasi tertentu dibawa dan disampaikan oleh wakil rakyat, atau anggota/badan legislatif, yang di negara kita diperankan DPR, DPD dan DPRD.
Selanjutnya, badan legislatif ini menjadi lawan main Presiden, Gubernur, Walikota, dan Bupati (eksekutif) dalam pembuatan serta implementasi kebijakan (yang seharusnya, dengan demikian “dijamin aspiratif”). Paling tidak, eksekutif (end user aspirasi) cenderung akan mencari cara termudah mengelola bangsa, sedang legislatif di sisi sebaliknya yang seharusnya merasa ada jutaan gerbong berisi ratusan juta aspirasi untuk dipikul eksekutif.
Bila demikian, menjadi sangat relevan suatu situasi kerja di dalam mengurus negara/daerah, dimana legislatif secara dominan beroposisi dengan eksekutif. Disamping itu, menjadi sangat penting agar kelihaian, kepakaran, penguasaan teknis, dan profesionalisme anggota Dewan (DPR, DPD, DPRD) setingkat dengan skill pejabat negara. Sebelum berkuasa, PDIP (dulu PDI) dipelopori tokoh PDI Kwik Kian Gie pernah membentuk apa yang disebutnya sebagai Kabinet Bayangan, yang dalam pemahaman sederhana, ditugasi partai membayang-banyangi eksekutif. Kabinet Bayangan menjadi sesuatu yang revolusioner saat itu, dimana Soeharto masih sangat-sangat kuat. Jangankan membayang-bayangi, membayangkan Soeharto saja bisa tidak selamat kala itu.
Mengapa saat ini praktis tidak ada partai politik yang melanjutkan ide sejenis. Bahkan seharusnya, seorang anggota legislatif harus memiliki miniatur kabinet berupa tim ahli. Dengan demikian aspirasi yang diemban anggota legislatif tidak mentah-mentah dibawa ke meja pembuatan kebijakan.
Sabtu (11/6), presiden SBY membuka jalur pengaduan melalui SMS langsung ke nomor Handphone RI-1 pilihan rakyat itu. Apakah begitu banyak saluran aspirasi yang mampet saat ini sehingga RI-1 harus membuka jalur pengaduan via SMS di HP sendiri? Jelas! Boro-boro membawa aspirasi rakyat, bukankah anggota legislatif kita sibuk menelan kue APBN/APBD? Sebutlah APBD-Gate di Garut ketua DPRD, APBD-Gate Jabar yang melibatkan Eka Santosa, ketua DPRD Jabar saat itu. Belum lagi kasus-kasus pemboboloan APBN.
Jelas, saluran aspirasi rakyat telah/sedang/tadinya macet, kalau tidak disebut macet total. Jika Iwan Falls menyebut dewan legislatif sebagai tukang stempel, tukang ngantuk dan hanya bisa duduk manis ketika sidang soal rakyat, kini lebih parah lagi: tukang makan uang rakyat!
Di satu sisi, langkah SBY ada benarnya membuka jalur pengaduan lewat SMS. Meski hal itu dinilai berbagai pihak meniupkan angin sorga dan cenderung cari sensasi, sedikit masih dapat dibenarkan dari pada tidak sama sekali. Tetapi, meski pun langkah spontan SBY yang ini ada benarnya, tetap saja kental muatan politis, walaupun dicoba sebagai bahan pembuatan policy. Jika sebagai inputan bagi kebijakan, dan bukan unsur politis murni, seyogianya langkah RI-1 itu lebih dahulu dipersiapkan sistem, follow up, dan parameter bahwa pengaduan yang dikirim lewat SMS itu ada hasilnya. Alih-alih sebagai konsumsi policy langkah itu jelas kental politik.
Dengan modus yang sama dengan langkah spontan SBY tetapi bentuknya berbeda tengah berlangsung dimana-mana di seantero nusantara oleh para pejabat publik kita. Dalam Pilkada misalnya, sejumlah acara sosial dimuati dan dimanfaatkan para Calon Kepala Daerah untuk curi start kampanye. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana sejumlah Calon Kepala Daerah di beberapa daerah menerbitkan Al-Quran dengan sampul foto diri.
Budaya membohongi publik masih juga belum pudar dalam tingkah polah pejabat publik kita. Pada hal, telah banyak bukti bahwa ternyata kebohongan publik sangat cepat terbongkar. Rupanya para pejabat secara umum belum mengalami pergerseran paradigma, masih tetap mengganggap masyarakat sebagai kumpulan orang bodoh. Dan barangkali, mengapa pembangunan pendidikan begitu lamban dan berjalan mundur, mungkin adalah kesengajaan. Betapa tidak, pejabat yang cenderung mempertahankan posisinya, mungkin membutuhkan rakyat sebagai kumpulan orang bodoh. Sehingga bila saatnya sebuah pemikiran dan trik spontan pejabat, rakyat tidak bisa membedakan apakah itu konsumsi politik atau policy.
(Dimuat pada Harian Umum Pelita Indonesia, 14 Juni 2005)