Pembaptisan Yesus merupakan peristiwa di mana Yesus Kristus datang kepada Yohanes Pembaptis untuk dibaptiskan dan menjadi tanda permulaan pelayanan-Nya. Peristiwa ini dicatat di keempat Injil dalam Alkitab Kristen.
Pada usia 30 tahun Yesus memulai pelayanannya. Ia mula-mula pergi ke sungai Yordan, di sana ada Yohanes Pembaptis yang mengajak orang untuk percaya kepada Allah dan membaptiskan mereka di sungai. “Maka datanglah Yesus dari Galilea ke Yordan kepada Yohanes untuk dibabtis olehnya.” (Matius 3:13). Yesus pun lalu dibaptiskan oleh Yohanes Pembaptis, meskipun semula Yohanes merasa tidak layak karena ia tahu bahwa Yesus adalah Tuhan.
“Tuhan Yesus kok dibaptis oleh manusia?” Pertanyaan ini sering mengusik logika kita. Namun bila hanya nalar yang kita gunakan, niscaya kita tidak akan selalu menemukan jawaban yang memuaskan selain mengimani makna peristiwa itu. Bukankah umumnya orang yang membaptis memiliki otoritas yang lebih daripada orang yang dibaptis? Apakah ketika Yesus dibaptis, itu menunjukkan bahwa otoritas yang dimiliki oleh Yesus jauh lebih berkurang ketimbang Yohannes pembaptis?
Yohanes sendiri penuh keheranan ketika Yesus datang kepadanya karena Yesus menginginkan baptisan dari Yohanes. Yesus memberitahukan Yohanes alasannya kenapa Dia harus dibaptis, “menggenapkan seluruh kehendak Allah.” Yesus dibaptis bukan berarti Yesus memerlukan pembasuhan atas dosa-Nya, sebab Ia tidak mengenal dosa (II Korintus 5:21 dan Ibrani 4:15). Baptisan Yesus merupakan tanda solidaritas-NYA dengan manusia yang berdosa. Ia dibaptiskan dengan air bukan karena Ia berdosa, namun merupakan simbol dimulainya pelayanan pengabaran Kerajaan Sorga yang dilakukan-Nya selama 3 tahun hingga Ia disalibkan, wafat dan bangkit.
Paulus mengatakan bahwa Ia yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama manusia (Filipi 2:6-7). Karya Allah menjadi manusia adalah suatu perbuatan cinta kasih Allah yang tidak pernah terpikirkan manusia. Benarlah kata Paulus : “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.” (1 Korintus 2:9) Kelahiran-NYA melalui perawan Maria, Baptisan-NYA oleh Yohanes, dan Seluruh Karya-NYA merupakan wujud nyata solidaritas-NYA atas diri manusia agar manusia memperoleh anugerah keselamatan. Ia berlaku demikian karena Ia begitu memahami keberadaan manusia, yang butuh penyelamatan dan kasih-NYA. Dalam kondisi yang seperti ini kemuliaan Allah dinyatakan dan kemudian terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan”.
Keteladanan Yesus dalam solidaritas menerima batisan Yohanes kiranya menginspirasi kita. Tatanan kehidupan modern yang cenderung egosentris dan menggunakan previllage masing-masing seluas mungkin. Sebaliknya, solidaritas menegaskan sikap-sikap saling tergantung, saling membutuhkan, dan saling bertanggung jawab terhadap sesama. Solidaritas menjadi perwujudan kesadaran seseorang bahwa ia tergantung kepada orang lain dan orang lain pun membutuhkan dirinya untuk berkembang bersama. Solidaritas bukanlah ramai-ramai ikut demonstrasi ke sana kemari atau beramai-ramai mendatangi lokasi bencana dan menonton. Tujuan solidaritas adalah membangun kesejahteraan umum.
Bentuk solidaritas bisa bermacam-macam. Kita mengenal berbagai gerakan solidaritas dalam Gereja, misalnya pendampingan kaum buruh, pendampingan kaum tani, gerakan kaum miskin kota, pendampingan anak-anak jalanan, dsb. Di luar Gereja masih ada banyak gerakan solidaritas. Karena kesejahteraan umum ditujukan bagi semua orang dan setiap kelompok, solidaritas menuntut setiap gerakan untuk tidak mengabaikan dan menyisihkan kelompok lain.
Kaitan erat solidaritas dan kesejahteraan umum memunculkan prinsip partisipasi. Partisipasi merupakan wujud dari panggilan kepada kesempurnaan yang ditujukan kepada semua orang. Karena martabat yang sama, citra Allah, setiap manusia memiliki hak yang sama untuk ikut ambil bagian dan menarik manfaat dari kesejahteraan umum demi perkembangan mereka. Demikian juga, setiap orang berkewajiban ambil bagian dalam membangun kondisi-kondisi yang dibutuhkan manusia untuk berkembang. Hak dan Kewajiban tersebut sama sekali tidak bergantung pada jasa, pengabdian, jabatan, kekayaan, dst. Dasar dari hak untuk partisipasi ini semata-mata adalah martabat sebagai gambar dan rupa Allah.
Kiranya Tuhan Yesus memberkati Kita.
Disarikan oleh Bernad Simamora dari Khotbah Pdt. Roy Alexander Surjanegara, Minggu 13 Januari 2013 di GKI Jalan Maulana Yusuf Bandung.
Eksplorasi konten lain dari Bernard Simamora
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.