Kampanye dengan merusak citra lawan secara langsung atau biasa disebut black campaign dilakukan secara terang-terangan oleh dua calon presiden AS     Barrack Obama dan John McCain. Hal itu dikatakan Guru Besar Linguistik (Emeritus) Prof Dr Benny H Hoed dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI kepada Kompas.com, Minggu (2/11).

“Kalau di AS kan memperlihatkan kelemahan-kelemahan lawan bukan dalam policy dengan bahasa kampanye itu kan memang tak dilarang. Jadi di sana pembongkaran track record seperti kandidat itu dulu berhubungan dengan siapa saja, jaringannya siapa tahu terlibat kasus apa dilakukan secara terbuka,” jelas Benny.

Menurit Benny, praktik semacam itu di Indonesia memang tak dibenarkan, tetapi yang terjadi justru ketidakjelasan karena lawan politik yang dikritik tak secara jelas disebutkan secara langsung. “Ya, kalau di sini, kan seperti main bilyar, mau ‘nembak’ siapa tapi yang kena bisa kandidat yang dituju melalui orang lain,” ujarnya.

Benny mengatakan hal seperti itu di Indonesia dilakukan dengan membangun lingkungan wacana yang merugikan calon lawan tapi menggunakan alat-alat di luar kampanye. “Contoh yang terjadi di sini, membuka suatu kasus, yang nantinya berimbas pada track record salah satu capres,” jelas Benny.

Cara komunikasi politik lain yang dilakukan dua kandidat Obama-McCain yakni dengan pengembangan citra melalui media massa. “Iklan dua kandidat tersebut di media massa memakai simbol-simbol yang mudah ditangkap oleh berbagai kalangan, meski mereka juga membuat iklan dengan lebih tersegmentasi,” tuturnya.

Ia menekankan pembentukan citra melalui media, juga dilakukan oleh para kandidat capres di Indonesia. “Tetapi dari segi penempatan segmentasi iklan lebih terfokus di AS karena mereka melihat berdasar tingkat usia, pekerjaan dan tentunya kebutuhan. Sedangkan di sini, lebih luas segmennya, tetapi cara beriklan di media ini paling efektif digunakan,” tandasnya.

Tingkat efektivitas pembentukan citra di media, menurut Benny, melalui penggunaan bahasa-bahasa simbol masa lalu juga kerap digunakan untuk memperkuat image figur capres. “Lihat saja, misal iklan PDI-P menggunakan gambar Bung Karno di belakang, iklan PKB menggunakan gambar Gus Dur, dan sebagainya. Selain itu mengekspos terlalu banyak fenomena penderitaan rakyat seperti kemiskinan untuk membentuk citra heroisme pemimpin,” tegasnya.

Benny mengatakan penggunaan iklan di media massa lebih efektif untuk membentuk citra figur terkait dengan tingkat pendidikan para calon pemilih yang masih belum memadai. “Masyarakat kita masih menelan mentah-mentah apapun yang ditawarkan televisi, hal ini tak berlaku lagi bagi publik AS, tak heran penggunaan iklan di AS tak terlalu menonjol sebagai sarana komunikasi politik. Yang lebih menonjol di sana adalah perang wacana melalui kebijakan secara teknis dan menyangkut policy substansi ,” jelasnya. (kompas)