oleh Novri Susan
Pemilu 2004 bisa jadi adalah pengalaman yang mengesankan bagi bangsa Indonesia. Asas luber dan jurdil bisa ditegakkan, pujian dunia internasional bagi demokrasi muda Indonesia, dan terutama tertutup rapatnya layar kekerasan. Tidak ada korban jiwa dan kerusakan fasilitas sosial. Bangsa ini berhasil dalam berdemokrasi melalui Pemilu 2004. Namun, apakah Pemilu 2009 nanti bisa lebih baik daripada Pemilu 2004 dan berlangsung tanpa konflik kekerasan yang mengancam demokrasi damai bangsa?
Gejala kekerasan bagi terbukanya layar kekerasan pada Pemilu 2009 sebenarnya sudah bermunculan. Paling tidak ada gejala kekerasan pemilu yang menonjol, yaitu konflik kekerasan yang muncul dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Pelaksanaan pilkada di Indonesia sering diikuti oleh perilaku kekerasan. Bangsa ini terenyak ketika pilkada di Tuban tahun 2005 diwarnai perilaku kekerasan massa pendukung partai dan kandidat kepala daerah. Sebagian gedung utama pemda dihancurkan dan dibakar. Suasana damai dalam dunia sosial ekonomi sehari-hari ikut terganggu. Konflik kekerasan pilkada pun menjadi fenomena di daerah-daerah lainnya. Tengok saja konflik kekerasan pilkada baru-baru ini di Maluku Utara.
Secara sosiologis, perilaku kekerasan dalam konflik pilkada ini mencerminkan kondisi psikologis sosial masyarakat yang berada dalam keterpurukan. Keterpurukan sosial ekonomi akibat buruknya berbagai kebijakan negara tersebut menciptakan kegelisahan luar biasa dalam masyarakat. Lapangan pekerjaan yang sempit, hantaman kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, mahalnya akses pendidikan, dan kesenjangan sosial adalah berbagai faktor pembusuk kondisi psikologi sosial masyarakat. Suatu kondisi yang menciptakan fakta kegelisahan sosial dalam masyarakat miskin.
Secara alami kegelisahan masyarakat miskin menyatu dalam modal sosial yang eksis dalam kehidupan mereka. Menjadi kekuatan gerak kolektif yang dekat dengan perilaku kekerasan. Karena, bersatunya kegelisahan dan modal sosial adalah sensitivitas, kecurigaan, dan kemarahan di tingkat komunal. Elite politik sadar akan hal ini. Elite politik yang tidak siap menerima kekalahan pilkada dan berideologi konflik ”rawe-rawe rantas malang-malang putung” (contentious) menjadikan kegelisahan modal sosial dari masyarakat miskin sebagai instrumen bagi ideologi konflik contentious mereka.
”Conflict governance”
Pemilu 2009 pada dasarnya menghadapi fakta mengenai eksisnya kegelisahan modal sosial dari masyarakat yang terpuruk. Pada level analisis instrumentasi elite-elite politik yang tidak siap kalah dalam pemilu terhadap kegelisahan modal sosial bukan hal yang tidak mungkin. Hanya saja, berbicara fakta yang berarti data politik yang menjelaskan instrumentasi tersebut tidak mudah ditemukan. Negara saat ini belum memiliki mekanisme hukum mengenai pencarian fakta instrumentasi kegelisahan modal sosial oleh elite-elite politik untuk menciptakan aksi kekerasan kolektif. Dengan demikian, mudah bagi para elite politik menghindar dari tanggung jawab instrumentasi kegelisahan modal sosial tersebut.
Berhadap dengan kasus ini, negara ini membutuhkan lebih dari deklarasi damai partai-partai politik untuk pemilu. Deklarasi itu hanya bisa mengharapkan kualitas moral para elite politik tanpa norma yang jelas. Hal ini seperti bermain judi. Jika tidak beruntung, salah mengharapkan tebakan, kerugian akan segera dipanen. Begitu juga deklarasi damai partai-partai politik untuk Pemilu 2009 nanti seperti judi. Karena, deklarasi damai tersebut belum tentu mampu mengontrol moral politik elite partai. Untuk itu, yang diperlukan hadir untuk menutup rapat layar kekerasan, setelah deklarasi damai parpol, adalah conflict governance.
Conflict governance idealnya adalah mekanisme politik yang mentransformasi konflik yang tidak produktif, atau konflik kekerasan, menjadi konflik yang produktif. Konflik produktif mengartikan dirinya sebagai praktik negosiasi terus-menerus dalam ruang politik yang mendasarkan pada prinsip-prinsip demokratis. Demokrasi deliberasi dalam hal ini adalah fondasi yang paling tepat bagi conflict governance. Negosiasi yang berdiri di atas akal sehat, imparsialisme, mendengarkan, kesetaraan, nir-kekerasan, dan aturan main legal.
Undang-undang
Untuk memulai ini, pemerintah sebagai pelaksana negara harus memiliki sistem conflict governance bagi Pemilu 2009. Ada dua langkah penting berkaitan dengan program ini. Pertama, mencari landasan hukum bagi conflict governance. Idealnya ada undang-undang tersendiri mengenai tata kelola konflik. Usulan masyarakat sipil mengenai keberadaan undang-undang tata kelola konflik harus segera direspons oleh negara. Ketiadaan landasan hukum ini menyebabkan tidak adanya prosedur jelas mengenai konflik publik, termasuk konflik pemilu. Meskipun demikian, sementara ini kebutuhan mendesak itu bisa ditangani dengan pemerintah menciptakan peraturan pemerintah mengenai conflict governance Pemilu 2009. Level kedua adalah menciptakan lembaga yang secara khusus menjalankan conflict governance. Unsur-unsur dalam lembaga conflict governance ini bisa disusun dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), kepolisian, masyarakat sipil, dan partai politik.
Mungkin sebagian kalangan berpikir bahwa Pemilu 2009 bisa sesukses Pemilu 2004. Akan tetapi, perlu diingatkan bahwa Pemilu 2004 ditopang cukup oleh agensi internasional dan akibat tingginya harapan masyarakat pada hasil pemilu waktu itu. Fakta keterpurukan masyarakat akibat berbagai kebijakan pemerintah hasil Pemilu 2004 bisa jadi menurunkan kepercayaan politik masyarakat. Selain itu, fakta kegelisahan modal sosial adalah peringatan dini. Modal sosial seperti ini sangat mungkin menghadirkan konflik kekerasan, baik melalui instrumentasi elite-elite politik maupun pergerakannya sendiri. Untuk itu, conflict governance adalah sistem yang harus disiapkan oleh negara.
Novri Susan Pengajar di Sosiologi Universitas Airlangga
sumber : kompas