Beranda Ekonomi Dampak Pembangunan, Menjadi Buruh di Tanah Sendiri

Dampak Pembangunan, Menjadi Buruh di Tanah Sendiri

231

Oleh A Handoko dan B Josie Susilo Hardianto

Bayang tubuh petani memanjang di atas benih padi yang menghijau di tanah garapan. Di pinggiran Cianjur, Icoh (50) mencelupkan kaki ke saluran pengairan di bagian yang lebih rendah dari sawah milik juragannya dari Bandung.

Lumpur yang menempel di kakinya larut terbawa arus air. Dibasuhnya pula tangannya dengan air sungai itu. Derasnya arus air meluruhkan sisa tanah itu, sejenak tangannya yang basah dikibas-kibaskan agar cepat mengering.

Ketika waktu makan tiba, dibukanya bekal dari rumah. Sebungkus nasi putih, sambal, dan ikan asin. Nikmatnya melarutkan penat setelah bekerja sejak petak-petak sawah dihujani cahaya matahari pagi.

Bersama tujuh perempuan lain, Icoh datang berombongan dari Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang, Cianjur, Jawa Barat. Siang itu mereka bersama-sama membuka bekal yang mereka bawa dari rumah. Mereka saling membagikan lauk yang dibawa dari rumah, menikmatinya sambil bercakap-cakap.

Di tanah Cianjur yang subur, Icoh adalah generasi kedua buruh tani di keluarganya. Kakek dan neneknya telah menjual tanah keluarga karena terdesak berbagai kebutuhan. Karena itu pula, Icoh tidak lagi dapat meninggalkan tanah pertanian kepada dua anaknya.

Untuk masa depan, mereka, tutur Icoh, haruslah bekerja sebagai buruh juga, entah sebagai buruh tani atau pekerja di kota. Hal serupa dialami oleh Aep Saepudin (48), warga Desa Songgom, Kecamatan Gekbrong, Jawa Barat. Aep juga buruh tani seperti Icoh. Orangtuanya telah menjual sebidang tanah keluarga semasa Aep kecil.

Icoh dan Aep adalah contoh kecil dari sekian ribu buruh tani yang menjadi bagian dari alur padi di kawasan lumbung padi, seperti Cianjur. Meskipun tidak setiap hari menjual tenaga mereka, dalam sebulan, rata-rata hanya dua sampai tiga minggu tenaga buruh itu dibutuhkan pemilik lahan.

Beralihnya kepemilikan lahan dan perubahan fungsi lahan pertanian menjadi perumahan dan industri membuat warga, seperti Icoh dan Aep, terpinggirkan dalam pertarungan perebutan sumber ekonomi. Sebagai petani, mereka tak memiliki lahan pertanian sebagai modal utama.

Dalam arus itu, mereka hanya menjadi penonton atau sekadar menjadi aktor pinggiran. Proses peralihan kepemilikan lahan dari petani di Cianjur kepada pemodal dari Bandung, Bogor, dan Jakarta telah menciptakan buruh-buruh tani di tanah sendiri. Tidak mengherankan jika saat ini makin sulit menemukan petani yang tengah menggarap tanah mereka sendiri.

Tanpa kepastian

Menjadi buruh tani sebetulnya merupakan hidup tanpa kepastian. Perbedaan antara keberhasilan dan kegagalan panen tipis. Namun, apa daya, makin minimnya luas lahan pertanian dan desakan kebutuhan membuat Icoh dan Aep tidak punya banyak pilihan.

Tentu saja kondisi itu berpengaruh pada hidup mereka. Mereka harus mencukupkan diri dengan hasil yang sangat kecil. Apalagi, buruh tani umumnya memiliki posisi tawar yang sangat rendah di hadapan pemilik lahan. Buruh laki-laki mendapat upah Rp 15.000 per hari, sedangkan buruh perempuan mendapat Rp 10.000 per hari. ”Kalau mau dibilang tidak cukup, ya memang tidak cukup. Namun, mau bagaimana lagi, tak ada pekerjaan lain,” kata Aep.

Dengan upah sebesar itu, Aep hanya bisa membeli beras dua liter, ikan asin atau teri, garam, dan sedikit minyak goreng. Kebutuhan sekolah anak-anaknya mesti dicukupkan dari upah istrinya yang juga menjadi buruh.

Namun, jika memiliki cukup modal, mereka dapat menyewa lahan dan menggarapnya. Di Cianjur umumnya hubungan pemilik tanah dan penggarap adalah ”maro”. Buruh tani harus menyediakan sendiri prasarana produksi, mulai dari buruh pencangkul, benih, hingga pupuk. Namun, ketika waktu panen tiba, separuh hasil harus penggarap serahkan kepada pemilik lahan. Risikonya, kalau terjadi gagal panen, para penggarap akan kehilangan modal kerja. Sebaliknya, pemilik tanah tidak kehilangan apa pun selain kesempatan mendapatkan hasil paruhan.

Ironisnya, kendati hidup dalam keterbatasan, tak semua buruh dan penggarap itu tersentuh program jaminan sosial dari pemerintah, seperti bantuan langsung tunai, program keluarga harapan, dan beras untuk rakyat miskin. Untuk bertahan hidup, para buruh dan penggarap itu tinggal menggantungkan hidup pada rasa solidaritas dan gotong royong.

Program pemerintah

Kepala Dinas Informasi dan Komunikasi Kabupaten Cianjur Sudradjat Laksana mengakui, hanya keluarga sasaran yang bisa memperoleh fasilitas jaminan sosial dari pemerintah pusat. Keluarga miskin yang tidak memperoleh jaminan sosial itu sesegera mungkin akan dilindungi dengan menggunakan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) mandiri.

”PNPM sedang berjalan. Semoga pada triwulan terakhir 2008 ini sudah bisa direalisasikan di masyarakat,” kata Sudradjat.

Menurut dia, PNPM mandiri merupakan program yang mengomunikasikan kebutuhan masyarakat di setiap wilayah sehingga bentuk kebutuhan mereka akan berbeda-beda. Berdasarkan hasil komunikasi itu, pemerintah akan memberikan bantuan yang umumnya untuk menggerakkan ekonomi berbasis usaha mikro.

Pada masa lalu, Cianjur dikenal karena produk pertaniannya, terutama padi. Reiza D Dienaputra dalam buku Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat (2003) menuliskan, sebagaimana penduduk Priangan lainnya, penduduk Cianjur yang berlatar belakang etnis Sunda pada umumnya berprofesi sebagai petani. Masuknya VOC ke Cianjur secara perlahan memperluas pilihan bagi rakyat Cianjur untuk memilih jenis pekerjaan lain. Perluasan itu berimbas pada perkembangan sistem pelapisan sosial masyarakat. Muncullah kelas sosial, seperti pemilik tanah luas, pemilik tanah sempit, dan penyewa tanah.

Ratusan tahun berlalu, wajah Cianjur saat ini sudah banyak berubah. Proses peralihan kepemilikan tanah terus berlangsung. Nah, kali ini, ketika pemerintah hendak mengembangkan masyarakatnya, apakah program-program yang ditawarkan akan mampu mengembalikan petani menjadi pemilik-pemilik lahan pertanian lagi dan tidak menjadi buruh di tanah mereka sendiri?

Semoga…. (dik)

sumber : kompas