Pemilihan Umum Tahun 2014, bagaimana pun tetap menjadi cara yang sah mengokupasi posisi strategis dalam penyelenggaraan negara lima tahun berikutnya. Ada 560 anggota DPR, 132 anggota DPD, 1.780 anggota DPRD seluruh Indonesia, serta presiden dan wakil presiden dipilih melalui proses ini. Pemilu menjadi ajang kompetisi yang sah bagi puluhan ribu politisi berebut kursi dan kekuasaan, atas nama demokrasi. Persoalan muncul bila Pemilu menjadi area kloning koruptor-koruptor baru bertanding dan bakal bersanding dengan koruptor senior, sebagai konsekwensi logis dari besarnya dana kampanye yang harus dikeluarkan politisi maupun institusi partai politik.
Biaya politik yang besar terjadi karena pemilu menggunakan sistem proporsional terbuka dengan dasar suara terbanyak. Persaingan tidak hanya terjadi di antara partai politik, tetapi juga di antara caleg dalam satu parpol. Ketatnya pertarungan antarcaleg membuat anggota DPR-DPRD pertahana yang sebagian besar kembali menjadi caleg berupaya menjaga dukungan suara di daerah pemilihan masing-masing. Demikian juga para caleg baru, berusaha merebut suara pemilih dengan “segala cara”, sehingga mendongkrak biaya kampanye. Bahkan untuk melamar menjadi caleg telah menyetor puluhan juta lebih dahulu ke partai pengusungnya.
Menurut undang-undang, partai politik telah diperbolehkan melakukan kegiatan kampanye dalam bentuk tertentu tiga hari setelah ditetapkan sebagai peserta pemilu. Ini artinya pemilu legislatif menjadi satu-satunya pemilu dengan rentang masa kampanye yang begitu lama. Dengan keluwesan undang-undang memberikan waktu yang begitu lama, biaya politik akan menjadi sangat besar. Partai politik dan calon tentu berlomba-lomba meningkatkan elektabilitas partai dan calon dengan cara masing-masing. Kampanye konvensional melalui media elektronik, cetak, poster, baliho, dan pernak-pernik lainnya tetap mendominasi. Metode kampanye semacam ini jelas akan menjadi penyebab utama tingginya biaya politik.
Dalam penelitian Wakil Ketua DPR Pramono Anung untuk disertasinya di Unpad baru-baru ini, disimpulkan, ongkos politik yang dikeluarkan anggota DPR periode 2009-2014 pada Pemilu 2009 berkisar Rp 300 juta hingga Rp 6 miliar. Makin populer seorang caleg, makin kecil biaya politiknya. Biaya mereka berkisar Rp 300 juta hingga Rp 800 juta. Biaya politik tertinggi dikeluarkan caleg berlatar belakang pengusaha, yakni Rp 1,5 miliar- Rp 6 miliar. Bahkan, ada caleg yang menghabiskan biaya hingga Rp 22 miliar dengan Rp 18 miliar di antaranya untuk membayar biaya konsultan. Pramono berpendapat, dengan sistem yang sama, biaya politik Pemilu 2014 diperkirakan akan lebih besar. Kenaikannya bisa 1,5-2 kali lipat biaya politik pemilu sebelumnya. Pengeluaran biaya politik itu sudah dihitung dan tidak akan ”rugi”. Meski berbeda nominal, dengan modus dan proporsi tertentu, ongkos politik bagi DPRD tetap dalam kisaran angka yang tinggi.
Hal di atas membuktikan bahwa untuk menghantar calon anggota legislatif terpilih menjadi legislator lebih merupakan “tenaga uang” alih-alih kompetesi atau kualitas personal sumber daya manusianya. Kata-kata “tidak akan rugi” dalam membayar dana kampaye sebesar itu otomatis pengertiannya adalah “untung”, secara keuangan, alias bakal surplus. Lho, memangnya berapa gaji anggota DPR?
bersambung…
(Bernard Simamora/08122011524)