JAKARTA – Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) didesak memeriksa dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi Anwar Usman usai MK mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Surakarta Almas Tsaqibbirru.
Adapun desakan itu datang dari Advokat dan Ahli Hukum Pendukung Demokrasi (Aliansi).
“Kami Aliansi dengan ini memohon dan mendesak agar Dewan Etik dan Majelis Kehormatan MK untuk melaksanakan tugas pengawasan Mahkamah Konstitusi dengan memeriksa dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi Yang Mulia hakim konstitusi Anwar Usman, terkhusus terkait prinsip independensi, ketidakberpihakan, integritas, yang diatur dalam Pasal 15 UU MK,” ucap Mangatta Toding Allo selaku Advokat Alumni Universitas Gadjah Mada dalam keterangannya dikutip, Selasa (17/10/2023).
“Lampiran Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, guna memastikan terjaganya integritas, marwah, serta martabat Mahkamah Konstitusi,” tambahnya.
Dia juga menyampaikan bahwa Aliansi menyayangkan terkait putusan MK yang mengabulkan permohonan judicial review (JR) secara sebagian, sehingga mengubah ketentuan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Para Advokat dan Ahli Hukum yang tergabung dalam Aliansi sangat menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 (Putusan MK) pada hari Senin tanggal 16 Oktober 2023, yang pada pokoknya mengabulkan permohonan judicial review (JR) secara sebagian, sehingga mengubah ketentuan Pasal 169 huruf q. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengenai persyaratan calon Presiden dan calon wakil presiden,” ujarnya.
Sementara itu, Advokat Alumni Universitas Padjadjaran Romy Jiwaperwira menjelaskan bahwa Aliansi menyayangkan putusan MK terkait batas usia dapat berimplikasi dan mulai berlaku pada Pilpres 2024.
“Putusan MK telah memperluas persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden, yang sebelumnya mensyaratkan ‘berusia paling rendah 40 tahun’, diubah menjadi ‘berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’,” tutur Romy.
“Implikasi dari putusan MK ini adalah memungkinkan bagi seorang yang belum berusia 40 tahun untuk memiliki kesempatan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden, yang mulai berlaku pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024,” sambung Romy.
Romy mengatakan dalam proses pembahasan persoalan hukum dalam Pasal 169 huruf q. UU Pemilu merupakan suatu open legal policy, sehingga hal tersebut merupakan kewenangan legislatif dari DPR, dan bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
“Selain itu, mengenai ketentuan ‘pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’ tidak pernah dilarang dalam UU Pemilu sebagai suatu persyaratan bagi seorang mencalonkan diri menjadi presiden atau wakil presiden,” jelasnya.
Romy yang mewakili Aliansi juga menyoroti Anwar Usman yang mengadili dan memutus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) sehingga mengindikasikan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi tersebut. Diketahui Anwar Usman merupakan paman dari Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka.
“Salah satu hakim konstitusi yang mengadili dan memutus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang mana juga menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Yang Mulia Hakim Konstitusi Anwar Usman merupakan Paman dari Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Surakarta,” ujarnya.
“Terdapat beberapa fakta dalam pertimbangan hukum Putusan MK yang mengindikasikan perlunya pemeriksaan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi terhadap Yang Mulia Hakim Konstitusi Anwar Usman sehubungan dengan Putusan MK tersebut,” tambahnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) soal batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres Cawapres) yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A. Dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu, Almas Tsaqibbirru Re A meminta MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi, kabupaten atau kota.
“Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK, Jakarta Pusat, Senin, (16/10/2023).
Dalam konklusinya, Anwar menyatakan Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a guo. Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. “Permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” ujarnya.
The post Dewan Etik MKMK Didesak Periksa Anwar Usman usai Putusan Gugatan Capres-Cawapres first appeared on Majalah Hukum.
Eksplorasi konten lain dari Bernard Simamora
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.