Pengaturan Eksekusi dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial dapat dimohonkan untuk eksekusi apabila telah mempunyai hukum tetap (in kracht van gewijsde), artinya sudah tidak bisa untuk diupayakan lagi ke jalur pengadilan tingkat selanjutnya. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial tentang perselisihan hak dan perselisihan PHK bukan berarti tidak dapat dieksekusi. Putusan tersebut dapat dieksekusi apabila tidak dimintakan upaya hukum kasasi oleh pihak yang kalah karena apabila putusan tersebut tidak dimintakan upaya kasasi, maka putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde).

Majelis hakim yang memimpin jalannya persidangan hubungan industrial dalam mengambil keputusan harus mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan dan keadilan. Suatu perselisihan hubungan industrial, majelis hakim wajib terlebih dahulu menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat agar putusan hakim itu nantinya sudah sesuai dengan hukum dan keadilan yang ada dimasyarakat.

Pelaksanaan Putusan Hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan isi amar putusannya tersebut adalah mempekerjakan kembali, meskipun pihak yang menang tersebut telah mengajukan permohonan eksekusi kepada ketua Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri, tetapi pada kenyataannya pihak pengusaha tidak mau untuk melaksanakan putusan hakim tersebut, karena ada faktor penilaian dari pengusaha kepada pekerja/buruh tersebut sudah buruk.

Majelis Hakim telah berupaya untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara, akan tetapi tidak berhasil. Majelis Hakim menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu dengan tidak mau menaatai amar putusan untuk mempekerjakan kembali pekerja selaku Penggugat. Akibat hukum yang diterima pengusaha tersebut adalah bahwa ia harus membayar dengan tunai uang pesangon untuk pekerja. Putusan hakim bisa memerintahkan agar pengusaha mempekerjakan pekerja/buruh.

Eksekusi terhadap pengusaha yang tidak membayar pesangon pekerja di Perusahaan, maka berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengatur ketentuan bahwa pengusaha yang tidak membayar pesangon pekerja bisa dibawa ke ranah pidana. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, aturan terkait pesangon termuat dalam Pasal 156 ayat (1).

Dalam pasal ini menyatakan bila terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Dalam Pasal 185 ayat (1) dinyatakan bahwa bila pengusaha tak menjalankan kewajiban itu, pengusaha diancam sanksi pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun atau denda paling sedikit Rp.100.000.000,- dan paling banyak Rp 400.000.000,-. Ketentuan ini juga konsiten di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang cipta kerja menjadi Undang-Undang.

Aturan ini memberikan keuntungan bagi pekerja yang memperjuangkan haknya untuk memperoleh pesangon. Keberadaan pasal itu, pekerja yang selama ini butuh waktu berbulan-bulan untuk menuntut pesangon melalui Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial bisa memperolehnya dengan cepat. Pekerja bisa langsung melaporkan ke Polisi bila perusahaan tempat pekerja bekerja tak membayar pesangon. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ada pasal yang menyebutkan apabila majikan tidak membayar pesangon sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini akan dianggap melakukan tindakan pidana kejahatan dan ancaman hukumannya empat tahun penjara. Jika pekerja membuat laporan Polisi, uang pesangon akan dibayar oleh pengusaha.

The post Eksekusi Terhadap Pengusaha Yang Tidak Membayar Pesangon first appeared on Majalah Hukum.Artikel Eksekusi Terhadap Pengusaha Yang Tidak Membayar Pesangon pertama kali tampil pada bsdrlawfirm.com.