Beranda Politik Gerakan Kotak Kosong Melawan Elit Politik

Gerakan Kotak Kosong Melawan Elit Politik

582

Dengarkan naskah dalam dengan klik:

Pilkada serentak tahun 2020 ini diramaikan dengan “gerakan kotak kosong”, dan ini terjadi dibeberapa daerah di Indonesia. Kualitas demokrasi dalam pilkada semakin menurun terlihat dari berkurangnya jumlah pasangan calon dan meningkatnya fenomena kotak kosong dari tahun ke tahun. Pada Pilkada serentak 2020 setidaknya ada 28 daerah yang akan diikuti pasangan calon tunggal. Jumlah tersebut terus meningkat dibandingkan dengan pilkada 2018 sebanyak 16 daerah, pilkada 2017 sebanyak 9 daerah dan pilkada 2015 hanya 3 daerah.

Gerakan kotak kosong ini muncul karena adanya calon tunggal. Munculnya calon tunggal bisa disebabkan beberapa hal, seperti syarat mencalonkan yang berat, baik dari jalur partai maupun perseorangan. Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mensyaratkan partai atau gabungan partai bisa mengusung pasangan calon jika memiliki minimal 20% kursi DPRD. Sedangkan calon perseorangan wajib mengumpulkan dukungan antara 6,5%-10% dari jumlah masyarakat yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT).

Hal berbeda terjadi di Kabupaten Humbang Hasundutan. Sepasang calon kepala daerah yang juga pertahana memborong semua partai pemilik kursi di DPRD sehingga ia menjadi calon tunggal. Partai-partai bersedia, sehingga tidak ada kesempatan untuk paslon lain mendapat dukungan partai. Alhasil, paslon ini berhadapan dengan kotak kosong. Munculnya calon tunggal seperti ini, tentu menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat. Gerakan kotak kosong pun marak, masyarakat melawan elit politik. Karena pada kenyataannya cukup banyak masyarakat yang tidak menghendaki pertahana kembali menjadi kepala daerah periode kedua, atau setidaknya ada paslon alternatif.

Paslon tunggal memang tetap konstitusional. Pasal 54 c ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 mengatur bahwa pemilihan dengan satu paslon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat dua kolom yang terdiri atas satu kolom yang memuat foto paslon dan satu kolom kosong yang tidak bergambar. Artinya memilih kotak kosong juga bukan perbuatan terlarang, bahkan penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU daerah juga harus mensosialisasikan kotak kosong tersebut dan itu difasilitasi melalui APBD. Seperti saat penyebaran alat peraga dan kampanye di media massa. Intinya Pilkada dengan calon tunggal dan kehadiran kotak kosong perlu disosialisasikan dengan baik kepada pemilih agar mereka paham bahwa mereka bisa punya ekspresi politik yang berbeda selain paslon tunggal dan hal itu dijamin oleh undang-undang. Oleh karena itu, gerakan kotak kosong juga konstitusional.

Tetapi pertanyaannya, mengapa masyarakat melawan elit politik lewat gerakan kotak kosong? Tidak lain karena munculnya kotak kosong adalah akibat dari mahakarya elit-elit parpol yang memainkan perolehan suara partainya di pemilu sebelumnya. Seringkali, setelah pemilu terlewat, elit-elit politik melupakan konstituennya. Padahal ketika menjelang pemilu atau pilkada, para elit politik bak sinterklas yang sangat murah hati, tidak sombong dan suka menabung. Pasca pemilu, jangankan mengingat konstituen, mengelola partai pun tidak serius.

Proses kaderisasi parpol umumnya tidak berjalan dengan baik, sehingga parpol tidak percaya diri mengusung kadernya, atau parpol tidak mau capek, dan mau tenang-tenang saja. Dan bisa saja partai politik, enggan mengeluarkan tenaga dan ongkos untuk memperjuangkan kader sendiri sebagai calon kepala daerah yang mungkin saja memiliki gagasan brillian, personality yang bagus, kemampuan leadership dan manajemen yang lebih mumpuni. Bahkan, parpol cenderung memalak kader atau kandidat dengan uang mahar apabila meminta diusung maju dalam pilkada.

Lalu apa motif di balik paslon tunggal? Motif paslon yang berusaha menjadi paslon tunggal dapat diduga didasari keinginan untuk menang mutlak, ingin mendapat keuasaan “mutlak” kelak setelah menjabat tanpa oposisi di DPRD. Padahal, oposisi paling merepotkan bukanlah DPRD, tetapi jika masyarakat banyak menjadi oposisi, maka kepemimpinan kepala daerah akan kehilangan aktualisasinya.

Tampaknya, koalisi partai politik yang mengusung satu paslon tunggal hanya didasari hasrat untuk berkuasa, ingin mendapat suara signifikan di pemilu berikutnya, dan bukan didasari visi dan misi atau kepedulian pada masyarakat. Hal-hal ini tentu destruktif dan tidak baik dan bagi proses pembangunan. Pragmatisme parpol-parpol yang hanya ingin menang pemilu juga mengabaikan proses kaderisasi.

Lalu apa dampak pilkada paslon tunggal? Pikada paslon tunggal akan memberikan banyak dampak, salah satunya karena tidak adanya calon alternatif, maka tentunya tidak ada debat publik atau adu program kerja dan adu visi misi dan dengan demikian pemilih tidak memiliki calon pembanding yang menawarkan gagasan terbaik bagi masyarakat.

Di sisi lain, jika paslon tunggal itu memenangi pilkada, maka tidak tertutup kemungkinan “koalisi besar” pengusung berpotensi kongkalikong antara eksekutif dan legislatif. Maka fungsi pengawasan akan tersumbat, tidak akan berjalan dan hanya akan menghabis-habiskan APBD saja. Koalisi besar berdampak bahwa setiap keputusan eksekutif akan dengan mudah disetujui legilatif. Koalisi besar yang terbangun atas dasar pragmatisme dan bukan atas kesamaan visi, misi, dan ideologi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi cenderung untuk kepentingan bagi-bagi kue, hal ini akan berdampak sangat buruk bagi pembangunan di daerah.

Diadaptasi dari pendapat Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si, setidaknya ada sembilan kerugian jika hanya ada paslon tunggal dalam Pilkada. Pertama, sangat merugikan untuk pendidikan politik bagi rakyat karena rakyat hanya disuguhkan satu paslon saja, dan tidak memberikan alternatif pilihan politik lain pada masyarakat. Kedua, pilkada dengan calon tunggal membuat legitimasi paslon yang menang tidak begitu kuat karena partai tidak memberi alternatif kepada pemilih untuk pilihan politik.

Ketiga, dengan terbentuknya koalisi oversize maka tidak ada lagi partai oposisi di DPRD sebagai penyeimbang sekaligus fungi kontrol. Karena semua partai bergabung dan menyokong eksekutif atau calon tunggal. Keempat, bisa saja nantinya pemerintahan hasil pilkada paslon tunggal cenderung anti kritik dan tidak ada alternatif sumbangsih oposisi karena semua bergabung dalam satu kekuatan.

Kelima, karena kotak kosong adalah benda mati, maka perlakuan untuk kolom kosong atau kotak kosong tidak seimbang dengan paslon. Padahal, penting memastikan pemilih paham bahwa calon tunggal bukanlah satu-satunya pilihan. Putusan Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015 tentang Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah, mengukuhkan pilihan kotak kosong konstitusional.

Keenam, alat peraga kampanye kotak kosong cederung kosong. Sudah pasti kotak kosong pasif. Mestinya konsekuensinya diakomodasi seperti pada putusan MK, slot dan kesempatan kampanye di media diberikan setara materinya oleh panel ahli yang independen. Ini pendidikan politik agar masyarakat dapat memilih kotak kosong apabila pasangan calon tunggal dianggap tidak sesuai dengan harapan mereka. Itu sebabnya gerakan kotak kosong masyarakat perlu didukung.

Ketujuh, apabila kotak kosong menang, proses dan tahapan pilkada diulang sehingga calon lain bisa mendaftar, dan hal ini memang aka merugikan daerah karena pembangunan akan melambat. Untuk proses ini pemerintah sementara akan menunjuk Penjabat kepala daerah akibat pengulangan pilkada yang dimenangkan kolom kosong. Posisi ini sedikit banyak akan kehilangan waktu karena roda pemerintahan nantinya berjalan tidak optimal dibandingkan dengan kepala daerah yang definitif.

Kedelapan, kendala regulasi betapa sulitnya pengawasan Bawaslu terhadap calon tunggal melawan kotak kosong. Baik fasilitasi untuk kotak kosong maupun pengawasan tidak ada regulasi yang mengatur. Yang diatur hanya paslon, tetapi kotak kosong sama sekali tidak. Ketika terjadi pelanggaran yang melibatkan kotak kosong, Bawaslu kesulitan melakukan pengawasan. Tetapi ketika perlakuannya tidak setara antara paslon dibanding kotak kosong Bawaslu juga tidak bisa berbuat banyak.

Oleh karena itu, calon tunggal dalam pilkada seperti halnya di Kabupaten Humbang Hasundutan tidak harus dipilih di dalam bilik suara, tetapi juga jangan golput. Perlawanan dapat dilakukan secara konstitusional atas kehadiran calon tunggal, yaitu dengan gerakan kotak kosong, dan pada saat pencoblosan, pemilih mencoblos kolom kosong di dalam surat suara.

Bernard Simamora, SH, S.IP, S.Si, MM, MBA; tinggal di Bandung