Putu Setia

@mpujayaprema

Inilah pelecehan yang nyaris sempurna untuk profesi guru. Terjadi di markas Kepolisian Resor Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tiga guru pembina Pramuka di SMPN 1 Turi, Sleman, digelandang untuk dipertemukan dengan media massa. Ketiganya memakai celana dan baju tahanan, berjalan tanpa alas kaki, kepalanya gundul plontos.

Ketiganya sudah menjadi tersangka. Mereka bersalah karena menyebabkan 10 siswa SMPN 1 Turi meninggal dalam kegiatan susur sungai di Kali Sempor. Mereka lalai sebagai pembina Pramuka. Mereka tak memperhitungkan bahwa arus sungai itu bisa deras karena ada hujan.

Semua orang tahu ketiga guru itu sangat ceroboh. Kita sepakat mereka harus dihukum. Tapi apakah ketiga guru itu sejak awal berniat lalai dan merencanakan kelalaiannya? Pasti tidak. Bencana bisa muncul tanpa diundang.

Berbeda dengan perampok yang sudah merencanakan dengan matang bagaimana mereka bekerja. Apa yang dirampok, bagaimana caranya, bagaimana melawan jika kepergok. Begitu pula para koruptor, ada rencana yang rapi bagaimana menilap uang agar tidak ketahuan. Kalau perampok tertangkap, rasanya masih boleh kepalanya digunduli dan dipamerkan ke media massa agar calon perampok lainnya jera. Namun apakah ada koruptor yang tertangkap lalu kepalanya digunduli dan digelandang tanpa alas kaki? Tidak, koruptor hanya diberi baju oranye. Andai nanti Harun Masiku dan Nurhadi tertangkap, kepalanya tak mungkin digunduli.

Kaum guru berduka karena ada anak didik yang meninggal dunia dalam kegiatan Pramuka, sebuah kegiatan yang tujuan awalnya baik. Namun para guru lebih berduka lagi ketika tiga sejawatnya digelandang tanpa mempertimbangkan bahwa kesalahannya adalah unsur kelalaian, bukan direncanakan. Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Prof Dr Unifah Risyidi, yang terjun ke lapangan saat musibah itu terjadi, mengecam keras pelecehan atas ketiga guru tersebut. Prof Unifah mengancam para guru akan turun ke jalan untuk memprotes tindakan polisi.

Organisasi guru lainnya, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), meminta polisi tidak berlebihan memperlakukan guru SMPN 1 Turi tersebut. Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriawan Salim menilai polisi tidak seharusnya menggelandang tersangka yang sudah digunduli. Namun FSGI, seperti juga PGRI, mendukung kasus ini diproses secara hukum.

Kenapa kita mulai tidak hormat kepada seorang guru? Bahwa ada guru yang mencabuli muridnya, ada guru yang kelewat keras menegur anak didiknya, itu bisa kita maklumi karena luasnya negeri ini dan begitu banyak dibutuhkan profesi guru. Tapi ada guru yang dilaporkan ke polisi dengan tuduhan melanggar HAM hanya karena menjewer seorang murid. Apalagi ada siswa yang berani melawan guru dengan mengajak guru berkelahi. Ini sudah luar biasa. Sangat terbalik dengan masa lalu ketika guru begitu dihormati.

Banyak guru dengan predikat “mengabdi”, yang dikerjakan tak sesuai dengan nafkahnya. Guru honorer cuma dibayar Rp 260 ribu sebulan, dan itu pun di daerah terpencil baru bisa diambil setelah enam bulan. Kaum guru yang ikhlas dengan pengabdiannya ini sudah lama menciptakan “hymne guru” dengan judul Pahlawan tanpa Tanda Jasa. Sesungguhnya “lagu perjuangan” ini sebagai sindiran kepada negara yang menyanjung jasa-jasa guru setara dengan pahlawan bangsa, tapi tak pernah diberi tanda jasa. Celakanya, baik presiden maupun menteri terkait tak pernah merasa disindir oleh Pahlawan tanpa Tanda Jasa ini.

Seharusnya guru menjadi profesi yang dihormati jika bangsa ini mau lebih beradab. Kita berutang rasa kepada guru.

Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1313600/guru/full&view=ok


Eksplorasi konten lain dari Bernard Simamora

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.