oplus_34

Bacaan: Yesaya 63:7–9; Mazmur 148; Ibrani 2:10–18; Matius 2:13–23

Tahun 2025 hampir berakhir. Kita sudah melewati banyak hal; ada tawa, ada air mata, ada keberhasilan, ada kegagalan. Setiap orang punya ceritanya sendiri. Ada yang datang ke gereja hari ini dengan hati penuh syukur, tapi mungkin ada juga yang datang dengan perasaan letih, kecewa, atau bingung tentang masa depan.

Hidup memang tidak selalu mudah. Tapi firman Tuhan hari ini mengingatkan kita: kita tidak diminta untuk menghindari tantangan, melainkan untuk menghadapinya dengan bijak.

Kebijaksanaan bukan berarti tahu segalanya, bukan berarti tidak pernah salah. Orang bijak adalah orang yang belajar melihat segala peristiwa dengan mata iman; percaya bahwa di balik kesulitan, Tuhan tetap bekerja; di balik air mata, ada kasih yang tak pernah hilang.

Nabi Yesaya menulis, “Aku hendak menyebut-nyebut kasih setia Tuhan.”  (Yesaya 63:7). Ia menulis itu bukan ketika keadaan sedang baik, tetapi ketika bangsa Israel sedang menderita dalam pembuangan. Namun Yesaya memilih untuk tidak hanya memandang luka, melainkan mengingat kasih setia Tuhan.

Itulah langkah pertama menghadapi tantangan dengan bijak: belajar mengenang kasih Tuhan di masa lalu.

Ketika kita berhenti sejenak dan menoleh ke belakang, bukankah banyak hal yang membuktikan bahwa Tuhan tak pernah meninggalkan kita? Mungkin bukan dengan cara yang kita minta, tapi selalu dengan cara yang kita butuhkan. Mungkin kita pernah tersesat, tapi Ia tetap menuntun pulang. Mungkin kita pernah jatuh, tapi tangan-Nya selalu terulur mengangkat kita kembali.

Menghadapi tantangan dengan bijak dimulai dari kesadaran: Tuhan yang menolong kita kemarin, adalah Tuhan yang sama hari ini dan besok.

Mazmur 148 mengajak seluruh ciptaan untuk memuji Tuhan: langit, bumi, gunung, laut, bintang, manusia,  semuanya. Pujian di sini bukan sekadar nyanyian, tetapi sikap hati.

Sebab sering kali yang paling sulit bukan menghadapi masalah, tapi menjaga hati tetap memuji di tengah masalah. Pujian mengubah fokus kita. Dari melihat besarnya masalah, menjadi melihat besarnya kasih Tuhan. Ketika hati kita memuji, kekhawatiran kehilangan kuasanya.

Ada seseorang yang berkata, “Kadang Tuhan tidak menenangkan badai di sekitarku, tetapi Ia menenangkan badai di dalam hatiku.” Dan itulah yang terjadi ketika kita memuji Tuhan, badai di dalam hati menjadi tenang.

Surat Ibrani 2:10–18 membawa kita kepada Yesus, Sang Teladan dalam menghadapi penderitaan. Yesus tidak menghindari jalan salib. Ia tahu penderitaan adalah bagian dari misi kasih-Nya. Melalui penderitaan itu, Ia menjadi Imam Besar yang berbelas kasihan, yang mengerti setiap air mata dan ketakutan manusia.

Firman Tuhan berkata, “Karena Ia sendiri telah menderita ketika Ia dicobai, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai.” (Ibrani 2:18)

Artinya, kita tidak pernah sendirian dalam penderitaan. Setiap kali kita merasa berat, Yesus tahu rasanya. Ia bukan Tuhan yang jauh dan dingin, tetapi Tuhan yang hadir,  yang tahu rasanya takut, lelah, ditolak, bahkan ditinggalkan. Dan justru karena Ia tahu, Ia mampu menolong kita dengan kasih yang nyata.

Kadang kita berpikir, “Mengapa Tuhan tidak langsung menyingkirkan masalahku?” Mungkin karena Tuhan sedang membentuk sesuatu di dalam diri kita, keteguhan, kesabaran, empati, atau iman yang lebih dalam. Hikmat sejati sering tumbuh dari tanah penderitaan.

Dan akhirnya, dari Matius 2:13–23, kita belajar dari Yusuf ,  seorang ayah yang sederhana tapi berhikmat. Ketika malaikat berkata, “Bangun, bawa anak itu ke Mesir,” Yusuf tidak menunda, tidak banyak bertanya, hanya taat.

Ia taat bahkan ketika perintah itu tidak mudah. Bayangkan: membawa bayi dan istri ke negeri asing di tengah malam.
Tapi karena ketaatannya, nyawa Yesus terselamatkan, dan rencana Allah tetap berjalan.

Yusuf tidak tahu seluruh rencana Tuhan, tapi ia percaya cukup untuk melangkah satu langkah pada satu waktu. Dan sering kali, itulah kebijaksanaan sejati: tidak menunggu semua terang, tapi berani melangkah di bawah cahaya yang Tuhan beri saat ini.

Kita semua menghadapi tantangan dalam hidup, entah di keluarga, pekerjaan, kesehatan, atau batin. Tapi firman Tuhan hari ini menuntun kita untuk menjalaninya dengan hati yang bijak: Belajar mengenang kasih setia Tuhan. Menjaga hati tetap memuji di tengah badai. Meneladani Yesus yang setia dalam penderitaan. Dan taat seperti Yusuf, bahkan ketika belum tahu akhirnya.

Kita tidak tahu seperti apa tahun 2026 nanti. Tapi kita tahu siapa yang akan berjalan bersama kita. Tuhan yang dulu menolong, masih menolong, dan akan terus menolong.

Maka, hadapilah setiap tantangan dengan iman yang tenang. Karena orang yang berjalan dengan Tuhan tidak akan tersesat, dan orang yang belajar dari Tuhan akan selalu menemukan jalan bijak, meski di tengah badai.

Doa Penutup:
Tuhan, di penghujung tahun ini kami datang dengan segala rasa: syukur, takut, lelah, dan harapan. Ajar kami menghadapi segala tantangan dengan hati yang bijak, mengingat kasih setia-Mu, memuji-Mu dalam badai, meneladani Kristus yang setia, dan menaati suara-Mu dengan iman. Jadikan kami kuat bukan karena segalanya mudah, tetapi karena Engkau berjalan bersama kami. Dalam nama Yesus kami berdoa. Amin.

Sari Khotbah pada Ibadah Minggu, 28 Desember 2025 – GKI Maulana Yusuf 20, Bandung.