Dalam negara hukum harus ada jaminan dan perlindungan HAM yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum dan bukan berdasarkan kemauan pribadi atau kelompok. Ditegaskan dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut adalah hak asasi yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia oleh Presiden dan DPR disahkan untuk mengadili pelanggar HAM yang berat. Ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam perubahan kedua UUD 1945 tersebut merangkum ketentuan yang terdapat dalam 106 pasal Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, sehingga menjadikan HAM sebagai hak-hak konstitusional.

Berdasarkan pada tujuan Negara sebagai terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, Negara Indonesia menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia pada warganya terutama dalam kaitannya dengan kesejahteraan hidupnya baik jasmani maupun rohani, antara lain berkaitan dengan hak-hak asasi di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, dan agama, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28 UUD 1945 (huruf a s/d j). Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 memberikan asas-asas tentang pengakuan negara terhadap HAM, bahwa setiap individu dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat yang sama, dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pelanggaran HAM tidak selalu merupakan pelanggaran hukum, hal ini dikarenakan terdapat pelanggaran-pelanggaran HAM yang penyelesaian sengketanya tidak dirumuskan dalam perundang-undangan dengan sanksi hukum yang tegas. Pelanggaran HAM Berat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dibatasi dalam dua bentuk, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Menurut undang-undang, pelanggaran HAM Berat memiliki mekanisme khusus, baik untuk tingkat penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutannya.

Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan untuk menghancurkan seluruh/sebagian bangsa, ras, kelompok, etnis dengan cara membunuh yang mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota kelompok. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 disebutkan bahwa, Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: Membunuh anggota kelompok; Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah serangan secara luas atau sistematis yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 menyebutkan bahwa kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: Pembunuhan; Pemusnahan; Perbudakan; Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; Penyiksaan; Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; Penghilangan orang secara paksa; atau Kejahatan apartheid.

Menurut undang-undang, pelanggaran HAM Berat memiliki mekanisme khusus, baik untuk tingkat penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutannya. Pada tingkat penyelidikan, yang mempunyai kewenangan adalah Komnas HAM. Pada tingkat peradilan dibentuk Pengadilan HAM yang terdiri dari tiga hakim ad hoc dan dua hakim karir. Hakim ad hoc bukan merupakan hakim karir, melainkan para praktisi hukum yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Pengadilan HAM berkedudukan di kabupaten atau kota yang bersangkutan.

Selama ini pelaku pelanggaran HAM dapat dibagi atas: Aparat negara, Kelompok kelompok tertentu, Masyarakat umum. Aparat negara misalnya melakukann penyiksaan oleh aparat keamanan dalam upaya mencari keterangan atau pengakuan seseorang tersangka; Menghalangi orang untuk menyampaikan pendapatnya secara damai; Melakukan penggusuran tanah tanpa melalui prosedur yang seharusnya dan tanpa ganti rugi yang layak.

Pelanggaran HAM oleh kelompok kelompok tertentu, misalnya: Melakukan pembunuhan, penganiayaan, atau pemusnahan kelompok; Memperlakuan seseorang atau sekelompok orang yang berbeda agama atau ras secara diskriminatif. Pelanggaran HAM oleh masyarakat umum, misalnya: Memberikan upah berbeda karena alasan perbedaan laki-laki dan perempuan; Melakukan pelecehan atau penyiksaan terhadap istri baik fisik atau psikologi; Membiarkan seorang anak terlantar, teraniaya dan menderita.

Berbagai bentuk pelanggaran di atas merupakan pelanggaran HAM yang juga merupakan pelanggaran hukum. Namun mekanisme hukum pun tidak selalu mampu menyelesaikan pelanggaran HAM. Oleh karenanya, pencegahan pelanggaran HAM sangat penting sebagai upaya yang sinergi dengan penegakan HAM oleh aparat negara atau masyarakat.

Merupakan suatu pandangan yang keliru bahwa penegakan HAM seringkali merepotkan, sebagaimana terjadi di awal reformasi. Aparat enggan melakukan penindakan terhadap berbagai kerusuhan yang menimbukan korban jiwa dan harta karena takut dituduh melanggar HAM. Keengganan melakukan penindakan terhadap berbagai kerusuhan tidak perlu terjadi jika mereka memahami prosedur yang telah ditetapkan berkenaan dengan upaya paksa terhadap publik. Pembiaran semacam ini justru dapat menjadi pelanggaran HAM yang lebih besar lagi.

(Naskah ini disajikan oleh: Bernard Simamora, S.Si, S.IP., SH, MH, MM, Kantor Hukum BSDR.)