Beranda Ragam Hak untuk Tahu

Hak untuk Tahu

214

Hariadi Kartodihardjo

Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University

Setiap ada inisiatif pemerintah atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membentuk atau merevisi undang-undang, masyarakat pada umumnya dan secara khusus yang kehidupan atau pengetahuannya terkait erat dengan isi undang-undang itu berharap persoalan-persoalan aktual sehari-hari yang dihadapi akan dapat diselesaikan. Berbagai kesempatan seperti itu telah berulang, sehingga pembuatan atau perubahan undang-undang selalu menjadi perhatian masyarakat luas maupun media.

Masyarakat memang mempunyai hak untuk mendapat informasi seperti digariskan oleh Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Penjabaran hak untuk mendapat informasi itu ditegaskan dalam klausul menimbang Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Klausul itu, antara lain, menyebutkan bahwa “informasi merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional, hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia, dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik”.

Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan disebutkan pula bahwa salah satu asas pembentukan peraturan perundangan yang baik adalah keterbukaan. Berbeda dengan isi undang-undang tersebut, sejak tahun lalu hingga saat ini, ketika rancangan berbagai undang-undang dibahas, praktis hak masyarakat luas untuk tahu begitu mudah diabaikan. Dalam kasus rancangan undang-undang pertanahan yang saya ikuti, misalnya, yang dilakukan pemerintah bukan konsultasi publik, melainkan sosialisasi, dan isi yang disosialisasi ternyata berbeda dengan isi pasal-pasal draf rancangan undang-undang.

Hal demikian tampak dapat berulang pada penetapan omnibus law Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Padahal Presiden Joko Widodo sendiri telah meminta jajarannya mensosialisasi rancangan omnibus law itu kepada masyarakat sebelum diajukan ke DPR. “Jadi, kalau ada hal yang perlu diakomodasi, harus kita perhatikan, ada keterbukaan yang kita inginkan,” kata Jokowi.

Sebulan terakhir, dalam beberapa kali pertemuan dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil dan akademikus yang saya ikuti untuk membahas arah Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja, tidak ada informasi autentik yang dapat dibicarakan. Satu-satunya draf rancangan yang beredar dinyatakan secara resmi oleh Kementerian Koordinator Perekonomian sebagai bukan hasil kerja pemerintah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Kegelisahan khalayak muncul terutama akibat besarnya kesenjangan antara apa yang telah mereka ketahui di lapangan dan isu-isu substantif dalam perubahan undang-undang yang dianggap memiliki kesenjangan sangat lebar. Misalnya, konflik tanah atau kawasan hutan dan lambat maupun tingginya biaya pengurusan izin mempunyai akar persoalan struktural dan politik yang sangat dalam. Selama ini, untuk menutupi biaya transaksi yang tinggi, perusahaan-perusahaan hitam mengabaikan pembayaran pajak maupun non-pajak dengan cara memperluas usaha berbasis tanah ke dalam lokasi-lokasi ilegal, termasuk di lokasi-lokasi kawasan konservasi dan hutan lindung.

Pada intinya, di balik terjadinya pengurusan izin yang lambat dan mahal itu, terdapat persoalan sangat mendasar. Pertama, masalah hak atas tanah dan klaim kawasan hutan tidak kunjung diselesaikan oleh perangkat negara secara adil dan, sebaliknya, penyelesaiannya melalui pemegang izin yang tidak bebas dari konflik kepentingan. Apabila aparat keamanan ikut mengambil peran dan menjadi bagian dari pemegang izin, masalah ini dapat berakhir dengan kriminalisasi. Kedua, birokrasi selalu menganggap bekerja secara administratif adalah menyelesaikan pelayanan dan masalah masyarakat, padahal bekerja dengan cara seperti itu telah diketahui hasilnya jauh dari cukup.

Dengan kedalaman persoalan perizinan seperti itu, membatalkan atau mengubah pasal-pasal undang-undang yang sudah ada guna mempercepat investasi dengan menetapkan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja masih cukup membingungkan. Apakah masalah mendasar di lapangan dapat dipecahkan?

Kebiasaan pembuatan undang-undang pada umumnya, dengan naskah akademis maupun konsultasi publik yang sekadar memenuhi syarat administrasi atau hanya formalitas, seharusnya ditinggalkan. Apabila masyarakat luas tidak diberdayakan untuk menggunakan hak-haknya, mereka dengan mudah dapat dieksploitasi oleh pihak lain yang memiliki akses pada kekuasaan. Hak masyarakat untuk tahu yang dilindungi Undang-Undang Dasar 1945 dan undang-undang hendaknya ditegakkan.

Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1307384/hak-untuk-tahu/full&view=o