Beranda Sindikasi Hakim PN Surabaya Menilai Gas Air Mata Yang Ditembakkan Hanya Mengarah Ke...

Hakim PN Surabaya Menilai Gas Air Mata Yang Ditembakkan Hanya Mengarah Ke Tengah Lapangan

14

Jakarta, Indikasi.id – Vonis terdakwa kasus Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang tuai kecaman. Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menjatuhkan vonis bebas terhadap dua anggota polisi karena menilai tidak terbukti melakukan tindak pidana terkait kasus Tragedi Kanjuruhan.

Dua polisi dimaksud ialah mantan Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi.

Wahyu dan Bambang menerima vonis pengadilan tingkat pertama tersebut. Keduanya sempat berpelukan setelah mendengar pembacaan putusan. Sementara itu, jaksa penuntut umum menyatakan bakal memanfaatkan waktu tujuh hari untuk pikir-pikir banding.

Vonis bebas ini lebih ringan daripada tuntutan jaksa yang ingin Wahyu dan Bambang divonis dengan pidana tiga tahun penjara.

Dalam pertimbangannya, ketua majelis hakim Abu Achmad Sidqi Amsya menyatakan gas air mata yang ditembakkan para personel Samapta Polres Malang hanya mengarah ke tengah lapangan.

“Menimbang memperhatikan fakta penembakan gas air mata yang dilakukan anggota Samapta dalam komando terdakwa Bambang saat itu asap yang dihasilkan tembakan gas air mata pasukan terdorong angin ke arah selatan menuju ke tengah lapangan,” kata hakim.

Setelahnya, asap tersebut mengarah ke pinggir lapangan. Namun, sebelum sampai ke tribun, asap itu tertiup angin menuju atas.

“Dan ketika asap sampai di pinggir lapangan sudah tertiup angin ke atas dan tidak pernah sampai ke tribun selatan,” ucap hakim.

Sementara itu dalam perkara Wahyu, majelis hakim berkesimpulan tidak ada hubungan sebab akibat atau kausalitas dengan timbulnya korban atas apa yang didakwakan jaksa. Hakim menilai Wahyu tidak pernah memerintahkan penembakan gas air mata.

Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra, putusan hakim belum mewujudkan putusan berkualitas yang mencerminkan rasa keadilan.

“Dalam perkara ini, hakim belum maksimal menggali fakta-fakta, perbuatan yang benar-benar terjadi, dengan tidak melihat kebenaran materil,” ujar Azmi yang dikutip dari CNNIndonesia.com, Jumat (17/3).

Ia juga menilai majelis hakim kurang mempertimbangkan rasa keadilan atas berat ringan bobot penetapan vonis atas kepentingan, dampak korban, pelaku, dan kepentingan umum yang lebih besar.

“Hakim kurang sensitif mengingat ada 135 korban meninggal dan 647 orang lainnya luka. Jelas hakim tidak mempertimbangkan kebenaran yuridis, landasan kemasyarakatan,” tuturnya.

Selain itu, Azmi juga menilai majelis hakim tidak menyeimbangkan perspektif korban yang mengakibatkan mutu putusan hakim kurang mendapat rasa keadilan bagi korban.

“Ada dampak kekecewaan bagi korban yang membuat korban makin kurang percaya pada putusan tersebut lantaran kurang memperhatikan hal-hal esensial akibat perbuatan pelaku bagi korban maupun keluarganya,” kata dia.

Oleh sebab itu, ia menduga hakim kurang sensitif dan putusan tersebut dapat dikatakan belum berkualitas dan mencerminkan rasa keadilan.

Pakar Hukum Pidana Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto menilai putusan hakim tidak sebanding dengan jumlah korban tewas yang sangat masif. Menurutnya, hakim seolah-olah menilai kejadian kelam tersebut seperti bencana alam yang tidak perlu ada pertanggungjawaban.

“Kalau para terdakwa ini ada yang bebas dan dihukum rendah maka pelaku utamanya belum diadili. Oleh sebab itu, pelaku utama harus ditemukan,” tuturnya.

Ia juga mengatakan kasus Kanjuruhan punya dampak yang luas dengan banyaknya korban. Sebab, pihak korban merupakan masyarakat sipil tidak berdosa.

Menurutnya, kasus tersebut lebih berdampak luas dari pada kasus yang melibatkan aparat kepolisian seperti penembakan Brigadir J oleh mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo.

“Dampak dari kasus Sambo hanya mematikan karier anggota kepolisian. Namun, kasus Kanjuruhan telah mematikan banyak nyawa, tidak sekadar jabatan saja. Tentunya kasus itu lebih dahsyat dampaknya dibandingkan kasus Sambo,” ujar Aan.

Belum seret eks Kapolda Jawa Timur

Di sisi lain, Pengamat Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar menilai pertanggungjawaban terdakwa tak bisa dimintai perorangan. Seharusnya tanggung jawab tersebut dituntut kepada penanggung jawab tertinggi di wilayah dalam hal ini eks Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta.

“Sulit mengukur apakah mereka sudah melakukan pengamanan sebagaimana mestinya atau tidak. Seharusnya, tanggung jawab yang tepat dituntutkan kepada penanggung jawab tertinggi di wilayah,” ucapnya.

Demi memuaskan rasa keadilan, menurutnya, penanggung jawab keamanan tertinggi di wilayah harus dimintakan pertanggungjawaban pidana. Ia juga menilai kasus Kanjuruhan sama pentingnya dengan kasus Sambo untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada instansi kepolisian.

“Setiap kasus massal yang cenderung besar pasti akan menjadi perhatian publik dan ujungnya berpengaruh kepada kepercayaan publik. Oleh karena itu, polisi harus bekerja keras menuntaskan kasus Kanjuruhan itu,” ujar Fickar.

Sebelumnya, eks Kapolda Jatim Nico Afinta dilaporkan oleh Devi Athok dan keluarga korban lainnya ke Polres Malang sejak November 2022 silam. Namun hingga kini, laporan level B tersebut belum juga diproses kepolisian.

Selain Nico, penanggung jawab keamanan yakni eks Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat, dan pihak broadcaster PT Indosiar Visual Mandiri juga turut dilaporkan.

Devi dkk juga melaporkan Pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), PT Liga Indonesia Baru (LIB), PT Arema Aremania Bersatu Berprestasi Indonesia (AABBI). (Ind)

The post Hakim PN Surabaya Menilai Gas Air Mata Yang Ditembakkan Hanya Mengarah Ke Tengah Lapangan first appeared on indikasi.id.