Umbu T.W. Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
Mendung pekat masih menggelayut di atas Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga yang digawangi Firli Bahuri itu masih belum bisa menepis hujan skeptis publik soal keberanian dan ketegasannya dalam pemberantasan korupsi. Dari lima tersangka kasus suap di Komisi Pemilihan Umum yang berkaitan dengan penggantian antarwaktu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, tinggal Harun Masiku yang belum tertangkap.
Jejak Harun yang licin bak belut itu mengarah pada dugaan bahwa ia “disembunyikan” atau “dibiarkan” menghilang oleh pihak tertentu. Dugaan tersebut wajar-wajar saja, mengingat Harun merupakan tokoh kunci yang diharapkan bisa membongkar motif dan aktor besar di balik kasus suap yang menjerat komisioner KPU, Wahyu Setiawan, tersebut. Itu sebabnya masyarakat menaruh harapan besar kepada KPK.
Sayangnya, harapan itu terhapus oleh sikap KPK yang terkesan mengulur-ulur waktu dalam proses pencarian Harun, misalnya dengan mengabaikan sumber informasi dari majalah Tempo. KPK lebih mempercayai informasi Direktur Jenderal Imigrasi bahwa Harun pergi ke Singapura sejak 6 Januari dan belum kembali ke Indonesia. Padahal sumber lain di tubuh KPK sendiri mengatakan Harun telah kembali ke Indonesia pada 7 Januari atau sehari sebelum KPK menangkap Wahyu dkk.
Energi besar KPK yang seharusnya dipakai untuk menjawab harapan publik justru digunakan untuk memproduksi semacam eskapisme politik. Simak saja jawaban Firli kepada wartawan mengenai informasi dari sumber lain yang kredibel, yang menyatakan bahwa Harun sudah ada di Indonesia. Firli justru menantang balik dengan mengatakan, “Kalau saya tahu, saya tangkap, pasti. Kalau Anda tahu pun, kasih tahu saja, saya tangkap.” Hal yang lebih-kurang sama juga dilontarkan Firli tatkala menjawab pertanyaan anggota Komisi Hukum DPR, Benny K. Harman, soal keberadaan Harun.
Entah mengapa KPK mudah terjebak dalam narasi-narasi normatif untuk persoalan se-krusial itu, yang justru pada akhirnya berpeluang mengerdilkan KPK di hadapan koruptor dan publik. Bagaimana mungkin institusi yang memiliki perangkat dan fasilitas eksklusif seperti KPK untuk membongkar skandal korupsi saja masih harus “menunggu” informasi dari rakyat?
Dalam teori eliminasi korupsi, untuk menyiasati cara kerja korupsi yang bersifat altruisme resiprokal dan kian konspiratif saat ini, model kerja pemberantasan korupsi tidak bisa lagi mengandalkan pola-pola biasa yang normatif. Tapi harus selangkah atau beberapa langkah lebih maju dari pola-pola tersebut untuk menjamin sasaran pengungkapan korupsi tidak memiliki waktu dan ruang yang terlalu lama untuk melakukan penggelapan jejak kejahatannya (Moore, 2009).
Mungkin ada dua indikasi kelemahan KPK di sini. Pertama, KPK belum menjadikan media pers sebagai pilar keempat demokrasi yang sejatinya memiliki peran dan kontribusi dalam mengontrol penegakan hukum, termasuk membangun sinergi dalam mengungkap kasus korupsi (politik). Ini jelas memunggungi semangat demokrasi dan penegakan hukum.
Kedua, bisa jadi KPK tengah terseret dalam apa yang disebut Edwin Gerloff (1985:78) sebagai bagian dari arus politik dengan memainkan dua strategi: menghindari nasihat atau masukan pihak lain karena tidak ingin ditekan (avoid taking counsel) atau sengaja mengulur-ulur waktu menentukan sikap agar terhindar dari risiko atau tanggung jawab dengan konsekuensi tak ada keputusan yang diambil (maintain maneuverability).
Setidaknya hal tersebut menjadi peringatan keras bagi masyarakat bahwa perjalanan skandal suap di KPU berpotensi menuju labirin dan penuh elegi manakala elite-elite sentrum yang terlibat dalam pemberantasan korupsi tidak pernah serius bekerja karena adanya konflik kepentingan. Adagium “Anda tak bisa melawan korupsi dari bawah, tapi Anda harus melawannya dari atas” (Rotberg, 2009) rasanya makin tawar untuk dipahami dan dipraktikkan di negara yang indeks persepsi korupsinya pun tidak kunjung membaik secara signifikan ini.
Kita masih menunggu kerja KPK dalam mengendus dan menangkap Harun. KPK sudah telanjur menjadi “belahan jiwa” penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat. Karena itu, janganlah mengecewakan rakyat. Rakyat tetap mengapresiasi berbagai upaya pencarian Harun yang dilakukan sejauh ini. Benar kata Ketua KPK bahwa proses pencarian Harun tidak harus diekspose ke publik, tapi paling tidak rakyat juga diberikan semacam titik terang sejauh mana keseriusan KPK menangkap Harun agar tidak ada lagi syak wasangka yang mengatakan bahwa Harun sengaja disembunyikan.
Pada intinya, butuh kehadiran orang jujur untuk bersama-sama menggagalkan korupsi (Rose Ackerman, 1978:182). Namun, jika orang jujur itu pun tak kunjung datang, masihkah kita berharap pemberantasan korupsi di republik ini akan menuai hasil?
Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1303607/hilangnya-harun-masiku-dan-sikap-kpk/full&view=ok