Oleh John IM Pattiwael

“Hukum begitu tajam menghujam si miskin yang lemah, sementara pada saat yang sama, hukum begitu tumpul terhadap mereka yang berkuasa”.

Pendapat seorang rekan pengacara publik pada sebuah lembaga bantuan hukum tersebut terasa sangat relevan terhadap diri Aspuri (19). Bagaimana tidak, Aspuri telah ditahan selama dua setengah bulan dengan dalih, kalaupun dapat dijadikan alasan, Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang pencurian dengan ancaman hukuman paling lama lima tahun. Pencurian sebuah baju, demikian yang dituduhkan kepada Aspuri.

Baju senilai Rp 80.000 yang diambil Aspuri memang milik Dewi, tetapi tergeletak tak bertuan di sebuah pagar tempat Aspuri melewatkan perjalanan pulangnya sehabis berladang. Tanpa disangka, akibat perbuatannya tersebut, Aspuri harus menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Serang, Banten. Intuisi kita sebagai seorang manusia bertanya, apakah pantas Aspuri menjalani semua hal tersebut. Suara hati kita tentu saja berkata tidak walaupun mungkin hukum berkata lain.

Menurut hukum, paling tidak terdapat empat cara penghentian suatu perkara. Pertama, melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh kepolisian. Adapun alasan dikeluarkan mekanisme ini adalah tidak terdapat cukup bukti, bukan merupakan suatu tindak pidana, dan dihentikan demi hukum. Melihat mekanisme ini, rasanya sulit dalam kasus Aspuri untuk diberhentikan. Barang bukti berupa baju milik Dewi serta saksi merupakan pegangan yang cukup kuat bagi pihak kepolisian untuk membuktikan tindak pidana pencurian.

Demikian juga dengan mekanisme dihentikan demi hukum. Menurut doktrin, suatu perkara dihentikan demi hukum jika menyangkut hal-hal seperti kedaluwarsa, tidak dapat dituntut lebih dari satu kali, dan terdakwa tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena meninggal. Tidak ada alasan, menurut doktrin hukum pidana, yang dapat membuat perkara Aspuri ini dihentikan.

Cara penghentian berikutnya adalah mekanisme surat ketetapan penghentian penuntutan (SKP2) yang alasan-alasan untuk dikeluarkannya sama seperti SP3 sehingga tidak dapat diberlakukan kepada Aspuri. Cara lainnya yang tak kalah sulit adalah penghentian penuntutan oleh Jaksa Agung, sesuai asas oportunitas, dan pemberian abolisi oleh presiden. Kedua cara ini memerlukan pertimbangan dari badan- badan kekuasaan lainnya. Apakah seorang Jaksa Agung, bahkan presiden, rela meluangkan waktunya demi rakyat jelata yang bernama Aspuri. Berbicara sebelum terekspos media, tampaknya tidak rela.

Hukum memang tidak memberikan peluang bagi Aspuri untuk tidak menjalani proses berhukum. Mungkin hal ini merupakan suatu ketidaksempurnaan hukum yang tetap harus dilaksanakan. Kepastian hukum menjadi begitu penting dalam proses bernegara pada zaman modern ini. Apa jadinya jika supremasi hukum tidak ditegakkan. Mengabaikannya sama halnya dengan membenarkan perbuatan pencurian. Begitulah argumentasi para penganut positivisme dan kepastian hukum.

Itulah sebabnya Satjipto Rahardjo kemudian memberikan suatu antitesis kepada kita bahwa hukum dibuat untuk manusia dan bukan sebaliknya. Manusia memang bukan mesin atau kalkulator yang jika dimasukkan suatu rumus peristiwa sosial akan menghasilkan input yang sama. Pencurian sebuah baju, yang tergantung begitu saja di pagar, kemudian dipersamakan dengan pencurian motor atau bahkan kasus-kasus korupsi yang mencuri uang negara yang sangat banyak. Kita mungkin juga akan melakukan hal yang sama ketika melihat baju tersebut. Bahkan, mungkin hakim-hakim yang beretika hukum dan sedang memeriksa perkara Aspuri keburu ditangkap ketika hendak memberikan baju tak bertuan tersebut ke kantor polisi jika dia berada dalam posisi Aspuri pada saat itu.

Menyakiti hati nurani

Akhir-akhir ini, hukum dan perubahan sosial menunjukkan tren yang justru menyakiti nurani masyarakat. Kejadian nenek Mina dan biji kakaonya merupakan bukti nyata tren ini. Sifat pemidanaan untuk menimbulkan efek jera justru berbalik jadi ”senjata makan tuan” yang membuat orang kemudian mempertanyakan dan mempersalahkan hakikat hukum itu sendiri.

Orang ramai-ramai mempersalahkan penanganan hukum yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan yang terlalu mementingkan legal formal sebagai kata lain dari kepastian hukum. Lantas, apa artinya hukum yang dibuat untuk manusia jika manusia menjadi tersiksa dan terbelenggu karena hukum itu.

Pembaruan hukum acara pidana memang tengah diusahakan oleh beberapa lembaga bantuan hukum akhir-akhir ini. Salah satu hal yang disoroti adalah penanganan kasus-kasus yang seharusnya tidak perlu diteruskan ke pengadilan demi kepentingan umum.

Salah satu usulan yang disampaikan dalam pembahasan RUU KUHAP adalah adanya seorang hakim komisaris yang ditempatkan di rutan-rutan yang mewadahi kasus-kasus kecil dengan menilai layak tidaknya sebuah perkara diadili di pengadilan. Kewenangan yang dimiliki oleh hakim komisaris, antara lain, adalah menjaga agar pelanggaran terhadap hak-hak terdakwa selama tahap penyidikan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas, penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang sah.

Walaupun ada upaya pembaruan hukum acara, tetapi bagaimanapun juga hukum, sebagaimana hal apa pun di dunia, adalah suatu media yang tak sempurna. Entah selalu ketinggalan terhadap perubahan sosial ataupun pelaksanaannya tak sesuai atau melenceng dari tujuan yang hendak dicapai. Merupakan tugas manusialah untuk mengimplementasikan hukum yang tidak sempurna ini ke dalam suatu tujuan sosial yang mengakomodasi kepentingan masyarakat.

Selain itu, yang perlu diingat adalah bahwa negara kita tidak dibangun di atas paham individualis yang merupakan akar dari kepastian hukum. Negara kita dibangun di atas dasar kemanusiaan. Di atas dasar Pancasila yang justru mempersatukan kita. Berhukum dalam Pancasila berarti menjadikan Pancasila sebagai dasar filosofi implementasi hukum di Tanah Air.

Seandainya para yuris mau berhukum demikian, Aspuri tentunya tidak akan diproses. Baik polisi maupun jaksa setidaknya akan mengeluarkan SP3 ataupun SKP2. Dasarnya adalah perkara dihentikan demi hukum. Perkara Aspuri memang belum pernah diajukan ataupun kedaluwarsa, Aspuri pun belum meninggal dunia sehingga masih dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Namun, polisi ataupun jaksa dapat mendasarkan argumennya atas perilaku kemanusiaan dan penyelesaian secara kekeluargaan atas dasar Pancasila.

Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Undang-Undang dikatakan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Materi muatan peraturan perundang- undangan pun dibuat atas dasar asas kemanusiaan dan kekeluargaan. Dengan melakukan sedikit interpretasi akrobatik atas dasar Pancasila oleh kepolisian dan/ atau kejaksaan, Aspuri sebenarnya dapat melewati di luar penjara.

John IM Pattiwael Direktur LBH Mawar Saron

(sumber : Kompas)