Segera setelah KPK menetapkan Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA) sebagai tersangka dugaan korupsi, seharusnya, sepantasnya dan sewajarnya Presiden langsung memberhentikannya sebagai menteri, tanpa menunggu pengunduran diri. Bahkan hal itu seharusnya dilakukan Presiden langsung saat masih berada dimana pun, termasuk ketika di Manila untuk kunjungan kenegaraan baru-baru ini. Namun Presiden SBY yang sarat dengan gaya pencitraan, gaya protokoler, dan gemar melakukan sejenis upaya “uji publik” atau “uji opini publik” itu baru mengambil keputusan setelah harus lebih dulu menerima laporan Wakil Presiden Budiono saat menyambutnya di ruang VIP Bandara Halim Perdanakusuma sore tadi, Jumat 24 Mei 2014, dan lalu mempertimbangkan, atau mungkin “harus diimpikan” dulu satu dua malam.
Keraguan Presiden untuk serta merta memberhentikan SDA sebagai menteri agama begitu menjadi tersangka korupsi, memunculkan berbagai dugaan yang bertendensi negatif tentang keberpihakan presiden terhadap pemberantasan korupsi khususnya, dan penegakan hukum umumnya. Disamping dugaan negatif, terjadi krisis kepercayaan kepada pemerintah, dan rasa malu luar biasa masyarakat Indonesia terhadap diri sendiri dan bangsa lain. Menteri agama tersangka korupsi. Ia memang manusia biasa, tetapi ia menteri agama. Ia memang bisa tergoda, tetapi ia menteri agama, pembantu presiden.
Dari segi hukum, siapa pun tahu, hingga saat ini belum ada tersangka yang ditetapkan KPK lolos dari hukuman di pengadilan Selain itu, KPK tidak mengenal Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sebagaimana yang sering “diperdagangkan” kejaksaan. Sehingga, manakala SDA telah ditetapkan KPK sebagai tersangka yang diduga melanggar pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara, tidak ada alasan apa pun bagi Presiden untuk tidak mencopotnya sebagai menteri. Tidak perlu banyak pertimbangan, dan tidak perlu menunggu pengunduran diri. SDA tidak akan selamat dari jerat hukum. Selain itu, sangat memalukan.
Dari sisi moral dan kepatutan, sangkaan korupsi terhadap seorang menteri agama merupakan cambuk luar biasa bagi suatu bangsa. Betapa kita terbeban menjawab pertanyaan anak kecil, “Jika menteri agama saja korupsi, bagaimana menteri atau pejabat lain?”. Betapa malunya kita sebagai bangsa, malu sebagai umat beragama, malu sebagai yang berpendidikan, malu sebagai bangsa yang berdasarkan Pancasila, manakala menteri agama tersangka korupsi yang tidak mungkin di-SP3-kan atau salah paham sebagaimana statement sang tersangka.
Dugaan lain, tampaknya Presiden SBY makin lembek terhadap para tersangka koruptor karena sudah terbiasa melepas anak buahnya ditangkap dan diperjarakan KPK, dan akan segera berakhirnya masa jabatannya sebagai Presiden pada 20 Oktober mendatang. Ada kalangan yang berperdapat, presiden menjelang pensiunnya tidak ingin secara frontal berseberangan dengan tersangka koruptor. Ada pula yang menduga, bahwa kasus centrury bakal menyenggol presiden setelah menjadi mantan seiring berjalannya sidang-sidang kasus Bank Century di pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang makin menguak aktor di balik kasus Centrury berdasarkan sari kesaksian Sri Mulyani, Jusuf Kalla, dan Wapres Budiono. Karena kesimpulan sementara kasus Century di kalangan masyarakat, pembobolan uang negara melalui Bank Century dilakukan dengan sangat sistemik, dan bukan upaya mencegah krisis yang berdampak sistemik sebagaimana statemen yang selalu didoktrinkan Partai Demokrat dan dedengkotnya.
Dalam konteks politik dan pemilihan umum, keraguan Presiden itu sekaligus menyeruak kenyataan betapa suramnya kinerja suatu kabinet yang dibangun berdasarkan politik transaksional dan power sharing dalam koalisi besar hanya demi pemenangan pemilihan presiden dan dukungan DPR selama periode jabatan. Hal ini menjadi pelajaran berharga dalam Pemilihan umum Presiden tanggal 9 Juli 2014 mendatang. Bagi-bagi kekuasaan menjadi penyakit kronis bagi pemerintahan. Disamping setiap saat terjadi bargaining position antara presiden dengan koalisinya, pemerintahan tidak efektif, pemanfaatan jabatan untuk dana dan kepentingan politik, yang pada akhirnya bermuara pada korupsi dan bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Menteri dari koalisi tidak murni tunduk dan taat kepada presiden, karena menteri bersangkutan memiliki “power” di parlemen dan massa partai. Bukankah kasus Century teridikasi politik transaksional?
Selain istilah koalisi dan oposisi tidak dikenal di dalam sistem demokrasi kita yang menganut sistem presidensil, kerja sama antar partai pendukung calon presiden harus dihindarkan dari sistem koalisi maupun oposisi. DPR di dalam melakukan kontrol terhadap eksekutif tidak seharusnya dalam konteks ego partai, apakah ia berasal partai perdukung atau partai pendukung saingan. DPR seharusnya dalam posisi katakan benar jika benar, dan dukung bila itu benar untuk rakyat. Dukung eksekutif bila bekerja dengan program yang jelas dan urgen bagi bangsa dan rakyat, dan lawan bila sebaliknya, dan terlepas dari ego partai.
Maka, kepada para penganut dan penggiat politik transaksional, dan transaksi politik, bertobatlah karena model yang demikian tidak akan menyelamatkan, malah menghancurkan bangsa ini. SDA tersangka korupsi, bukan saja soal nilai nominal kerugian uang negara, tetapi kerugian moral bangsa, generasi muda dan anak-anak bangsa. Ia sendiri penggiat politik transaksional bersama bos lama dan calon bos barunya. Apakah kesalahan seperti ini akan kita ulangi dalam Pilpres 9 Juli 2014 ini? Wallahualam, bertobatlah.
Bandung, 24 Mei 2014
Bernard Simamora