Beranda Sosbud Ketika Eskapisme dan Reduksionisme Mendominasi

Ketika Eskapisme dan Reduksionisme Mendominasi

274

Oleh Ninok Leksono

Menanggapi pertanyaan yang penuh semangat dan substansial, seorang panelis dalam Seminar ”Keindonesiaan dan Kewarganegaraan” merasa bangga. Teman-teman dari pulau-pulau kecil pun sangat concerned dengan Indonesia. Kepedulian itu pastilah juga ungkapan kecintaan. Namun, bila disimak, di sela-sela pertanyaan mereka, yang mengusulkan upaya-upaya perbaikan, terselip pula keluhan, kesebalan, dan juga gugatan.

Menjelang Peringatan Hari Kemerdekaan, tak disangsikan lagi perasaan kebangsaan mengembang di hati. Ini seolah menjadi momen yang akan mampu menjadi katarsis, lepas sejenak dari suasana yang lazimnya meliputi hati dan hidup sehari-hari. Bukan saja oleh harga BBM dan pangan yang makin mahal, tetapi juga oleh korupsi yang makin telanjang, oleh pemerintahan yang tampak tidak efektif dalam menanggulangi problem yang mendera warga. Warga yang membutuhkan perlindungan sering merasa tersia karena pertolongan tak kunjung tiba. Yang lain berkomentar, ”Di Indonesia, apa saja harus bayar. Itu memusingkan. Sudah miskin harus bayar ini- itu.”

Penanya lain, dalam semangat itu lalu mengisahkan bahwa saudaranya banyak yang mencari hidup di negeri lain. Selain memusingkan, hidup di Indonesia dirasa tidak nyaman.

Dalam situasi suram dan kalut, sebagian khawatir bahwa negeri ini akan pecah karena separatisme. Tetapi, bukan itu sebenarnya ancaman itu. Negeri ini bisa hancur karena memang dihancurkan sendiri oleh elitenya.

Tak mengherankan kalau lalu muncul pertanyaan mendasar, benarkah yang selama ini disebut sebagai bangsa Indonesia benar- benar bangsa Indonesia seperti yang divisikan dalam konstitusi?

Suasana keterpurukan panjang dipandang punya andil besar dalam membuat suasana jadi seperti ini. Namun, selain itu, juga ada penjelasan teoretik mengenai ”mengapa semangat kebangsaan—untuk berbuat kebajikan bagi bangsa—tak kunjung mewujud”.

Aras idea dan struktur

Telah diamati bahwa tantangan terhadap kebangsaan mewujud baik dalam aras (level) idea maupun dalam aras struktur. Pada aras idea, tantangan berasal dari kapitalisme, nativisme, dan konfesionalisme, sementara dari aras struktur tantangan berupa penetrasi dan intervensi transnasional. Masing-masing isme dalam aras ide memiliki cita-cita, nilai dan mekanisme sendiri. Misalnya saja untuk kapitalisme, yang jadi cita-cita adalah akumulasi kapital, nilainya solidaritas cari untung, dan mekanismenya transnasional. Adapun untuk nativisme, yang jadi cita- cita adalah integritas dan kelestarian etnik, nilainya persaudaraan dan darah/daerah, dan mekanismenya subnasional/politik etnik.

Dengan karakter itu, masing- masing punya kritik terhadap UUD 1945. Bagi kapitalis, konstitusi ini dianggap terlalu mengagungkan peran negara dan itu merupakan kendala bagi akumulasi kapital, sementara bagi nativis UUD 1945 dianggap tidak menjamin kepentingan etnik, seperti hak adat, dan menurut konfesionalis ia dianggap terlalu sekular.

Tantangan dari struktur juga tak bisa dipandang ringan. Dengan makin banyaknya kuasa-kuasa di lingkup global, kekuasaan di dunia lalu menjadi multi-centric dan ini membuat negara-bangsa kehilangan monopoli. Mereka harus bersaing dengan berbagai aktor lain, dalam hal ini organisasi internasional (seperti PBB), bisnis (MNC), LSM, kelompok informal China perantauan, atau organisasi nonkonvensional seperti kelompok teroris.

Berbagai aktor tersebut menembus batas-batas geografis maupun administratif konvensional, dan berpengaruh terhadap berbagai proses pembuatan keputusan domestik. Dalam sistem transnasional, warga satu negara bisa melibatkan diri dalam berbagai hubungan melintas-batas negaranya dan mengembangkan loyalitas ganda. Seseorang yang terlibat aktif dalam berbagai kegiatan di beberapa negara mungkin masih mematuhi aturan main yang diterapkan oleh pemerintah nasionalnya, tetapi juga sangat mungkin warga tersebut mengembangkan komitmen dan loyalitas pada unit-unit lain di luar yurisdiksi pemerintahnya.

Dalam situasi ini, pemerintah nasional menghadapi tantangan dari dua arah, yakni dari transnasional dan lokal. Di satu sisi pemerintah harus mengakomodasi tantangan ”globalisasi” (untuk memfasilitasi akumulasi kapital) dengan akibat sebagian wewenangnya diserahkan pada lembaga internasional; pada sisi lain pemerintah juga harus berbagi kekuasaan dengan pemerintah- pemerintah di bawahnya (karena desentralisasi).

Akibatnya, kapasitas pemerintah dalam membuat keputusan otonom merosot, justru ketika peranannya sangat diperlukan untuk menggerakkan pembaruan. Pada gilirannya, tingkat kepercayaan warga terhadap kemampuan pemerintah dalam menjamin pelaksanaan amar konstitusi pun merosot. Sebaliknya, daya tarik isme-isme lain meningkat.

Solusi kelas ringan

Menyimak persoalan struktural menyangkut kebangsaan di atas tampak bahwa substansinya serius. Namun, di negeri ini yang sering terjadi adalah ”untuk persoalan berat diberikan solusi kelas ringan”.

Jalan keluar yang sering tampil di media massa ditengarai berasal dari pelaku atau inisiator yang bertolak dari sikap eskapis, reduksionis, dengan tujuan yang bersifat ad hoc, dan kompromistik nyaris naif. Sering terjadi persoalan substansial fundamental coba diselesaikan dengan kiat-kiat politik baku yang sudah tidak memadai lagi.

Dengan kondisi seperti ini, tidak sulit dimengerti kalau yang terjadi adalah problem substansial fundamental seperti kebangsaan tak kunjung bisa dipecahkan. Eskapisme yang ada mengindikasikan problem tersebut disimpan saja di bawah karpet. Sementara reduksionisme menyiratkan adanya anggapan bahwa capaian prosedural yang diraih selama 10 tahun terakhir sudah sah dan memadai.

Kini, saat menyongsong peringatan Hari Merdeka, bukankah semua itu perlu direnungkan kembali? Belum cukupkah merasakan, betapa eskapisme dan reduksionisme hanya berarti membiarkan persoalan substansial- fundamental yang ada terus membayangi perjalanan kehidupan berbangsa?

sumber : kompas