Nuansa politik, termasuk politik uang, dirasakan amat kental dalam pembahasan revisi Undang-Undang Mahkamah Agung. Untuk itu, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK perlu mengamati pembahasan rancangan undang-undang itu.
”Nuansa politik uangnya kental sekali. Seolah ada perburuan tunjangan hari raya. Juga seperti ada target untuk mengesahkan UU itu pada September ini,” kata peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Deta Artasari, Minggu (21/9) di Jakarta. Ia menanggapi pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Mahkamah Agung (MA) yang tengah ”dikebut” DPR.
Selain pembahasannya yang terkesan terburu-buru dan tertutup, kata Deta, nuansa politik uang juga terlihat dari hasil sementara pembahasan yang jauh dari masyarakat. Mayoritas fraksi setuju usia pensiun hakim agung 70 tahun (Kompas, 21/8). Padahal, Badan Legislasi DPR semula mengajukan usulan usia pensiun hakim agung adalah 65 tahun.
Isu penerimaan uang itu juga mendorong anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) DPR, T Gayus Lumbuun, mengundurkan diri sebagai anggota Panja RUU MA. Ia ingin di luar panja sehingga leluasa mengkritisi RUU itu. Ia juga mendukung usia pensiun hakim agung 67 tahun (Kompas, 18/9).
Rezim di MA
Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia (TII) Rizal Malik melihat persetujuan mayoritas fraksi di DPR untuk memperpanjang usia hakim agung dari 67 tahun menjadi 70 tahun terkait dengan usaha mempertahankan rezim di MA.
”Alasan perpanjangan usia pensiun, karena makin tua kian bijaksana atau karena di usia 70 tahun masih mampu bekerja baik, hanya dicari-cari. Inti sebenarnya, DPR dan MA sama-sama ingin mempertahankan rezim yang berkuasa di MA, yang cenderung tidak reformis,” paparnya.
Deta melihat ada dua kepentingan besar di balik usaha mempertahankan rezim di MA. Pertama, kepentingan partai politik pada Pemilu 2009 karena MA akan mengurus kasus pidana pemilu. Jika usia pensiun tetap 67 tahun, akan banyak hakim agung yang pensiun saat pemilu. Ini dikhawatirkan akan mengganggu kepentingan partai politik yang bisa terlibat pidana pemilu.
Kedua, kepentingan anggota DPR yang juga menjadi advokat. Perubahan komposisi hakim agung akan membuat mereka harus kembali bekerja membangun lobi.
Juru Bicara KPK Johan Budi berharap mereka yang mengetahui permainan politik uang dalam penyusunan revisi UU MA segera melaporkan kepada KPK. Sebab, KPK tak dapat bergerak hanya berdasarkan rumor.
Hanya F-PDIP menolak
Nursyahbani Katjasungkana, anggota Panja RUU MA dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, mengakui hanya F-PDIP yang menolak perpanjangan usia hakim agung menjadi 70 tahun. ”F-PDIP tetap ingin usia pensiun hakim agung 67 tahun. Untuk itu, mereka mengirimkan nota keberatan,” katanya. (nwo)
Sumber : kompas