Oleh TA Legowo
Tahap Pemilu 2009 kini dalam proses pencalonan anggota DPR (D). Tahap ini merupakan bagian internal partai politik peserta pemilu dalam menyiapkan calon-calon legislatif untuk dipersaingkan dalam pemilu.
Meski demikian, pencalonan ini menarik perhatian publik karena sebagian caleg parpol itu akan menentukan kualitas kinerja DPR nasional maupun daerah (yang kini sedang terpuruk citranya karena berbagai skandal korupsi).
Pencalonan juga penting bagi parpol karena caleg-caleg itu akan menjadi satu faktor untuk menarik simpati dan selanjutnya dukungan suara pemilih pada Pemilu 2009. Maka, banyak parpol besar atau kecil, lama maupun baru, mengajukan atau menominasi tokoh-tokoh populer sebagai caleg-calegnya. Mereka bukan hanya artis, tetapi juga pemuka masyarakat di tingkat nasional maupun daerah.
Kader dan nonkader
Dengan cara itu, proses pencalonan parpol akan menghasilkan dua jenis caleg, yaitu caleg kader dan caleg nonkader. Caleg kader berasal dari anggota parpol, sedangkan caleg nonkader berasal dari luar parpol yang punya daya tarik mendulang dukungan masyarakat.
Bagi parpol, pencalonan caleg nonkader mungkin memberi keuntungan untuk meningkatkan daya tarik parpol di mata masyarakat. Sebaliknya, ia juga dapat menimbulkan masalah.
Pertama, banyak kader partai akan tersingkir dari peluang terdaftar karena tempat yang seharusnya untuk mereka diambil alih partainya untuk caleg nonkader. Ini dapat memperlemah soliditas atau konsolidasi parpol.
Kedua, persaingan tidak sehat bisa terjadi ketika pelaksanaan kampanye karena ”kemarahan” caleg-caleg kader yang bisa jadi tergusur dari urutan nomor jadi (”kepala”) ke urutan nomor tidak jadi (sepatu) dalam daftar calon. Namun, karena Pemilu 2009 memungkinkan keterpilihan caleg melalui perolehan dukungan suara 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP), caleg-caleg kader pada nomor sepatu dapat saja melakukan black campaign untuk menjatuhkan popularitas caleg nonkader. Ini bisa mengacaukan koordinasi kegiatan kampanye parpol yang merugikan popularitas parpol di mata massa pemilih.
Ketiga, pengistimewaan caleg nonkader dalam pencalonan dapat menumbuhkan keyakinan negatif di kalangan anggota, bahkan pengurus parpol. Penilaian itu ialah yang terpenting popularitas, bukan kualitas caleg yang harus dipupuk bertahap dalam pengalaman berpartai. Keyakinan ini hanya mengukuhkan kenyataan atas tiadanya program kaderisasi terrencana dan berjenjang di banyak parpol.
Program kaderisasi
Kaderisasi terencana dan berjenjang tampaknya belum menjadi bagian utama program dan strategi pengembangan parpol Indonesia. Kalaupun ada pengecualian, itu terjadi hanya pada satu–dua parpol. Kaderisasi semacam ini berbeda dengan pelatihan calon legislatif berjangka pendek yang dalam minggu-minggu terakhir ini marak dilakukan banyak parpol.
Ketiadaan program kaderisasi parpol membawa efek pada banyak masalah kepartaian dan keparlemenan.
Masalah utama kepartaian di Indonesia adalah pelembagaan. Parpol terlembaga dicirikan oleh beberapa hal, sebagai contoh, seperti masa hidup yang relatif panjang (lama), mengakar di masyarakat, mempunyai kesiapan personalia untuk menjalankan peran dalam aneka jabatan publik, mempunyai program kebijakan khusus yang menjadi identifikasi partai, dan suksesi kepemimpinan yang berlangsung teratur dan damai.
Beberapa parpol berumur panjang, tetapi tidak mengakar di masyarakat. Demikian juga beberapa parpol mempunyai program khusus yang menjadi identifikasi partai, tetapi terpecah saat melangsungkan suksesi kepemimpinan. Ironi-ironi seperti ini bisa disusun dalam daftar panjang. Di luar itu, kecenderungan umum yang terlihat, banyak parpol tidak menunjukkan kesiapan dan ketersediaan personalia saat harus mengisi jabatan-jabatan publik badan-badan pemerintahan.
Kelemahan pelembagaan parpol jelas merugikan kepentingan masyarakat.
Masyarakat, yang seharusnya dilayani partai-partai politik dengan kader-kader yang berkualitas mempunyai tanggung jawab, bersih, dan berwawasan dalam menjalankan peran sebagai pejabat, kehilangan kepercayaan atas kinerja badan-badan pemerintahan (legislatif dan eksekutif). Pada kenyataannya badan-badan pemerintahan itu terisi oleh personalia yang kurang tepercaya yang disiapkan, diusulkan, atau didukung parpol.
Kini, partai-partai politik dalam kehidupan pemerintahan di Indonesia merupakan sumber utama perekrutan untuk jabatan-jabatan publik. Seluruh anggota DPR (D) harus berasal dari parpol. Para kepala pemerintahan (eksekutif) nasional maupun daerah harus diusulkan parpol. Para pejabat lembaga tinggi negara dan komisi-komisi negara harus diseleksi oleh para utusan parpol di DPR. Demikian juga, pengawasan terhadap kinerja pemerintah dilakukan parpol melalui perwakilan mereka di lembaga legislatif.
Tumpuan keberhasilan
Kenyataan itu menegaskan, tumpuan keberhasilan kinerja pemerintahan Indonesia sebagian besar dalam pengaruh parpol. Dengan kata lain, parpol berperan penting bagi keberhasilan pemerintahan. Namun, pada saat sama, parpol dapat menjadi sumber masalah dan kegagalan pemerintahan di Indonesia.
Kaderisasi parpol yang berkesinambungan pada dasarnya menyiapkan seluruh aspek pelembagaan parpol sekaligus menjamin keberhasilan pemerintahan. Ini juga berarti jaminan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
Masalah caleg kader dan nonkader parpol tidak akan muncul karena isu utama bukan seberapa besar parpol akan menguasai pemerintahan, tetapi seberapa bermanfaat parpol dalam pemerintahan memberikan kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.
TA Legowo Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi)
sumber : kompas