Beranda Ragam Memanusiakan Transgender

Memanusiakan Transgender

213

Nova Riyanti Yusuf

Psikiater dan Sekretaris Jenderal Federasi Asosiasi Psikiatri Asia

Kesehatan jiwa menjadi masalah kesehatan yang kerap mencengangkan masyarakat. Hal ini tampak dari beberapa peristiwa dalam setahun terakhir yang menyedot perhatian masyarakat, seperti kasus predator seks di Manchester, film Joker, dan kasus LL yang transgender.

Khusus kasus LL, banyak cemoo dan candaan yang muncul. Ini tidak aneh, mengingat transgender adalah kelompok yang sejak dulu sering dilakonkan dalam berbagai pertunjukan komedi sebagai stimulator tawa penonton. Transgender dianggap sebagai wujud tontonan berjarak, bukan manusia yang berbaur dengan masyarakat. Sekarang dan seterusnya, edukasi sangat dibutuhkan oleh masyarakat sebagai bagian dari upaya promotif sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan Jiwa.

Transgender merupakan istilah yang tergolong baru dikenal masyarakat karena sebelumnya terbiasa dengan istilah waria (wanita pria). Transgender tidak mampu mengidentifikasi diri terhadap jenis kelamin yang dimiliki sejak lahir. Ini berkebalikan dengan cisgender.

Mengapa seseorang menjadi transgender dan apakah transgender adalah suatu gangguan jiwa? Tidak ada cara yang sederhana dan langsung untuk menjawab pertanyaan pertama. Transgender adalah fenomena yang kompleks. Para ilmuwan meyakini bahwa terdapat kombinasi antara faktor biologis, psikologis, dan sosial yang berinteraksi secara kompleks.

George Kranz, ahli neurosains dari Wina, menggunakan data pencitraan resonansi magnetik (MRI) difusi untuk menyelidiki perbedaan mikrostruktur materi putih di antara subyek transgender dan cisgender. Perempuan memiliki tingkat tertinggi, pria terendah, dan transgender berada di antara keduanya. Pada transgender terdapat mismatched testosterone selama perkembangan tubuh dan otak, sehingga tubuh menjadi maskulin dan otak menjadi feminin atau sebaliknya.

Ivanka Savic, ahli neurosains di Karolinska Institute Swedia, meragukan hipotesis mismatched perkembangan itu. Disparitas antara gender versi otak dan gender versi tubuh tidak terjadi sesederhana itu. Savic menemukan dua area di otak, talamus dan putamen, yang mempunyai materi putih lebih sedikit pada transgender perempuan dibanding kontrol cisgender. Hal ini mirip dengan penelitian Kranz. Area-area di otak tersebut berfungsi untuk memediasi persepsi tubuh. Persepsi sangat penting pada identitas gender karena berkaitan dengan kemampuan mengidentifikasi diri dengan jenis kelaminnya.

Savic juga meneliti konektivitas jejaring saraf otak dengan MRI fungsional. Transgender laki-laki menunjukkan konektivitas lebih lemah antara area, seperti, anterior cingulate dan posterior cingulate. Pada cisgender laki-laki, konektivitas kedua area lebih kuat. Bisa disimpulkan, perbedaan-perbedaan struktur otak antara transgender dan cisgender memperkuat faktor biologis sebagai determinan penyebab terjadinya transgender. Hal ini menjadi tantangan bagi dunia medis.

Dokter jiwa (psikiater), dokter umum yang kompeten, dan psikolog klinis di Indonesia berpegang pada tiga buku manual diagnostik, yaitu Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ), Diagnostic and Statistic Manual (DSM), dan International Classification of Disease (ICD). PPDGJ III, sesuai dengan ICD 10, memasukkan transseksualisme sebagai gangguan yang menetap minimal dua tahun dengan hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari lawan jenis, memiliki perasaan risi dengan anatomi seksualnya, disertai keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan.

DSM IV pernah mempunyai kode 303 gangguan identitas gender. Namun, pada DSM V, yang telah digunakan dalam beberapa tahun terakhir, muncul kode 303 gender dysphoria pada anak, remaja, dan orang dewasa yang merupakan inkongruensi antara gender yang dihayati dan gender yang dimiliki sejak lahir. ICD 11, yang akan berlaku pada 1 Januari 2021, tidak lagi memasukkan transseksualisme sebagai gangguan jiwa, melainkan sejalan dengan DSM V yang berfokus pada gender inkongruensi.

Penting pula untuk menyoroti dampak psikologis yang dialami transgender, yang secara garis besar bisa ego-sintonik atau ego-distonik. Ego-sintonik adalah jika seseorang menerima dirinya dan merasa nyaman dengan kondisi yang ia miliki, sedangkan ego-distonik sebaliknya.

Jika ayah tiri Kim Kardashian, Caitlyn Jenner, merasa berat atas ragam reaksi masyarakat saat dirinya mengaku transgender, dapat dibayangkan tantangan yang dialami LL di Indonesia dengan budaya dan nilai yang masih sulit menghadapi anomali manusia.

Penelitian di Mercer University, Amerika Serikat, pada 2016 memaparkan bahwa transgender perempuan mempunyai wellbeing psikologis paling rendah dengan berbagai indikator, seperti self-esteem dan perceived social support. Risiko yang bisa dihadapi oleh transgender adalah penolakan oleh keluarga, pelecehan, stigma, diskriminasi, dan prasangka.

Di sini, pintu para profesional di bidang kesehatan jiwa terbuka untuk menanganinya. Konsultasi dengan psikiater atau psikolog adalah suatu kewajaran, bukan kelemahan. Perlu dicatat bahwa obat-obat yang dikonsumsi untuk berbagai masalah kejiwaan memang ada yang termasuk golongan psikotropika IV. Dengan demikian, dibutuhkan asesmen kejiwaan dan indikasi pemberian obat oleh seorang dokter jiwa (psikiater), alih-alih mendiagnosis diri sendiri dan mencari obat dari jalur nonmedis sehingga berisiko melanggar hukum.

Semoga bukan utopia bahwa apa pun latar belakang agama, budaya, dan nilainya, masyarakat Indonesia akan selalu berlandaskan kemanusiaan bagi sesama.

Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1310236/memanusiakan-transgender/full&view=ok