Minimalkan Jumlah Kader “Tak Berkeringat” di Parpol
Kaderisasi di dalam partai politik sangat dipengaruhi sistem perekrutan anggotanya, termasuk perekrutan calon anggota legislatif. Semakin banyak jumlah calon anggota legislatif yang ”tidak berkeringat” di dalam sebuah parpol mengisyaratkan proses pengaderan tidak berjalan baik.

Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Amanat Nasional (PAN) Totok Daryanto menegaskan, proses pemilihan kader PAN dimulai dari penjaringan nama- nama yang akan diusulkan, kemudian dilakukan penyaringan secara berjenjang. Ada persyaratan umum, seperti tingkat pengenalan kader dengan PAN dan kemampuan kader dalam berkomunikasi. ”Kalau untuk pusat, kewenangannya di DPP,” ujarnya.

PAN memang membuka kesempatan di semua level masyarakat, termasuk dari kalangan artis, yang jumlahnya tak lebih dari 5 persen. ”Meskipun PAN dikenal sebagai Partai Artis Nasional karena memang banyak artis yang berminat masuk ke PAN, jumlahnya tidak lebih dari 5 persen dari total caleg PAN,” ujarnya.

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memberikan ”porsi” lebih banyak lagi, yaitu 30 persen bagi kalangan profesional yang ingin mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota legislatif (caleg). Sisanya diberikan kepada kader PKB dan kader Nahdlatul Ulama beserta badan otonomnya.

Cukup besarnya porsi bagi kalangan profesional, menurut Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Tanfidz PKB M Hanif Dakhiri, untuk mencerminkan PKB sebagai parpol terbuka. Kalangan profesional ini berasal dari artis, akademisi, dan pengusaha.

Hanif membantah bahwa pengakomodasian kalangan profesional akibat PKB kekurangan bakal caleg. Pengakomodasian itu, katanya, untuk mewadahi realitas sosiokultural yang ada di masyarakat, bukan untuk memotong proses kaderisasi partai.

Pemilihan raya

Partai Keadilan Sejahtera menetapkan penjaringan calon anggota legislatif melalui pemilihan raya internal. Pemilihan yang melibatkan kader partai itu, selain untuk menjaring nama, juga untuk melihat besarnya dukungan kepada sang calon. ”Namun, tetap DPP yang mempunyai kewenangan atas caleg DPR pusat dan provinsi. DPP akan memberikan penilaian, terutama melihat track record seorang kader, dan moral,” ujar Presiden PKS Tifatul Sembiring.

PKS juga tidak menutup pintu bagi kader ”eksternal”. Menurut Tifatul, usulan kader ”eksternal” bisa dilakukan di semua struktur kepengurusan. ”Untuk pusat, persentase kader eksternal partai mencapai 30 persen. Kader internal lebih besar,” ujarnya.

Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Irgan Chairul Mahfiz mengatakan, proses pemilihan calon anggota legislatif dilakukan oleh Lajnah Pemenangan Pemilu Legislatif (LP2L). Lembaga ini bertugas menampung, memilah, dan menyeleksi secara administrasi kader partai, tokoh masyarakat, dan orang yang memiliki popularitas untuk menjadi caleg.

Menurut Irgan, LP2L akan menentukan siapa kader PPP di dalam daftar caleg PPP, termasuk nomor urut, dan daerah pemilihan. Untuk menetapkan ini, dasar yang dipakai antara lain rekomendasi DPW dan DPC, pengurus dan kader partai, serta kemampuannya menguasai substansi dan teknis permasalahan.

PPP juga mendekati orang- orang yang ingin bergabung ke PPP, termasuk mereka yang mempunyai kemampuan dan popularitas, seperti tokoh masyarakat, ulama, dan kalangan profesional. ”Kita juga melihat dukungan yang bisa diraih seorang tokoh di suatu daerah atau besarnya peluang untuk mendongkrak suara PPP di daerah pemilihan,” ujarnya.

Tak lebih dari 5 persen

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sampai Minggu masih menyempurnakan daftar calegnya. ”Kita terus mengintip komposisi caleg partai lain,” kata Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDI-P Tjahjo Kumolo.

Menurut dia, caleg dari PDI-P yang masuk kategori baru tak sampai 5 persen dari total kuota. Walaupun kader baru, PDI-P juga tetap menerapkan persyaratan.

Seleksi yang dilakukan partai diakuinya makin ketat. Setiap calon diharuskan melampirkan rekomendasi dukungan dari pengurus partai di bawahnya. Penilaian kinerja pun dilakukan dengan sistem skoring.

Mencermati perekrutan caleg PDI-P, variabel yang dinilai di antaranya lama keanggotaan; jabatan di struktural partai, mulai dari anak ranting sampai DPP; jabatan di lembaga-lembaga pendukung, mulai dari kabupaten sampai pusat; serta dukungan kepada kegiatan partai, loyalitas kepada partai. Semua diberi skor 0-100. Calon yang terlibat pidana di atas 5 tahun, misalnya, dikurangi 100 persen.

Harus hati-hati

Peneliti senior Centre for Strategic and International Studies, J Kristiadi, mengaku tidak jadi soal jika parpol memilih untuk mengambil orang-orang di luar kader parpolnya untuk kemudian dijadikan sebagai calon anggota legislatif.

Hal seperti itu sah-sah saja dilakukan, tetapi tetap perlu hati- hati karena hal itu bisa juga mengisyaratkan bahwa kaderisasi di parpol bersangkutan buruk.

”Jika tidak, mereka kan tidak mau main comot kiri kanan orang luar. Saya bukan antiartis, tetapi bukankah profesi mereka selama ini selalu memerankan orang selain dirinya? Apa bisa mereka nanti memperjuangkan nasib konkret rakyat?” ujar Kristiadi.

Anggapan siapa pun bisa menjadi politikus, seperti terjadi sekarang, menurut Kristiadi, menunjukkan kedangkalan dan pragmatisme politik.

”Orang-orang yang asal dicomot itu, selain ’tidak berkeringat’, tentunya sangat meragukan dan belum tentu bisa diharapkan mampu memperjuangkan nasib rakyat,” katanya. (MAM/MZW/SUT/DWA).
sumber : kompas