Jakarta, Indikasi.id – Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Patijaya menegaskan, Komisi VII DPR RI harus memberi masukan yang berimbang kepada pemerintah tentang pemahaman industri timah, khususnya persoalan hilirisasi dan industrialisasi. Menurutnya, khusus sektor pertimahan tidak lagi bicara hilirisasi seperti sumber daya mineral lainnya, namun bicara pada produk turunan. Yakni bagaimana pengembangan nilai tambah daripada timah itu sendiri.

Demikian diungkapkan Bambang saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VII DPR RI dengan Asosiasi Industri Timah Indonesia (AITI) dan Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) membahas terkait kesiapan dalam menghadapi pelarangan ekspor timah, di Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (28/11/2022).“Di pemerintahan, saya tidak tahu yang memberikan masukan kepada presiden seperti apa. Ini seolah-olah apa yang ada di pertimahan ini sangat belum maju dibanding mineral lain. Tapi yang jelas, semangat dari pemerintah dengan ancaman-ancaman seperti menyetop ekspor dan sebagainya, ini kan bagaimana ingin menciptakan industri karena harapannya adalah kita ingin memberdayakan sumber daya alam kita. Sehingga memberikan nilai tambah,” tegasnya.

Politisi Partai Golkar ini mendapati informasi dari asosiasi, ada 15 item produk turunan terkait dengan timah diimpor ke Indonesia, dengan bea masuk hanya 1 persen. Sehingga Bambang menegaskan, persoalan industri bukan di hulu, melainkan di regulasi agar dapat menstimulasi terbentuknya investasi. Menurutnya, permasalahannya bukan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), melainkan di Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi.

“BKPM dan Kemenko Marives yang harus bertanggung jawab. Kalau enggak, kita bahas berulang kali, enggak ada guna. Barangnya di hilir, bahasnya di hulu. Intinya, ini barang karena regulator enggak ngerti apa yang diatur. Nah, sementara yang harusnya bertanggung jawab mengatur enggak tahu mau ngapain, karena tidak paham persoalan di lapangan. Kemenko Marives dan BKPM harusnya mengundang pelaku industri timah, bagaimana caranya menstimulasi. Bukan dengan nakut-nakuti. Karena enggak tahu mau ngapain,” tegasnya.

Bambang menambahkan, dengan menyetop ekspor timah tanpa mitigasi yang jelas, akan menimbulkan persoalan-persoalan baru. “Jangan serta merta saat ini tiba-tiba shutdown. Saya sampaikan, bagaimanapun juga Bangka Belitung bergantung pada sektor pertimahan. 30 persen produk domestik regional bersumber dari sektor pertimahan. Oleh karena itu, untuk dan atas nama masyarakat Babel, kami berharap pemerintah tidak sembrono, tidak serta merta menghentikan ekspor timah,” harap Legislator Dapil Bangka Belitung tersebut.

Sebelumnya, Ketua AITI Ismiryadi menyebutkan Indonesia akan kehilangan sumber pendapatan negara yang besar bila pelarangan ekspor timah benar-benar diberlakukan. Menurutnya, jika pelarangan ekspor timah diberlakukan, maka RI akan kehilangan pendapatan negara sebesar Rp1,17 triliun. Terlebih, penjualan timah itu dibanderol dalam mata uang dolar Amerika Serikat (AS) dan mayoritas diekspor, sehingga bisa menambah devisa negara.

Bila ekspor timah ini dilarang, maka Indonesia akan kehilangan pendapatan negara yang jumlahnya tidak sedikit, dan Kepulauan Bangka Belitung sebagai penghasil timah di Indonesia akan kolaps. Masyarakat Babel akan merasakan dampaknya. “Tapi jangan-jangan kita ditakut-takuti setop (ekspor timah). Kalau setop, Babel kolaps dan terjadi keresahan,” katanya. (Ind)

The post Pemahaman Industri Timah, Khususnya Persoalan Hilirisasi Dan Industrialisasi first appeared on indikasi.id.