Oleh Bernard Simamora

Pemerintah terkesan terburu-buru dalam memutuskan pemberian kompensasi Bahan Bakar Minyak (BBM) Rp100.000,- untuk setiap keluarga miskin yang jumlahnya diperkirakan 15.5 juta keluarga. Tekanan defisit APBN 2005 barangkali menjadi pemicu hal ini karena hanya tinggal 3 bulan. Padahal, jika melalui perumusan yang lebih matang atau jauh-jauh hari – pada saat menetapkan APBNP dimulai kalkukasi yang lebih detail, maka kiranya Pendidikan Dasar Gratis merupakan opsi paling tepat.

Tulisan ini tidak bermaksud menyesali keputusan pemerintah mengenai kompensasi BBM akibat dari langkah penaikan harga BBM, tetapi lebih merupakan koreksi untuk masa yang akan datang.

Penyelenggaran Pendidikan Dasar atau bahkan Pendidikan Menengah secara Gratis tidaklah serumit pemberian kompensasi BBM yang ternyata cukup alot saat-saat ini. Permasalahan menggratiskan Pendidikan Dasar dan Menengah dapat memberikan gambaran yang cukup realistis melalui penggantian Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) bagi sekitar 25 juta siswa SD, 7 juta SMP, dan 3 juta siswa SMA/SMK. Asumsikan setiap siswa dibebaskan dari SPP sebesar Rp300.000,-/tahun. Di samping itu, kesejahteraan untuk 2 juta guru diberikan tambahan rata-rata Rp3000.000,-/tahun di luar gaji PNS atau gaji dari yayasan (untuk sekolah swasta). Untuk menggantikan SPP, satu tahun negara perlu mengeluarkan Rp10,5 triliun dan untuk kesejahteraan guru diperlukan Rp6 triliun. Secara kasar, 16,5 triliun tersebut sudah cukup untuk menyelenggarakan pendidikan gratis untuk SD, SMP, dan SMA selama 1 tahun.

Cukup mengenakkan telinga ketika Menko Perekonomian Aburizal Bakrie menilai Indonesia harus memilih antara menaikkan BBM, lalu sekolah dan pelayanan kesehatan gratis atau membakar Rp60 triliun hingga 2006 karena pemerintah menyubsidi BBM. Sayangnya, opsi yang ditetapkan adalah memberikan uang tunai kepada keluarga miskin yang merupakan upaya pemiskinan jangka panjang juga.

Walau awalnya pasti menemui masalah, tetapi momen cukup tepat. Sejak tahun 1984, pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar. Melihat pengalaman negara industri baru (new emerging industrialized countries) di Asia Timur, disadari pembangunan suatu bangsa memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai untuk mendukung pembangunan. Terlebih lagi, pembangunan masyarakat demokratis mensyaratkan manusia Indonesia yang cerdas.

Akan tetapi, meski sudah jauh-jauh hari mengampanyekan wajib belajar enam tahun hingga sembilan tahun masih belum jelas apakah Indonesia melaksanakan wajib belajar yang berarti pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di semua tempat. Tanpa perlu mempersoalkan terminologi wajib belajar, ambil saja bahasa yang lebih bernuansa populis tetapi realistis, Pendidikan Dasar dan Menengah secara Gratis.

Bagi pemerintah, Pendidikan Gratis terutama berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab negara. Selain itu, dibutuhkan kekuatan hukum mengikat untuk mengimplementasikan Pendidikan Gratis. Pendidikan Gratis bisa terimplementasi dalam tiga kategori: perkotaan dan daerah maju, pedesaan, dan daerah miskin perkotaan. Target pencapaiannya tentu akan berbeda-beda.

Mengapa pendidikan gratis? Bagi Indonesia, jaminan akses terhadap pendidikan sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pemikiran lain, dalam hubungan antara masyarakat dan negara sudah jelas ada hubungan timbal balik. Masyarakat punya tanggung jawab terhadap negara dan negara punya tanggung jawab terhadap masyarakat. Hanya saja, dalam beberapa hal hubungan ini dinilai timpang. Masyarakat dipaksa menjalankan kewajibannya, antara lain, membayar pajak, di sisi lain negara belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya, termasuk dalam pendidikan.

Selain sebagai substitusi kompensasi BBM, pembiayaan pendidikan gratis dapat juga disinergikan dengan pendanaan dari pemerintah dan pemerintah daerah. Jika ada kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan gratis, pada dasarnya pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal ini karena pemerintah pusat sebagai pemegang dana publik terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat.

Pembiayaan proses belajar sudah termasuk persiapan keterampilan, kompetensi, kesejahteraan guru , serta evaluasi hasil belajar. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru merupakan kunci dari pelaksanaan wajib belajar yang bermutu. Selama ini kedua hal tersebut kurang diperhatikan dengan berbagai alasan.

Biaya fasilitas belajar (opportunity to learn) meliputi buku pelajaran, perpustakaan, gedung, laboratorium, tenaga kependidikan, dan komputer. Fasilitas belajar ini berbeda-beda kebutuhannya dan tidak harus diseragamkan.

Namun, pelaksanaan pendidikan gratis harus dengan kewaspadaan tingkat tinggi dari berbagai celah penyalahgunaan dan pengawasan. Oleh karena itu, harus hati- hati dalam menentukan model penggratisan pendidikan. Siapa yang akan ditopang? Apakah lembaga pendidikannya yang rawan kebocoran atau anaknya secara langsung dengan konsekuensi penyalahgunaan dana?

Ada pemikiran, sebaiknya dana diberikan kepada sekolah dengan konsekuensi sekolah tidak dapat lagi memungut iuran dari siswa. Untuk itu, lagi-lagi pengawasan harus diperkuat dan sekolah yang masih membebani siswa harus dikenai sanksi tegas.

Pendidikan gratis bermutu juga perlu disesuaikan dengan kondisi setempat walaupun tetap berdasarkan kualitas yang standar sehingga dalam menggratiskan pendidikan dasar, bentuk dan nilai subsidi tidak harus seragam. Selain itu, perbedaan antara sekolah swasta, negeri, madrasah, dan pesantren secara psikologis dan politis mesti dapat diatasi.

Selain itu, para pemimpin harus menyadari bahwa pendidikan itu bukan soal ekonomi atau bagi-bagi keuntungan, tetapi soal politis atau ke mana bangsa ini mau dibawa. Akhirnya, memang kembali kepada niat politik pengambil keputusan, apakah pemegang kekuasaan mau semua anak Indonesia maju? Di samping itu, jika sebagian masyarakat belum sepakat menggratiskan pendidikan, pemerintah harus mampu menjelaskannya dan mengambil resiko. Resiko kebijakan tidak populis seperti ini berimplikasi lebih positif berjangka panjang dibanding menaikkan harga BBM lalu memberikan dana subsidi tunai kepada rakyat miskin sebagai kompensasi.

Mempropagandakan istilah Keluarga Miskin saja sudah merupakan upaya pemiskinan mental di samping implikasi sekonomis secara makro. Akan tetapi, mengusung istilah Pendidikan Gratis merupakan proses pengayaan masyarakat dengan visi, semangat hidup, dan peningkatan harkat yang lebih berkelas.

Bernard Simamora, praktisi pendidikan di Bandung.(dimuat di Koran Pelita Indonesia, September 2005)