Home Artikel Perubahan Pranata Jaminan Dengan UU Fidusia

Perubahan Pranata Jaminan Dengan UU Fidusia

313

Sejarah perkembangan fidusia, pada awalnya yaitu pada zaman Romawi, objek fidusia adalah meliputi baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Pemisahan mulai diadakan kemudian, orang-orang Romawi mengenal gadai dan hipotek. Ketentuan ini juga diikuti oleh Negeri Belanda dalam Burgerlijke Wetboek-nya. Pada saat fidusia muncul kembali di Belanda, maka pemisahan antara barang bergerak untuk hipotek juga diberlakukan. Objek fidusia dipersamakan dengan gadai yaitu barang bergerak karena pada waktu itu fidusia dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari larangan yang terdapat dalam gadai. Hal ini terus menjadi yurisprudensi tetap baik di Belanda dan Indonesia.

Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang tidak membedakan atas barang bergerak dan barang yang tidak bergerak melainkan pembedaan atas tanah dan bukan tanah. Bangunan-bangunan yang terletak di atas tanah tidak dapat dijaminkan terlepas dari tanahnya. Jadi orang yang memiliki bangunan di atas tanah dengan hak sewa misalnya tidak dapat membebaninya dengan hak tanggungan tersebut. Oleh karenanya jalan satu-satunya adalah dengan fidusia. Khusus mengenai penyerahan hak sewa ini diperlukan persetujuan dari pemilik tanah yang menyewakan tanah itu untuk sewaktu-waktu mengalihkan hak sewa atas tanah itu kepada yang lain.

Perkembangan ini adalah sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat di Indonesia, dimana banyak orang yang menguasai tanah dengan hak-hak atas tanah yang tidak bisa dijaminkan dengan Hak Tanggungan, seperti hak sewa, hak menumpang dan sebagainya. Bangunan-bangunan yang terletak di atas tanah tersebut tidak dapat dijaminkan Hak Tanggungan dan ini dapat diatasi dengan Jaminan Fidusia.

UU No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia (UU Fidusia) lahir menjawab kebutuhan praktis. Menurut sistem hukum kita, jika yang menjadi objek jaminan utang adalah benda bergerak, maka jaminannya diikat dalam bentuk gadai. Dalam hal ini, objek gadai tersebut harus diserahkan kepada pihak yang menerima gadai (kreditur). Sebaliknya, jika yang menjadi objek jaminan hutang adalah benda tidak bergerak, maka jaminan tersebut haruslah berbentuk hipotik (sekarang ada hak tanggungan).

Dalam hal benda tidak bergerak, objek jaminan tidak diserahkan kepada kreditur, tetapi tetap dalam kekuasaan debitur. Akan tetapi terdapat kasus-kasus dimana barang objek jaminan hutang masih tergolong barang bergerak, tetapi pihak debitur enggan menyerahkan kekuasaan atas barang tersebut kepada kreditur, sementara pihak kreditur tidak mempunyai kepentingan, bahkan kerepotan jika barang tersebut diserahkan kepadanya. Karena itulah perlu adanya satu bentuk jaminan hutang yang objeknya masih tergolong benda bergerak tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada pihak kreditur. Akhirnya, muncullah bentuk jaminan baru dimana objeknya benda bergerak, tetapi kekuasaan atas benda tersebut tidak beralih dari debitur kepada kreditur.

Selain itu, berkembangnya juga praktek fidusia dimana hak atas tanah tertentu yang tidak dapat dijaminkan dengan hipotik atau hak tanggungan. Ada pula barang-barang yang sebenarnya masih termasuk barang bergerak, tetapi mempunyai sifat-sifat seperti barang tidak bergerak sehingga pengikatnya dengan gadai dirasa tidak cukup memuaskan, terutama karena adanya kewajiban menyerahkan kekuasaan dari benda objek jaminan hutang tersebut. Karena itu jaminan fidusia menjadi pilihan.

Perkembangan kepemilikan atas barang tertentu yang tidak selamanya dapat diikuti oleh perkembangan jaminan, sehingga hak-hak atas barang sebenarnya tidak bergerak, tetapi tidak dapat diikatkan dengan hipotik. Ada kalanya pihak kreditur dan pihak debitur sama-sama tidak berkeberatan agar diikatkan jaminan hutang berupa gadai atas hutang yang dibuatnya, tetapi barang yang dijaminkan karena sesuatu dan lain hal tidak dapat diserahkan kepemilikannya kepada hak kreditur.

Selain fakta di atas yang melatarbelakangi lahirnya UU Fidusia berdasarkan keadaan sekarang yang dicantumkan dalam konsiderannya adalah : (1) Kebutuhan yang sangat besar dan terus mengikat bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan, (2) Pengaturan lembaga jaminan fidusia masih didasarkan pada Yurisprudensi, dan (3) Dalam rangka memberi kepastian hukum dari perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan.

Dalam sistem hukum kita sebelumnya, untuk jaminan barang bergerak hanya dikenal gadai, sedang barang tidak bergerak dikenal dengan hipotek. Tetapi dalam praktek untuk menjaminkan barang bergerak, tetapi tanpa penyerahan barang secara fisik. Untuk maksud tersebut tidak dapat digunakan lembaga gadai (yang mensyaratkan penyerahan benda) dan juga dapat digunakan hipotek yang hanya diperuntukkan terhadap barang tidak bergerak saja.

Karena itu dicarikanlah jalan untuk dapat menjaminkan barang bergerak tanpa penyerahan fisik barang tersebut akhirnya muncul rekayasa untuk memenuhi kepentingan praktek seperti itu dengan jalan pemberian jaminan Fidusia yang akhirnya diterima dalam praktek dan diakui yang diundangkan pada tahun 1999. Sistem penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda sama sekali disebut dengan constitutum possessorium. Bentuk rincian dari constitutum possessorium dalam Fidusia ini dilakukan melalui proses tiga fase.

Fase pertama proses jaminan fidusia diawali oleh adanya suatu perjanjian obligatoir (Obligatoir Overeenkomst). Perjanjian Overeenkomst tersebut berupa perjanjian pinjam uang dengan jaminan fidusia diantara pihak pemberi Fidusia (debitur) dengan pihak penerima Fidusia (kreditur).

Fase kedua diikuti oleh suatu perjanjian kebendaan (Zakelijke Overeenkomst). Perjanjian kebendaan tersebut berupa penyerahan hak milik dari debitur kepada kreditur, dalam hal ini dilakukan secara constitutum prosessorium, yakni penyerahan hak milik tanpa menyerahkan fisik benda.

Fase berikutnya, dilakukan pinjam pakai, dalam hal ini benda objek Fidusia yang hak miliknya sudah berpindah kepada pihak kreditur dipinjampakaikan kepada pihak debitur, sehingga praktis benda tersebut setelah diikat dengan jaminan fidusia tetap saja dikuasai secara fisik oleh pihak debitur.

Jadi dasar dari Fidusia adalah suatu perjanjian yakni perjanjian Fidusia perikatan yang menimbulkan Fidusia ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :

  1. Antara pemberi Fidusia dengan penerima Fidusia terdapat suatu hubungan perikatan, yang menerbitkan hak bagi kreditur untuk meminta penyerahan barang jaminan dari debitur (secara constitutum posessorium).
  2. Perikatan tersebut adalah perikatan untuk memberikan sesuatu karena debitur menyerahkan suatu barang (secara constitutum posessorium) kepada kreditur .
  3. Perikatan dalam rangka pemberian Fidusia merupakan perikatan yang assessoir, yakni merupakan perikatan yang membuntuti perikatan lainnya (perikatan pokok) berupa perikatan hutang-piutang.
  4. Perikatan Fidusia tergolong kedalam perikatan dengan syarat batal, karena jika hutangnya dilunasi, maka hak jaminannya secara Fidusia menjadi hapus.
  5. Perikatan Fidusia tergolong perikatan yang bersumber dari suatu perjanjian yakni perjanjian Fidusia.
  6. Perjanjian Fidusia merupakan perjanjian yang tidak disebut secara khusus dalam KUH Perdata. Karena itu, perjanjian ini tergolong dalam perjanjian tak bernama (Onbenoem De Overeenkomst).
  7. Perjanjian Fidusia tetap tunduk pada ketentuan bagian umum dari perikatan yang terdapat dalam KUH Perdata.

Pasal 2 UU Fidusia memberikan batas ruang lingkup berlakunya UU Fidusia yaitu berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani Benda dengan Jaminan Fidusia, yang dipertegas kembali oleh rumusan yang dimuat dalam Pasal 3 UU Fidusia dengan tegas menyatakan bahwa UU ini tidak berlaku terhadap :

  1. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda- benda tersebut wajib didaftar. Namun demikian bangunan di atas milik orang lain yang tidak dapat dibebani hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT), dapat dijadikan objek Jaminan Fidusia.
  2. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh) m3 atau lebih;
  3. Hipotek atas pesawat terbang ; dan
  4. Gadai

Dengan lahirnya UU Fidusia, yaitu dengan mengacu pada Pasal 1 angka 2 dan 4 serta pasal 3 UU Fidusia, dapat dikatakan bahwa yang mejadi objek Jaminan Fidusia adalah Benda apapun yang dapat dimiliki dan dialihkan hak kepemilikannya. Benda itu dapat berupa benda berwujud maupun yang tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar, bergerak maupun tidak bergerak, dengan syarat bahwa benda tersebut tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UUHT atau Hipotek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 Kitab Undang-Undang Dagang jis Pasal 1162 KUH Perdata.

Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia, maka dapat diharapkan bahwa nantinya Jaminan Fidusia akan menggantikan FEO dan cessie jaminan atas utang-piutang (zekerheidcessi van schuldvorderingen fiduciary assignment of receivables) yang dalam praktek pemberian kredit banyak digunakan.

Akibat Hukum Dikeluarkannya UU Fidusia Terhadap

  1. Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan

Untuk memberikan kepastian hukum pasal 11 UU jaminan fidusia mewajibkan benda yang dibebani dengan jaminan Fidusia didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Kewajiban ini bahkan tetap berlaku meskipun kebendaannya yang dibebani dengan jaminan fidusia berada di luar wilayah negara Republik Indonesia.

Pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi Fidusia, pendaftarannya mencakup benda, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus merupakan jaminan kepsatian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia. Menurut pasal 14 (3) UU Fidusia, Fidusia oleh UU dianggap lahir pada saat yang sama dengan dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar Fidusia. Adapun bukti pendaftaran Fidusia yang diterima penerima Fidusia sebagai hak memiliki Fidusia diserahkan kepadanya dokumen yang disebut sertifikat jaminan fidusia.

Sertifikat jaminan fidusia dikeluarkan oleh instansi yang sah dan berwewenang dalam hal ini Kantor Pendaftaran Fidusia, maka sertifikat tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat sebagai suatu akta berbentuk dan hanya Kantor Pendaftaran Fidusia sebagai suatu badan yang berwenang mengeluarkan sertifikat perjanjian Fidusia tersebut. Karena itu pula, jika ada alat bukti sertifikat jaminan fidusia dan sertifikat tersebut adalah sah, maka alat bukti lain dalam bentuk apapun harus ditolak. Para pihak tidak cukup misalnya hanya membuktikan adanya Fidusia dengan hanya mempertunjukkan akta jaminan Fidusia yang dibuat oleh notaris berdasarkan UU Fidusia pasal 14 (3).

  1. Penjamin Fidusia

UU Fidusia membawa akibat pada perjanjian Fidusia pada pasal 27 (2). Dengan preferensi adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Dengan demikian sama dengan hak jaminan lainnya. Adanya ketentuan ini menghapus keraguan selama ini tentang ada tidaknya hak preferensi bagi penerima Fidusia ini. Hal lain yang menjadi konsekwensi hukum apabila timbul masalah atau gugatan karena kesalahan (kesenjangan atau kekurang hati-hatian) dari pemberi fidusia sehubungan dengan pengguna atau pengalihan benda fidusia adalah dibebaskannya penerima fidusia dari tanggung jawab atau dengan kata lain pemberi fidusia yang bertanggung jawab penuh. (Pasal 29 UU Fidusia).

UU Fidusia membawa perubahan dalam pranata jaminan yang tidak lagi membedakan benda berujud maupun tidak berujud, terdaftar maupun tidak terdaftar, bergerak maupun tidak bergerak dengan syarat bahwa benda tersebut tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan seperti yang dimaksud dalam UUHT serta adanya kepastian hukum melalui pendaftarannya di Kantor Pendaftaran Fidusia sebagai alat bukti yang kuat.

Di satu sisi jaminan fidusia memiliki kelemahan karena objek yang dijaminkan berada di tangan debitur sehingga debitur yang tidak mempunyai iktikad baik dapat melakukan kecurangan dan sulit dipantau. Oleh karena itu telah pula dibuat peraturan-peraturan pelaksana agar pelaksanaan di lapangan dapat berjalan dengan baik sehubungan dengan moralitas atau iktikad dari debitur.

Oleh Bernard Simamora, SH, S.IP, S.Si, MM (Firma Hukum BSDR).

You cannot copy content of this page