Beranda Politik Petaka Musim Gugur Perkara

Petaka Musim Gugur Perkara

225

Keputusan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menghentikan penyelidikan 36 kasus dugaan rasuah sungguh mencurigakan. Ketua KPK Firli Bahuri hanya mengumumkan penutupan perkara itu dalam rapat internal, tanpa menjelaskan mekanisme serta alasannya secara terbuka.

Jangankan masyarakat awam, para penyidik KPK pun tak mendapat penjelasan yang benderang tentang rincian kasus serta alasan penghentian penyelidikanya. Padahal, aturan internal KPK mengharuskan penghentian penyelidikan suatu kasus dilakukan melalui gelar perkara yang melibatkan pemimpin, Direktorat Pengawasan Internal, penyidik, dan penyelidik yang terlibat.

KPK tentu saja tak boleh memaksakan atau menggantung pengusutan perkara bila unsur pidana serta bukti-buktinya lemah. Sebab, hal itu bisa melanggar asas keadilan dan kepastian hukum. Sebaliknya, KPK pun tak boleh gampangan menghentikan perkara sepanjang ada peluang untuk mencari buktinya. Sebab, hal itu akan menghilangkan kesempatan untuk menghukum pelaku korupsi dan menyelamatkan uang negara.

Dalam konteks terakhir, penghentian perkara tidak hanya merupakan kegagalan KPK, tapi juga pengkhianatan atas amanat rakyat. Jadi, sungguh aneh bila pemimpin KPK malah menganggap penghentian 36 perkara sebagai indikator keberhasilan.

Sejak dipimpin Firli Bahuri pada 21 Desember lalu, KPK baru mengungkap dua kasus dugaan korupsi. Itu pun penyelidikannya telah berlangsung sejak era pemimpin KPK sebelumnya. Kalau “prestasi” KPK saat ini hanya menghentikan pengusutan perkara, buat apa negara menghamburkan uang untuk mendanai lembaga itu? Padahal, tahun ini saja, anggaran negara untuk KPK hampir mencapai Rp 1 triliun.

Musim gugur perkara di KPK jelas merupakan pertanda datangnya petaka. Penghentian penyelidikan 36 kasus mengkonfirmasi adanya pelemahan sistematis terhadap lembaga antirasuah itu. Pemerintahan Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat sebelumnya memereteli wewenang KPK dengan merevisi undang-undang. Lalu, Jokowi dan DPR mempercepat kelumpuhan KPK dengan memilih calon pemimpin KPK yang bermasalah integritasnya.

Situasinya kian menyesakkan karena Undang-Undang KPK terbaru hasil revisi mempersempit peluang untuk membuka kasus yang telanjur dihentikan penyelidikannya. Undang-Undang KPK lama mengatur bahwa hasil penyadapan bisa sewaktu-waktu digunakan bila ada alat bukti lain yang mendukung. Adapun Undang-Undang KPK hasil revisi mengharuskan pemusnahan semua hasil penyadapan itu.

Dewan Pengawas KPK yang katanya diisi oleh para tokoh berintegritas tak boleh membiarkan pemimpin KPK seenaknya menghentikan penyelidikan perkara. Harus ada mekanisme yang jelas, obyektif, dan akuntabel sebelum pemimpin KPK menyetop pengusutan perkara. Apalagi, kasus yang dihentikan kali ini diduga melibatkan pejabat pemerintah, politikus, hingga petinggi badan usaha milik negara.

Dengan mekanisme penghentian pengusutan perkara yang tak transparan, KPK rawan menjadi tempat transaksi suap. Tanpa transparansi, pelaku korupsi akan lebih leluasa bernegosiasi dengan orang dalam KPK. Sebaliknya, pengawasan publik atas lembaga antirasuah akan semakin lemah. Bila hal itu benar-benar terjadi, KPK tidak diperlukan lagi untuk pembasmian korupsi di negeri ini.

Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1311302/petaka-musim-gugur-perkara/full&view=ok