Oleh BUDIARTO DANUJAYA

Jika diraba, nalarkah kemunculan banyak selebriti pada panggung politik sebagai upaya populis? Harfiahnya, sebuah upaya mendekatkan kebijakan partai politik bersangkutan dengan kemauan orang banyak; dengan ”kehendak” rakyat (populus)?

Kalau sekali-sekali menonton sinetron, kita segera maklum arah pertanyaan ini. Sebagai pemirsa, masyarakat kita seolah suka—atau setidaknya tak peduli—terus dijejali kedangkalan bersoal, kekeliruan berpikir, dan segala bentuk kemasabodohan (baca: kesewenang-wenangan) berekspresi di ranah publik lainnya. Seper- tinya, satu-satunya hal yang penting bagi mereka hanyalah: tampan/molek, syukur- syukur indo dan cakap mengharu biru.

Maka, gamblanglah alasan di balik bertenggernya nama-nama masyhur berparas tampan/molek pada daftar calon anggota eksekutif dan legislatif kita. Dari jurusan lain, perkembangan ini selogika dengan kecenderungan para pejabat publik dan politisi kita dalam berlomba menjadi selebriti dengan gencar memasang iklan atau melibatkan diri pada acara-acara populer untuk mendongkrak brand awareness mereka.

Rupanya, kita kini telah semakin meninggalkan demokrasi-partai dan merasuk jauh ke era demokrasi-pirsawan. Citra lebih menentukan nasib pejabat publik ketimbang kualitas produk kebijakan.

Masalahnya, memanjakan seraya memanfaatkan selera orang banyak lebih mempertontonkan naluri pragmatis ketimbang populis. Populer dan populis seperti mirip, padahal beda. Pemanfaatan popularitas lebih merupakan rekayasa pencitraan, memanfaatkan posisi pasif masyarakat dalam relasi komunikasi yang cenderung searah. Dalam konteks politik partisipatif, dimensinya hanya politis; itu pun dalam wujud paling pragmatis.

Populisme adalah sebuah upaya sadar untuk terus menginsafi keniscayaan hak masing-masing warga negara dalam setiap rekonstruksi kehendak umum (general will) sebagai pengejawantahan ”kepentingan” (kedaulatan) orang banyak. Jadi, selain politis, populisme juga mengandung dimensi moral karena mengandaikan retorika pencapaian keadilan.

Rekonstruksi ”rakyat” berkelanjutan

Orientasi populis bukan hanya penting, tetapi juga genting dalam politik demokrasi. Selain karena kebijakan prorakyat merupakan siasat logis membujuk dukungan orang banyak demi legitimasi, terutama juga karena partisipasi merupakan konstitutivitas demokrasi.

Kristalisasi kehendak umum penting dalam politik demokrasi karena, seperti diteorikan Jean-Jacques Rousseau, realisasi kebebasan tiap individu untuk memerintah diri sendiri (kebebasan positif) senantiasa dihadapkan pada kepentingan dan kebutuhan orang lain. Padahal, skala populasi tak lagi memungkinkan kristalisasi lewat partisipasi langsung, tetapi sekadar lewat kesepakatan mewakilkan.

Konsekuensinya, senantiasa terbuka kemungkinan bahwa representasi politik tak memadai dalam mewakili partisipasi politik orang banyak. Dalam idiom Alain Badiou (Infinite Thought-Truth and the Return of Philosophy, 2003), kegentingan ini terjadi karena senantiasa terbukanya kemungkinan ketidakklopan intrastruktural, yakni antara level satu (presentasi) dan level dua (representasi) dari sebuah struktur politik. Jelasnya, representasi ternyata tak sungguh menjadi representasi.

Dalam pengertian inilah orientasi populis, dalam arti selalu berusaha menjembatani kepentingan orang banyak dengan terus merekonstruksi kembali ”rakyat” sebagai entitas sosiopolitik, senantiasa genting bagi politik demokrasi. Eksplisit diakui kehadiran perbedaan. Karena itu juga keragaman, sebagai sesuatu yang bersifat konstitutif, dalam arti membuat ada dan tak tersingkirkan keniscayaannya dalam politik demokrasi. Namun, di sisi lain, implisit juga diakui utopia realisasinya.

Jadi, orientasi populis penting justru karena genting bagi politik demokrasi. Dia menjadi semacam limit karena, betapapun utopis realisasinya, setidaknya mengandung janji untuk senantiasa mengakui perbedaan dan mengarusutamakan keragaman sehingga menepis penyeragaman apalagi kecenderungan totaliter. Dalam strukturasi ”rakyat” sebagai entitas sosiopolitik, keragaman secara konstitutif mengejawantahkan dirinya sendiri (E Laclau, Critical Inquiry, 2006: Why Constructing a People if the Main Task of Radical Politics).

Kemaslahatan publik

Kontestasi politik bukan semacam kompetisi adu banyak pada idol-idol-an, yang betapapun terkadang terasa tak adil, tetapi relatif tanpa risiko kecuali mencemooh ketakberdayaan orang banyak di hadapan kapital. Kontestasi politik pada pemilu adalah upaya menjaring keterwakilan guna menjembatani ketakmungkinan partisipasi langsung orang banyak pada setiap pengambilan kebijakan publik.

Jelas, orientasi populis menjadi genting bagi politik demokrasi bukan karena kecakapannya memanjakan kemauan publik, tetapi karena kesediaannya untuk terus memprihatinkan kemaslahatan publik. Orientasi populis perlu dientenkan sebagai utopia pada politik partisipasi agar perluasan peluang segenap warga dalam ikut menentukan hitam-putih nasib bangsanya lebih terjamin.

Kita wajib cemas atas kemerosotan partisipasi publik dalam politik, seperti terpantul lewat rendahnya keikutsertaan pada pilkada-pilkada belakangan ini. Namun, kiranya lebih mencemaskan lagi jika bukan memperbaiki kebijakan agar lebih populis, tetapi rekayasa popularitaslah satu-satunya cara yang terpikirkan para pejabat publik dan politikus untuk mendongkrak kemelorotan partisipasi publik tersebut.

Barangkali kita boleh menyebut kedangkalan pragmatis ini sebagai salah kapling karena satu-satunya kemiripan antara populer dan populis hanyalah orientasinya kepada orang banyak. Hanya saja, kebijakan yang populis menempatkan rakyat sebagai subyek keprihatinan, sementara rekayasa pencitraan yang populer lebih menempatkan rakyat sebagai obyek pembodohannya.

Negeri ini lebih memerlukan kemunculan kebijakan-kebijakan yang populis daripada kedatangan para pemimpin yang populer karena segenap individu warga negara mempunyai hak konstitutif untuk diikutsertakan dalam penentuan hitam- putih perjalanan bangsanya. Justru, roh orientasi populis dan sebenarnya juga segenap politik partisipatif yang waras adalah kesadaran bahwa segenap rakyat berhak ikut memberi aksentuasi pada imajineri kolektif bangsanya.

BUDIARTO DANUJAYA Pengajar Filsafat Politik Departemen Filsafat FIB UI

1 KOMENTAR

  1. Para artis yang di-caleg-kan partai semestinya menyedari bahwa mereka sedang ditunggangi untuk MENDULANG suara agar petinggi prtai bisa MENDULANG kekuasaan dan kader partai yang doyan duit bisa MENDULANG harta, tetapi kesemuanya MENDULANG penderitaan pada rakyat. Ya Tuhan, ampunilah para artis yang jadi caleg pada Pemilu 2009 ini, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan; mereka mengira antara akting dan politik sebagai sebuah entertain dan rakyat sebagai stakeholder utama bangsa mereka posisikan sebagai penonton PEMIRSA!

Komentar ditutup.