Beraneka kegiatan dilakukan masyarakat dalam memeringati 100 tahun Kebangkitan Nasional, termasuk masyarakat di Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Provinsi DI Yogyakarta. Sekitar 30 orang, tua-muda, berbaur membentuk barisan untuk kemudian menarikan poco-poco, Senin (19/5) malam, yang berlangsung di jalan kampong setempat.
Kaum pria dan wanita yang telah berumur mengenakan pakaian Jawa, kecuali beberapa anak muda yang lebih menyenangi kaus berselempang sarung. Sementara itu, warga yang lain, yang enggan menari, ikut meramaikan suasana dengan cara menonton atau sekedar mengalihkan kendaraan yang melalui jalan desa tersebut. Suasana makin terasa ketika sebuah meja angkring yang menjajakan nasi bungkus dan gorengan menghiasi salah satu sudut dalam pendapa yang berada tepat di depan para penari.
“Kita ingin mengumpulkan orang kampung. Mengumpulkan mereka tidak mudah, apalagi pascagempa bumi Mei 2006. Pascagempa, banyak masyarakat yang cek-cok akibat pembagian bantuan rekonstruksi yang tidak merata. Nah, dalam peringatan 100 Kebangkitan Nasional ini kami ingin bisa menyatukan warga kembali, “ujar Hartono (52), Ketua RT 04 yang ikut serta menari.
Menurut Hartono jiwa nasionalisme bisa dibangun mulai dari skala yang paling kecil, yakni warga kampung. Dari situ, semangat itu diharapkan makin meluas hingga dalam sebuah bangsa. Kegiatan ini memang penting untuk membangun kembali semangat warga.” Dengan menari semangat mereka diharapkan muncul,” kata Hanik Kusumastuti (24) salah satu peserta.
Poco-poco bagi masyarakat Nitiprayan bukan kegiatan baru. Setiap minggu, sebagian di antara mereka rutin mengadakan terian seperti ini. Ide malam ini dari warga, oleh warga, dan untuk warga. “Untuk makin menegaskan nilai Kebangkitan Nasional dikenakanlah pakaian tradisional,” ujar Ong Hari Wahyu, penggiat seni kampung Nitiprayan. (WER)
sumber : kompas