Oleh Siswono Yudo Husodo

Tanggal 17 Agustus 2008, genap 63 tahun usia negara RI yang amat kita cintai ini. Bertambahnya usia sebuah negara lazimnya diikuti dengan kemajuan masyarakatnya.

Perekonomian kita terkesan maju. Tahun 2008, perekonomian kita tumbuh sekitar 6 persen. Petani kebun gembira karena karet, sawit, kopi, dan cokelat harganya naik. Saya terharu dan bahagia karena banyak di antara mereka yang mengundang sanak saudaranya dari Pulau Jawa untuk ikut bekerja atau disekolahkan, padahal dahulu mereka adalah buruh tani, petani tanpa lahan yang nyaris tak punya apa-apa.

Namun, mengapa statistik menggambarkan jumlah rakyat miskin tidak bergerak dari sekitar 16 persen (setara 34 juta orang) dan pengangguran terbuka masih sekitar 9 persen (setara 10 juta orang)? Mengapa masih terdapat jutaan anak balita bergizi buruk, bahkan busung lapar, di berbagai daerah di Tanah Air kita?

Jawabnya sederhana: sifat pertumbuhan ekonomi kita tidak terlalu banyak menyerap tenaga kerja serta ada sektor-sektor yang terpuruk oleh meningkatnya harga BBM dan pangan. Kemiskinan mendera nelayan yang sudah tak bisa lagi melaut dengan harga solar yang tinggi dan harga hasil tangkapan yang tidak bergerak naik; serta buruh yang UMR-nya tidak mampu mengatasi peningkatan biaya hidup yang luar biasa akhir-akhir ini. Struktur ketenagakerjaan menunjukkan pekerja sektor informal 69 persen dan hanya 31 persen yang bekerja di sektor formal.

Semangat hidup rakyat kita sungguh mengagumkan. Saya sangat menghargai jutaan TKI/ TKW yang dengan menghadapi risiko, seperti yang dialami Ceriyati dan Nirmala Bonat, bekerja di luar negeri karena kurangnya lapangan kerja di dalam negeri. Manusia memang memuliakan dirinya dengan bekerja dan adalah tugas negara memperluas lapangan kerja agar warganya dapat memuliakan dirinya.

Perjalanan negara kita sudah cukup panjang dan seharusnya sudah ada tanda-tanda akan tibanya kesejahteraan rakyat di seluruh Tanah Air; sebuah harapan yang tak muluk bagi rakyat sebuah negeri yang kaya dengan sumber daya alam seperti Indonesia.

Utang LN membebani

Presiden Yudhoyono-Wakil Presiden Jusuf Kalla juga telah bekerja keras untuk membuat keadaan menjadi lebih baik, tetapi sayangnya kondisi tidak mendukung, berupa banyaknya gempa dan musibah serta meningkatnya harga minyak dan pangan di pasar dunia. Ironisnya, sebagai negara produsen minyak dengan pengalaman lebih dari 100 tahun dan negara agraris, tak bisa menikmati kondisi tingginya harga minyak dan pangan di pasar dunia, tetapi sebaliknya menjadi tertekan.

Sepuluh tahun terakhir, utang luar negeri negara kita melonjak drastis. Jika akumulasi utang pada 21 tahun era Bung Karno 1945- 1966 adalah 2,5 miliar dollar AS. Pada 32 tahun era Pak Harto 1966-1998 utang meningkat, menjadi 54 miliar dollar AS; Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi sekitar tujuh persen per tahun selama puluhan tahun, dan salah satu macan Asia; sayangnya pada akhir pemerintahannya, KKN membawa Indonesia pada krisis ekonomi. Posisi utang saat ini meningkat tiga kali lipat, menjadi 155,29 miliar dollar AS, jumlah yang sangat mengkhawatirkan.

Pemerintah mengalami tekanan amat berat karena tahun ini harus mengalokasikan dana subsidi lebih dari Rp 300 triliun serta membayar bunga dan angsuran utang lebih dari Rp 200 triliun, yang membuat negara menjadi kurang mampu mengembangkan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang menjadi tugas utamanya.

Penggerogotan kekayaan negara berupa penjualan aset negara/BUMN dengan harga murah kepada pihak asing membenarkan sinyalemen John Perkins dalam bukunya The Confession of an Economic Hit Man. Pengelolaan perekonomian negara kita terlalu banyak diwarnai kepentingan negara lain.

Sungguh tragis, ketika utang luar negeri meningkat drastis, SDA terkuras, BUMN dijual, rakyat miskin relatif tak berkurang, dan jumlah penganggur justru meningkat. Bangsa yang miskin yang utangnya banyak pada dasarnya tidak merdeka.

Kondisi menjadi lebih sulit karena merosotnya wibawa lembaga-lembaga negara oleh maraknya korupsi dan penyuapan di pemerintahan, legislatif (DPR), dan aparat penegak hukum di pusat maupun di daerah.

Belajar dari negara lain

Pemerintah memiliki program yang sangat bagus, Triple Track Strategy yang berisi Pro-poor, Pro-job dan Pro-growth.

Namun, di mana Pro-job-nya kalau untuk memenuhi kebutuhan daging, setiap tahun diimpor 600.000 sapi oleh pengusaha besar? Sebaiknya langsung impor 1 juta sapi betina yang dikreditkan kepada para petani/peternak agar dua tahun kemudian kita tak perlu impor lagi.

Di mana Pro-poor-nya jika kontrak karya migas tidak mensyaratkan kewajiban memasok gas pada pabrik pupuk di tempat asal gas itu sehingga Aceh Fertilizer, Iskandar Muda, dan Pupuk Kaltim tak bisa memproduksi pupuk bersubsidi karena mahalnya gas?

Dimana Pro-growth yang bersifat berkelanjutan kalau daya beli rakyat terus menurun?

Kita perlu meniru India dalam kebijakan Pro-poor-nya; meniru China dalam Pro-growth-nya, dan Thailand dalam Pro-job- nya.

Aparatur negara sebagai regulator juga banyak yang ceroboh, antara lain membiarkan beroperasinya perusahaan penerbangan yang berturut-turut mengalami kecelakaan dan berakibat seluruh pesawat terbang yang teregistrasi di Indonesia dilarang terbang ke Eropa, sesuatu yang memalukan dan merendahkan harkat kita sebagai suatu negara bangsa.

Bangsa ini memerlukan pendekatan pembangunan baru. Pemberantasan korupsi, pengangguran, kemiskinan, dan peningkatan kualitas kerja aparatur negara sudah tak bisa diatasi dengan cara konvensional.

Indonesia memiliki segala hal yang diperlukan untuk menjadi negara besar yang sejahtera, maju, mandiri, dan bersatu. Kita juga telah sukses melakukan demokratisasi walau ada beberapa ekses berupa money politics dalam banyak proses politik. Pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu semakin nyata walau tercoreng oleh jaksa yang menerima suap.

Pada era modern ini, waktu yang dibutuhkan bagi suatu negara bangsa untuk mencapai kesejahteraan yang tinggi tidak perlu terlalu lama.

Jepang, yang hancur lebur pada tahun 1945, Korea Selatan pascaperang Korea 1950-1953, Taiwan yang baru menjadi negara tahun 1949, Malaysia yang merdeka tahun 1957 dan Singapura tahun 1965, serta RRC yang baru mengubah dirinya tahun 1978 telah membuktikannya, menjadi maju dan sejahtera hanya dalam waktu 30-35 tahun.

Tak terbantahkan, banyak sekali hal yang harus dilakukan untuk mencapai Indonesia yang maju, sejahtera, dan bersatu dengan daya saing tinggi. Dengan perencanaan yang tepat, yang dilaksanakan dengan kesungguhan, dan kerja keras yang cerdas berkelanjutan di bawah kepemimpinan nasional yang visioner, kita akan mampu mencapainya. Semoga!

Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila

sumber : kompas