Nirwono Joga

Pusat Studi Perkotaan

Taman Medan Merdeka atau Taman Monumen Nasional (Monas) sebenarnya sudah berulang kali direvitalisasi. Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1995 memperlihatkan rencana besar revitalisasi Monas, termasuk rencana pembangunan ruang bawah tanah untuk lahan parkir berkapasitas 2.340 unit dan pusat belanja. Namun, hal itu urung diwujudkan. Keputusan presiden itu bertujuan untuk mewujudkan citra Tugu Monumen Nasional sebagai lambang perjuangan bangsa dan memberikan kebanggaan Jakarta sebagai ibu kota negara Republik Indonesia.

Selanjutnya pemagaran Monas, yang mendapat tentangan dari masyarakat dengan membuat pagar manusia di sekeliling Monas, dan penangkaran rusa tutul yang didatangkan dari Kebun Raya Bogor di era Gubernur Sutiyoso. Gubernur Fauzi Bowo merevitalisasi kolam air mancur menari dan membuat kebun koleksi pohon langka dari berbagai wilayah Nusantara. Gubernur Joko Widodo dan dilanjutkan Basuki Tjahaja Purnama mengganti perkerasan jalan di dalam kawasan Monas.

Kini, di era Anies Baswedan, revitalisasi kawasan Monas kembali dilakukan. Namun, rencana revitalisasi itu banyak ditentang karena pembangunan kawasan Monas dinilai tidak mengantongi surat izin dari Kementerian Sekretariat Negara, penggunaan anggaran yang melebihi waktu tahun anggaran, tata cara pembangunan yang tidak ramah lingkungan, dan ketidakjelasan urgensi revitalisasi Monas saat ini.

Lalu, langkah apa yang harus dilakukan? Pertama, sesuai dengan keputusan presiden tadi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghentikan (sementara) revitalisasi. Pemerintah DKI harus segera berkomunikasi, berkoordinasi, dan berkonsultasi ke Kementerian Sekretariat Negara.

Perlu ditegaskan sejak awal bahwa harus ada kepastian dari semua pihak selama proses konsultasi, apakah kegiatan revitalisasi dihentikan atau tetap berjalan. Selain itu, apakah ada kepastian surat izin dari Kementerian Sekretariat Negara, yang berarti pembangunan akan dilanjutkan, atau ada ketegasan surat izin tidak akan dikeluarkan sehingga kegiatan pembangunan harus dihentikan dan dibatalkan.

Kedua, bencana banjir besar yang melanda Jakarta dan sekitarnya pada awal tahun seharusnya menyadarkan pemerintah DKI bahwa Jakarta masih membutuhkan lebih banyak daerah resapan air, ruang terbuka hijau (RTH), dan pepohonan untuk mencegah banjir. Dengan luas RTH hanya 9,98 persen, jauh dari target ideal sebesar 30 persen, pemerintah DKI harus memprioritaskan pembangunan lebih banyak lagi RTH baru berupa taman kota, hutan kota, hutan bakau, kebun raya, lapangan olahraga, lahan permakaman, serta jalur hijau di tepi jalan, bantaran kali, kolong jalan layang, dan bawah saluran listrik tegangan tinggi.

Kegiatan revitalisasi RTH yang sudah ada tidak menambah luasan RTH baru, hanya meningkatkan kualitas taman tersebut, seperti plaza, amfiteater, dan air mancur yang tengah dibangun di Monas. Padahal, dengan pagu anggaran proyek revitalisasi kawasan Monas senilai Rp 148 miliar, meski akhirnya ditetapkan dengan harga perkiraan satuan pekerjaan konstruksi Rp 71,3 miliar pada tahun anggaran 2019, pemerintah DKI dapat membangun RTH berupa tujuh taman kota baru berbiaya masing-masing Rp 10 miliar.

Ketiga, proses revitalisasi dengan menebang 190 pohon besar justru berlawanan dengan semangat pemerintah DKI sendiri yang menetapkan kawasan Monas sebagai RTH dengan peruntukan sebagai hutan kota untuk kegiatan sosial-budaya sesuai dengan Rencana Detail Tata Ruang DKI Jakarta 2030. Pemerintah harus menanam kembali pohon-pohon besar di kawasan revitalisasi Monas dengan spesifikasi mendekati atau setara dengan pohon yang ditebang dalam jumlah sama atau bahkan lebih banyak lagi.

Jika pemerintah DKI beralasan tidak memiliki anggaran untuk penanaman kembali pohon, warga Jakarta masih sanggup menggalang dana dan menyediakan pohon besar siap tanam, bukan bibit pohon, serta menanam bersama di kawasan revitalisasi Plaza Selatan yang sekarang gersang.

Jumlah pohon di DKI Jakarta saat ini sekitar 4,6 juta pohon dari target penanaman pohon sebesar 10 juta pada 2030, menurut Rencana Tata Ruang dan Wilayah DKI Jakarta 2030 (Dinas Pertamanan DKI, 2017). Harapannya, setiap satu jiwa warga Jakarta memiliki satu pohon besar agar kita dapat menghirup udara segar sekaligus meredam banjir dengan menyerap air ke tanah. Untuk itu, pemerintah DKI harus menanam pohon di setiap sudut lahan kota lebih dari 500 ribu pohon setiap tahun.

Keempat, DPRD DKI dapat segera menyisir kembali pagu anggaran belanja DKI 2020 terkait dengan ada-tidaknya anggaran pembangunan (lanjutan) revitalisasi kawasan Monas dan revitalisasi RTH lainnya karena terbukti tidak menambah luasan RTH baru. Mereka harus berani menunda, membatalkan, hingga menghapus anggaran kegiatan tersebut dan mengalihkan ke kegiatan pengendalian banjir, seperti pembangunan daerah resapan air baru, taman situ/danau/embung/waduk, dan hutan kota atau hutan bakau di pesisir utara Jakarta serta penambahan pembelian/pengadaan pohon baru.

Pemerintah DKI harus berkomitmen untuk menanam lebih banyak lagi pohon baru dengan semangat konservasi hutan kota Monas sebagai paru-paru kota Jakarta sesuai dengan tujuan semula yang sungguh mulia.

Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1299921/revitalisasi-panas-monas/full&view=ok