Calon anggota legislatif diyakini sulit meraih minimal 30 persen dari bilangan pembagi pemilihan. Kondisi itulah yang membuat urutan atas dalam daftar calon anggota legislatif tetap diperebutkan oleh calon.
Dari data distribusi kursi partai politik di DPR dari Komisi Pemilihan Umum, yang diolah Kompas, Minggu (21/9), hanya 89 anggota Dewan yang melenggang ke Senayan dengan raihan suara lebih dari 30 persen bilangan pembagi pemilih (BPP). Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, menyebutkan, BPP adalah jumlah suara yang diperlukan untuk sebuah kursi di daerah pemilihan tertentu. BPP adalah jumlah suara sah dibagi jumlah kursi.
Pasal 214 UU No 10/2008 menetapkan, calon anggota DPR, DPD, dan DPRD terpilih ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh sekurang-kurangnya 30 persen dari BPP. Jika tidak ada calon yang memenuhi 30 persen dari BPP atau jumlah calon yang memenuhi 30 persen dari BPP lebih dari seorang, calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut, kecuali bagi calon yang memenuhi 100 persen dari BPP.
Dengan ketentuan ini, sebenarnya nomor urut calon anggota legislatif (caleg) bukan lagi satu-satunya penentu keberhasilan calon. Namun, pada Pemilu 2004, dalam catatan Kompas, hanya dua anggota DPR yang memenuhi 100 persen BPP, yakni Hidayat Nur Wahid dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari daerah pemilihan DKI Jakarta dan Saleh Djasit (Partai Golkar) dari daerah pemilihan Riau.
Gerakan mesin parpol
Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan Chozin Chumaidy dan Ketua Pelaksana Harian Badan Pemenangan Pemilu Partai Golkar Firman Soebagyo, secara terpisah di Jakarta, mengakui, ketentuan yang memprioritaskan calon dengan perolehan minimal 30 persen BPP diyakini akan menggerakkan mesin parpol. Kesempatan setiap caleg relatif seimbang sehingga semua calon akan lebih serius bekerja untuk memastikan perolehan suaranya melampaui ambang batas itu. Namun, diakui memang tak mudah untuk memenuhi ketentuan itu.
Menurut Firman, ambang batas 30 persen BPP memang susah dicapai. Namun bagi orang tertentu, ambang batas itu bisa jadi bukan hal susah. Yang jelas, setiap kader mesti turun ke daerah pemilihannya untuk mencapai ambang batas itu. Tidak ada lagi calon yang hanya berharap berkah nomor urut.
Chozin mengakui, yang paling enak menyusun daftar calon adalah ketika penetapan calon terpilih dilakukan dengan suara terbanyak. ”Pertarungan” internal hanya terjadi untuk masuk dalam daftar caleg. Namun, PPP tidak menerapkan prinsip ini karena ingin berpegang pada UU.
Sebaliknya, Partai Bintang Reformasi (PBR), menurut Ketua DPP PBR Yusuf Lakaseng, menerapkan prinsip suara terbanyak untuk menentukan caleg terpilih. Berapa pun suara caleg itu, asalkan yang terbanyak, akan mengantarkannya ke Senayan.
Pada Pemilu 2004, PBR menempatkan 14 kadernya di DPR. Tetapi, data Kompas menunjukkan, tidak ada satu caleg pun yang memperoleh dukungan 30 persen suara dari BPP atau lebih. Kondisi yang sama dialami PPP yang menempatkan 58 kadernya di DPR, dan tak seorang pun yang meraih suara sama dengan atau lebih dari 30 persen dari BPP.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia Ahmad Fauzi Ray Rangkuti mengakui batasan 30 persen BPP adalah pemikat ”pemain baru” untuk ikut berpartisipasi pada Pemilu 2009. Efek ketentuan itu juga terasa bagi partai. Praktik kampanye pun akhirnya lebih bersifat fisik dan dari pintu ke pintu. Namun, dengan sistem multipartai seperti saat ini, keinginan calon meraih 30 persen BPP sulit diwujudkan.
Apalagi, keberhasilan seorang caleg menjadi wakil rakyat juga ditentukan ambang batas suara yang diraih partainya untuk menempatkan kadernya di DPR (parliamentary threshold). Pasal 202 Ayat (1) UU No 10/2008 menegaskan, parpol harus memenuhi perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR.
Meski demikian, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Helmy Faishal Zaini percaya, kader partai itu yang ditempatkan bukan di nomor urut 1 atau 2 dalam daftar caleg tetap berpeluang menjadi anggota DPR. ”Mereka yang di nomor urut agak bawah masih punya kesempatan untuk terpilih jika berhasil memperoleh dukungan 30 persen suara dari BPP,” kata Helmy.
Di PKB, caleg nomor urut 1 dan 2 adalah kader inti partai yang memiliki kontribusi waktu, tenaga, dan loyalitas tinggi. Nomor 3 dan 4 diperuntukkan bagi kader yang memiliki basis dukungan di masyarakat, tetapi kurang aktif dalam kegiatan partai.
Penyusunan daftar
Chozin, Helmy, Firman, Yusuf, serta Razikun dari PKS dan Totok Daryanto dari Partai Amanat Nasional (PAN), secara terpisah, mengakui, penyusunan daftar caleg untuk DPRD dan DPR partainya mengikuti mekanisme yang disepakati dan selama ini berjalan. Selain melibatkan ketua umum dan sekjen, penentuan caleg juga melibatkan pemenangan pemilu dan pihak lain.
Di PKS, tutur Razikun, nama kader diperoleh dari pemilihan raya internal yang digelar sejak April 2007. Kader yang ditunjuk melalui pemilihan itu harus siap. Mereka tak mengajukan diri.
Totok menjelaskan, penjaringan caleg PAN dilakukan terbuka dan mendapat masukan dari semua jaringan. PAN juga memiliki mekanisme pencalegan dini, yang memberikan kebebasan kepada kadernya.
Namun, Ray menilai penentuan caleg umumnya masih karut-marut. Mekanisme yang demokratis, seperti disyaratkkan undang-undang, belum terjadi. (MAM/DIK/MZW)
Sumber : kompas
Saya kawatir kita sibuk berbicara tentang persentase tertentu dari BPP dicapai agar jadi duduk di dewan, pada hal isu itu dilemparkan oleh partai-partai muka lama yang memiliki mesin politik yang besar, sementara pihaknya sedang rekayasa cara curang mencapai BPP di balik kotak pencoblosan.
Komentar ditutup.