Ujian Nasional (UN) SMA dan SMK yang bakal dilaksanakan tanggal 15-17 April 2013 mendatang sedikit berbeda dengan UN tahun sebelumnya, yaitu tahun 20013 semua siswa dalam satu ruangan akan mendapatkan jenis soal yang berbeda-beda dan dibuat sebanyak 20 jenis soal. Karena soal tiap siswa di satu kelas berbeda, masing-masing diberi barcode (kode rahasia), namun bobot kesulitan masing-masing tetap sama, Kemendikbud mengklaim lebih terukur lagi kerahasiaannya, terjaga, dan mencegah kebocoran.
Sehebat apa pun security penyelenggaraan UN 2013 yang digariskan Kemdikbud, ini Indonesia bung! “Kreativitas” untuk menemukan celah kecurangan sebagai modifikasi-adaptasi kecurangan-kecurangan dalam UN sebelumnya saya yakin akan ada, kita tunggu saja. Sprindik dari KPK saja bisa bocor, apalagi soal UN?. Selain itu, untuk sekian kalinya ditegaskan, hasil UN sama sekali tidak dapat dijadikan barometer mutu pendidikan nasional. UN malah cenderung menjadi lahan berlatih untuk jadi penyamun bagi siswa, guru, kepala sekolah, dan birokrat pendidikan untuk menumbuh-suburkan koruptor-koruptor masa depan.
Mendikbud memang menjanjikan pengawalan ketat atas soal UN agar tidak ada kebocoran, lalu pengawalan dilakukan mulai dari proses pembuatan dan penggandaan di percetakan, sampai pendistribusian di daerah-daerah sehingga beberapa hari sebelum pelaksanaan UN, soal akan didistribusikan ke provinsi dan kemudian diteruskan ke kabupaten/kota. Pejabat Kemdikbud juga mengimbau agar peserta didik tidak percaya dan terbujuk untuk membeli bocoran soal karena pihaknya berani menjamin soal-soal UN tidak akan bocor ke pihak ketiga dengan sistem pencetakan dan jenis soal yang jauh berbeda dari tahun lalu. Soal ujian nasional 2013 yang bocor diklaim akan mudah dilacak karena soal UN 2013 memiliki barcode.
Seluruh soal UN secara nasional akan dicetak oleh Kemdikbud, tidak lagi oleh masing-masing provinsi, dan akan soal yang akan diujikan seragam dari Sabang sampai Merauke sesuai dengan kisi-kisi UN yang telah dirilis sebelumnya, meski disadari bahwa kualitas pendidikan di tiap daerah berbeda. Namun, untuk masalah UN, Kemdikbud berkilah sudah melakukan kajian mengenai standar soal yang sesuai untuk siswa di seluruh Indonesia sehingga tidak ada kesenjangan dan sudah melaksanakannya tiap tahun.
Sangat disayangkan sistem UN yang meresahkan pengamat, ahli pendidikan, peserta didik, guru, hingga orangtua sampai saat ini belum mendapatkan respon baik dari pemerintah untuk mengubah sistem UN ini bukan menjadi syarat kelulusan siswa. UN hanya mengedepankan aspek kognitif pada mata pelajaran tertentu dengan strandar nilai minimum yang telah ditentukan tiap tahunnya, tidak akan mampu mengemban tugas tujuan pendidikan. Hal ini juga memberikan kesan bahwa UN secara sadar atau tidak telah mengebiri aspek apektif dan psikomotorik peserta didik sehingga akan terpatri dalam benak siswa sebuah paradigma belajar yang berorientasi kepada angka. Siswa akan melakukan apa saja untuk mendapatkan nilai yang bagus asal mereka lulus. Tidak terkecuali curang dalam UN.
Asumsi pemerintah telah salah besar jika standar kelulusan UN yaitu sebatas kemampuan menjawab soal ujian dengan benar menggambarkan kualitas pendidikan bangsa ini. Hal ini sebuah masalah maha besar dalam dunia pendidikan, ibarat fenomena gunung es yang apabila dibiarkan akan menjadi masalah yang kompleks berdampak efek domino sehingga akan mempengaruhi kehidupan sosial lainnya untuk jangka panjang seperti kecenderungan mencari kuantitas daripada kualitas.
Sejatinya jika pemerintah berniat melakukan evaluasi terhadap mutu pendidikan, evaluasi haruslah dilakukan sebagai satu rangkaian proses perbaikan mutu. Tujuan evaluasi bukanlah berakhir pada hasil lulus dan tidak lulus, tetapi lebih berorientasi pada memahami kelemahan dari rangkaian evaluasi untuk kemudian menemukan solusinya.
Teori dengan Praktek terkadang tidak sejalan, begitupun dengan pelaksanaan UN, masih banyak peluang praktek kecurangan. Motif kecurangan ini adalah untuk mendapat tingkat kelulusan UN terbaik atau 100% di suatu sekolah atau suatu daerah. Untuk mendapat persentase kelulusan UN yang besar, guru mata pelajaran mendapatkan tekanan dari kepala sekolah, kepala sekolah mendapatkan tekanan dari kepala dinas pendidikan, dan kepala dinas pendidikan mendapatkan tekanan dari kepala daerah. Jika target tertentu tidak terpenuhi maka akan ada kekhawatiran adanya mutasi atau kehilangan jabatan. Motif semacam ini akan dicarikan bentuk kecurangan yang pas, meski ada barcode atau varian soal berjumlah ratusan.
Salah satu celah kecurangan UN yang mungkin, pertama, selalu ada peluang dan kesempatan bagi panitia UN sekolah yang terdiri dari pengajar sekolah mengoreksi ulang lembar jawaban siswa yang terkumpul dengan dalih memeriksa pengisian identitas, namun melirik jawaban dan mengupayakan perbaikan. Kedua, Tim sukses UN yang dibentuk sekolah akan mengambil lembar soal pada pagi buta, sehingga tim berkesempatan untuk membuat kunci jawaban pada soal tersebut. Kode barcode bisa saja dipecahkan, karena hanya 20 jenis kode. Pada akhirnya kunci jawaban bisa disebar di ruang ujian sesuai kode soal yang seratus jenis sekali pun. Ketiga, untuk memuluskan kecurangan, tim sukses berkoordinasi dengan sekolah lain, dimana guru-gurunya bertugas mengawas di sekolah yang bersangkutan.
Selama UN masih menjadi penentu kelulusan, maka niat dan motif asal lulus UN akan selalu ada, dan mengintai segala sekuritas yang dibuat Kemdikbud. Dari rangkaian rekam jejak pelaksanaan UN tahun-tahun sebelumnya, sekali pun dengan strategi baru di untuk UN 2013 yaitu 20 varian soal dan disertai barcode, kebocoran tidak terbendung. Maka kebijakan untuk meluluskan siswa melalui UN sebagai standar kelulusan adalah hal yang salah. Harus disadari, Indonesia ini tidak sebatas Jakarta atau Surabaya. Dan, orang pintar – banyak akal – yang kekurangan artikulasi lalu menjadi licik, tidak sedikit di negeri ini, jangan diremehkan! Selain itu, orientasi hasil, pragmatisme, materialisme dan hedonisme, yang menjalari sel-sel dalam tubuh pendidikan kita, yang seharusnya dicarikan dan diberikan obatnya oleh Kemdikbud – malah, tampaknya ditularkan virus olehnya. Disadari atau tidak, UN menjadi lahan berlatih untuk jadi penyamun bagi siswa, guru, kepala sekolah, dan birokrat pendidikan untuk menumbuh-suburkan koruptor-koruptor masa depan.
Pemerintah semestinya memberikan perhatian peningkatan mutu lebih pada proses pendidikan secara total alih-alih pada evaluasinya saja semacam UN. Perhatian tersebut berupa upaya-upaya signifikan pemenuhan Standar Nasional Pendidikan (SNP) di setiap sekolah. Standar Nasional Pendidikan adsebagai kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan Pendidikan, Standar Penilaian Pendidikan; tidak menyempit dan evaluasinya dalam bentuk UN dan menentukan kelulusan siswa pula.
Jika saja anggaran UN 2013 yang hampir mencapai Rp 700 miliar dan Anggaran Kurikulum 2013 berjumlah Rp 2,491 triliun, serta pemborosan anggaran pendidikan lainnya untuk rapat-rapat birokrat pendidikan di hotel-hotel dialokasikan pada pemenuhan syarat bagi tandar SNP di tahun 2013, maka kita bisa berharap ada peningkatan mutu pendidikan. Selain itu, sepanjang 2012-2013 Mendikbud tidak hanya disibukkan oleh polemik tentang perlu tidaknya UN, atau disibukkan oleh urusan urgen tidaknya Kurikulum 2013. Mendikbud sebaiknya lebih sibuk mengurusi permasalahan pendidikan mulai dari konsep pralahir, formal, informal, nonformal, mentalitas manusia Indonesia, alih-alih menjadi “Menteri Ujian Nasional” atau “Menteri Kurikulum”. Maka, batalkan UN dan wujudkan SNP di setiap sekolah di tanah air menggunakan anggaran pendidikan yang relatif sangat besar itu.
Bernard Simamora, pengamat masalah pendidikan nasional, pendiri beberapa sekolah menengah dan perguruan tinggi, mantan ketua STMIK GANESHA, tinggal di Bandung
Eksplorasi konten lain dari Bernard Simamora
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.