Oleh Khamami Zada

Tragedi pembagian zakat di Pasuruan yang menewaskan 21 orang merupakan sebuah potret kemiskinan bangsa Indonesia yang akut.

Ini adalah gambaran memilukan bagi bangsa besar dengan potensi kekayaan alam melimpah. Kaum miskin harus rela menderita dan mati hanya untuk mendapat zakat. Inilah wujud kemiskinan paling nyata dalam hidup manusia.

Dalam hal ini, refleksi bersama yang harus dituntaskan adalah bagaimana mengelola zakat sebagai bagian upaya pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Zakat tidak boleh lagi menjadi petaka, tetapi menjadi anugerah bagi kaum miskin. Tragedi kemanusiaan di Pasuruan harus menjadi cambuk bagi pemerintah dan pengelola zakat, baik individual maupun kelompok, untuk menuntaskan mekanisme pengelolaan zakat.

Potensi pengelolaan zakat

Zakat merupakan potensi besar yang dimiliki Islam untuk menciptakan keadilan sosial, terutama untuk membantu fakir miskin. Islam sebagai agama universal memiliki mekanisme yang jelas tentang distribusi kekayaan untuk keadilan sosial. Karena dengan membayar zakat, terjadi sirkulasi kekayaan dalam masyarakat, yang tidak saja dinikmati orang kaya, tetapi dinikmati juga orang miskin.

Secara global, potensi zakat cukup besar. Asumsinya, besar zakat yang dapat dikumpulkan adalah 2,5 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Dengan asumsi itu, Arab Saudi memiliki potensi zakat hingga 5,4 miliar dollar AS atau Rp 48,6 triliun (1 dollar AS setara Rp 9.000). Adapun Turki berpotensi lebih besar, 5,7 miliar dollar AS (Rp 51,3 triliun), sedangkan potensi Indonesia hingga 4,9 miliar dollar AS atau Rp 44,1 triliun (Irfan Syauqi Beik, 2007).

Meskipun demikian, fakta menunjukkan kondisi yang amat ironis. Hingga kini belum ada satu negara Islam pun yang mampu mengumpulkan zakat hingga 2,5 persen dari total PDB-nya. Malaysia pada tahun 2006 hanya mampu mengumpulkan zakat 600 juta ringgit (Rp 1,5 triliun), atau sekitar 0,16 persen dari total PDB. Begitu pun Indonesia hanya mengumpulkan Rp 800 miliar atau hanya 0,045 persen dari total PDB. Secara umum, negara-negara Teluk hanya mampu mengumpulkan zakat rata-rata 1,0 persen dari PDB.

Padahal, jika dikelola dengan baik, zakat dapat diarahkan pada usaha pemerataan ekonomi masyarakat. Jika zakat dapat dikelola efektif dan efisien, terjadi keseimbangan sirkulasi ekonomi masyarakat. Masyarakat miskin akan mendapatkan haknya secara lebih baik guna memenuhi kebutuhan dasar. Dengan demikian, zakat akan berfungsi sebagai salah satu instrumen mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, pemerataan pendapatan, dan mempersempit kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin. Zakat dapat membentuk integrasi sosial serta memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat.

Untuk mencapai cita-cita keadilan sosial, zakat harus dikelola dengan baik dan menggunakan sistem yang akuntabel. Sayang, pengelolaan zakat masih berkutat dalam bentuk-bentuk konsumtif-karikatif yang tidak menimbulkan dampak sosial berarti. Zakat hanya diberikan langsung oleh tiap pembayar kepada penerima sehingga zakat tidak menjadi sistem sosial yang mampu melakukan transformasi sosial. Bahkan, pembagian zakat justru menimbulkan malapetaka kemanusiaan.

Transformasi pelembagaan zakat

Karena itu, dalam rangka mengelola dan memberdayakan potensi zakat sebagai kekuatan ekonomi masyarakat, keberadaan institusi zakat sebagai lembaga publik di masyarakat menjadi amat penting. Institusi zakat, selain sebagai lembaga di masyarakat, juga sebagai sistem atau mekanisme yang berfungsi mengelola dan mengembangkan potensi ekonomi rakyat yang bersifat produktif, seperti membuka lapangan kerja atau memberi bantuan modal guna membuka usaha mandiri.

Sayang, negara baru berhasil dalam tingkatan normatif-formalistik dengan mengeluarkan beberapa regulasi tentang zakat, antara lain Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat; Peraturan Menteri Agama No 5/1968 tentang Pembentukan Baitul Mal di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kotamadya; Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No 29 dan 47/1991 tentang Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah; Instruksi Menteri Dalam Negeri No 7/1998 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah; dan UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat.

Namun, di tingkat kultural dan institusionalisasi, badan amil zakat, infak, dan sedekah (baziz) yang dibentuk pemerintah tidak berhasil mendapat kepercayaan masyarakat. Padahal, soal pengelolaan zakat selalu berpangkal pada kepercayaan publik (trust). Inilah yang harus dibenahi pemerintah agar baziz di tingkat pusat hingga daerah benar-benar dipercaya publik. Publik masih khawatir jika dana zakat yang mereka berikan dikorupsi atau dikelola bukan untuk kaum miskin. Publik lebih suka menyalurkan zakat langsung kepada individu atau lembaga zakat swasta. Tak mengherankan jika di Indonesia baziz yang dibentuk pemerintah kalah bersaing dengan lembaga-lembaga zakat swasta yang relatif lebih modern, akuntabel, dan dipercaya. Di sinilah tantangannya melembagakan pengelolaan zakat.

Tampaknya kita perlu belajar dari Pemerintah Malaysia dalam penanganan zakat. Masalah pengelolaan zakat yang dihadapi Malaysia diatasi dengan pendekatan baru. Itu ditandai dengan dioperasionalkannya Pusat Pungutan Zakat (PPZ) di Kuala Lumpur. PPZ yang didesain konsultan Coopers & Lybrand bukanlah lembaga pemerintahan, tetapi murni perusahaan swasta yang disewa pemerintah. Sebagai perusahaan swasta, kedudukan PPZ independen, posisinya sejajar dengan Baitul Mal. Dan, PPZ berhasil mendapatkan kepercayaan publik.

Transformasi pengelolaan zakat ke arah yang lebih menyejahterakan kaum miskin adalah cita-cita bersama untuk menciptakan keadilan sosial. Kaum miskin tidak boleh lagi diperalat untuk kepentingan individu atau kelompok dengan iming- iming mendapat bagian zakat. Kaum miskin harus diperlakukan sebagai manusia yang berdaya dan sederajat sebagai makhluk Tuhan.

Khamami Zada Analis Keagamaan PP Lakpesdam NU; Pengajar pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta

Sumber : Kompas


Eksplorasi konten lain dari Bernard Simamora

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.