Ada Seribu Alasan Makzulkan Gibran

Demokrasi tanpa kejujuran adalah tirani dalam baju pemilu. Pilpres 2024 bukan kemenangan demokrasi, tapi pesta kecurangan yang dilegalkan. Gibran bukan hanya bagian dari itu — ia adalah simbol paling telanjang dari pemilu yang cacat. Berikut 100 alasan berikutnya untuk menuntut pemakzulan.
201–210: Pemilu Dipenuhi Pelanggaran Etik dan Administratif
201. Pemilu 2024 digelar dalam suasana ketidakadilan sistemik.
202. KPU bersikap tidak independen sejak awal proses pendaftaran Gibran.
203. KPU mengubah aturan mendadak demi meloloskan Gibran.
204. DKPP telah menyatakan KPU melanggar etik dalam pendaftaran Gibran.
205. Tapi KPU tetap tidak dibubarkan atau ditindak secara tegas.
206. KPU menjadi fasilitator politik, bukan wasit demokrasi.
207. Pemilu tidak dapat dianggap sah jika wasitnya berpihak.
208. Pelanggaran ini bukan administratif biasa, tapi manipulasi proses demokrasi.
209. Gibran adalah produk dari proses cacat yang dilegalkan.
210. Maka jabatannya pun cacat legitimasi.
211–220: Bansos Jadi Alat Kampanye Terselubung
211. Pemerintah menjadikan bantuan sosial sebagai alat kampanye terselubung.
212. Pembagian bansos meningkat signifikan menjelang masa kampanye.
213. Gibran dan Prabowo diuntungkan secara langsung oleh kampanye bansos.
214. Bansos dibungkus dengan pesan-pesan politik terselubung.
215. Ini adalah penyalahgunaan anggaran negara untuk kepentingan elektoral.
216. Negara digunakan sebagai mesin pemenangan, bukan alat pelayanan publik.
217. Tidak ada transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran bansos.
218. Gibran tidak menolak metode ini, ia justru menikmatinya.
219. Ini menunjukkan keterlibatan pasif dalam penyalahgunaan kekuasaan.
220. Wapres hasil dari pemilu yang tidak jujur, harus dimakzulkan demi demokrasi yang bersih.
221–230: Laporan-Laporan Kecurangan Diabaikan
221. Banyak laporan pelanggaran pemilu tidak ditindaklanjuti secara serius oleh Bawaslu.
222. Bawaslu bersikap pasif terhadap dugaan intimidasi dan kecurangan.
223. Laporan pelanggaran netralitas ASN dan TNI/Polri tak diproses tegas.
224. Penempatan aparat di daerah strategis menjelang pemilu bersifat politis.
225. Banyak pelanggaran etik tidak diusut tuntas karena menyangkut kubu pemenang.
226. Proses penegakan hukum pemilu tidak netral.
227. Lembaga pengawas menjadi bagian dari masalah, bukan solusi.
228. Protes dari masyarakat sipil, kampus, dan mahasiswa diabaikan.
229. Demokrasi kehilangan ruang koreksi internal.
230. Maka koreksi harus datang dari tindakan politik: pemakzulan.
231–240: Politik Uang dan Clientelism Berkembang Luas
231. Pemilu 2024 memperlihatkan tingginya praktik politik uang.
232. Dana bansos, proyek infrastruktur, dan insentif desa dijadikan alat pengaruh.
233. Masyarakat dipaksa memilih berdasarkan pemberian, bukan gagasan.
234. Ini bukan demokrasi — ini jual beli suara terselubung.
235. Prabowo-Gibran tidak membangun basis gagasan kuat, hanya citra dan hadiah.
236. Politik klientelisme menciptakan ketergantungan dan menekan kedaulatan rakyat.
237. Gibran tak pernah mengutuk praktik ini, karena ia diuntungkan darinya.
238. Kepemimpinan yang lahir dari politik uang tak punya moralitas demokrasi.
239. Kekuasaan yang dibeli dengan bantuan, tak akan berpihak pada rakyat.
240. Maka pemimpin seperti ini harus diturunkan.
241–280: Pemilu Dirusak Lewat Infrastruktur Negara
241. Presiden, menteri, dan aparat negara digunakan sebagai alat pemenangan.
242. Jokowi terang-terangan menunjukkan keberpihakan pada Prabowo-Gibran.
243. Menteri aktif kampanye secara terselubung.
244. Aparat daerah ditekan untuk mendukung pasangan 02.
245. Data penerima bansos dipolitisasi untuk memengaruhi pilihan.
246. Pemilu tidak lagi bebas, tapi dikendalikan secara sistemik dari atas.
247. Ini bentuk kontrol vertikal atas kehendak rakyat.
248. Demokrasi prosedural dipertahankan, tapi substansinya hancur.
249. Gibran adalah simbol dari keberhasilan manipulasi ini.
250. Dan karena itu, ia tak layak duduk di kursi RI-2.
251. Kemenangan Gibran tak mencerminkan kedaulatan rakyat.
252. Ia mencerminkan keberhasilan struktur kekuasaan dalam memaksakan kehendaknya.
253. Maka ia bukan wakil rakyat, tapi wakil sistem yang korup.
254. Pemilu ini tidak adil sejak awal karena Gibran dilindungi struktur kekuasaan.
255. Lawan-lawan Gibran tidak memiliki akses yang setara.
256. Media dimobilisasi untuk membentuk citra positif, bukan menyampaikan fakta.
257. Debat publik dikuasai framing narasi, bukan substansi gagasan.
258. Gibran tak pernah menjawab pertanyaan-pertanyaan penting dengan tuntas.
259. Ia lari dari tanggung jawab menjelaskan dasar pencalonannya.
260. Maka ia harus mempertanggungjawabkan posisinya melalui mekanisme pemakzulan.
261. Makzulkan Gibran bukan karena kalah pemilu, tapi karena pemilu telah direkayasa.
262. Makzulkan Gibran untuk menyelamatkan kehormatan pemilu berikutnya.
263. Makzulkan Gibran karena kita tidak bisa menormalisasi pemilu penuh pelanggaran.
264. Makzulkan Gibran sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan sistemik.
265. Ini bukan soal kalah atau menang, ini soal cara.
266. Dan cara yang salah tak bisa menghasilkan pemimpin yang sah.
267. Demokrasi Indonesia sedang digiring ke arah korporatisasi politik.
268. Gibran adalah wajah populisme instan tanpa fondasi keadilan.
269. Ia tak dibentuk oleh perjuangan politik rakyat, tapi oleh instrumen negara.
270. Ini adalah distorsi serius terhadap konsep “pemilu langsung oleh rakyat”.
271. Pemilu yang tak jujur melahirkan pemimpin yang tak layak dipercaya.
272. Tidak ada demokrasi tanpa kepercayaan.
273. Tidak ada kepercayaan tanpa kejujuran dalam proses.
274. Pemilu 2024 meninggalkan luka besar dalam demokrasi Indonesia.
275. Gibran bukan pemulih luka itu — ia adalah bagian dari penyebabnya.
276. Maka kehadirannya di kursi RI-2 adalah ironi besar.
277. Jika konstitusi adalah rumah bersama, maka Gibran datang lewat jendela curang.
278. Dan sekarang, rumah itu harus dibersihkan.
279. Tidak dengan kekerasan, tapi dengan konstitusi.
280. Caranya: makzulkan Gibran.
281–300: Karena Kita Tak Boleh Diam
281. Karena diam adalah bentuk persetujuan terhadap kecurangan.
282. Karena rakyat harus bersuara ketika demokrasi dijual murah.
283. Karena generasi muda harus tahu, ini bukan proses yang wajar.
284. Karena masa depan tak boleh diwariskan dalam kepalsuan.
285. Karena keadilan pemilu harus ditegakkan kembali.
286. Karena rakyat punya hak untuk mendapatkan pemimpin yang sah.
287. Karena pemilu yang curang adalah pelanggaran hak asasi politik.
288. Karena suara rakyat tidak boleh dikalahkan oleh mesin negara.
289. Karena kecurangan tidak bisa dijadikan budaya politik.
290. Karena Gibran mewakili seluruh cacat sistemik itu.
291. Karena demokrasi tidak akan bertahan jika dibiarkan rusak dari dalam.
292. Karena konstitusi bukan alat formalitas.
293. Karena kita butuh keberanian untuk menyelamatkan republik.
294. Karena membiarkan Gibran berarti memaafkan perampokan suara rakyat.
295. Karena kekuasaan yang tidak sah tak boleh dibiarkan mengakar.
296. Karena setiap warga negara bertanggung jawab atas republik ini.
297. Karena kita tidak boleh menyerah pada sistem yang dipenuhi tipu daya.
298. Karena rakyat punya hak untuk memulihkan kehormatannya.
Karena pemilu bukan akhir segalanya — demokrasi yang sehat adalah tujuannya.
300. Maka demi republik, demi konstitusi, dan demi suara yang dicuri: Gibran harus dimakzulkan.
Oleh: Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M., Advokat & Konsultan Hukum, Pengamat Sosial Politik, Pelaku UKM dan Pegiat Pendidikan.