Ketika istana berubah menjadi instrumen politik dinasti, maka konstitusi kehilangan pelindungnya. Pemakzulan terhadap Gibran bukan sekadar soal personal, tetapi bentuk koreksi terhadap skema pewarisan kekuasaan yang lahir dari jantung pemerintahan. Berikut 100 alasan berikutnya untuk menguatkan tuntutan itu.
301–320: Istana Jadi Pusat Rekayasa Pencalonan Gibran
301. Pencalonan Gibran sebagai cawapres bukan hasil seleksi partai, tapi hasil lobi di Istana.
302. Jokowi, sebagai Presiden, memainkan peran sentral dalam menentukan siapa yang maju sebagai capres-cawapres.
303. Gibran diusung bukan karena visi atau rekam jejak, tapi karena darah yang mengalir dari presiden.
304. Istana menjadi tempat persekongkolan politik antar elite, bukan rumah rakyat.
305. Peta koalisi dibentuk di bawah bayang-bayang kekuasaan presiden, bukan aspirasi rakyat.
306. Ini mencederai prinsip demokrasi representatif.
307. Proses pengambilan keputusan tentang cawapres tidak transparan dan penuh tekanan.
308. Partai-partai besar tidak berdaya menolak skenario istana.
309. Gibran adalah hasil kompromi kekuasaan, bukan hasil penyaringan demokratis.
310. Maka, keberadaannya di kursi wapres adalah cacat etik dan moral publik.
311. Istana mengatur arah putusan MK, peta dukungan partai, hingga ke pelaporan nama ke KPU.
312. Ini menjadikan presiden sebagai aktor utama dalam rekayasa pemilu.
313. Tidak ada batas pemisah antara negara dan keluarga.
314. Jokowi tidak menggunakan kekuasaan untuk melayani rakyat, tetapi untuk melayani ambisi anaknya.
315. Ini bentuk abuse of power terselubung.
316. Gibran adalah pion dari permainan besar kekuasaan keluarga.
317. Politik dinasti lahir bukan dari bawah, tapi dari dalam Istana sendiri.
318. Istana melanggar prinsip netralitas kekuasaan.
319. Demokrasi mati jika presiden menjadi kepala tim sukses.
320. Maka, hasil dari skenario istana ini—yaitu Gibran—harus dibatalkan melalui makzulan.
321–340: Presiden Tidak Netral, Bahkan Jadi Pemain
321. Presiden Jokowi secara terbuka menunjukkan keberpihakan pada pasangan Prabowo-Gibran.
322. Ia tidak menahan diri sebagai kepala negara — ia aktif menyiapkan karier politik anaknya.
323. Jokowi hadir di forum-forum yang memberi keuntungan elektoral bagi anaknya.
324. Ia menggunakan kewenangan simbolik untuk mendukung kampanye terselubung.
325. Ini pelanggaran etika berat dalam tradisi demokrasi.
326. Kepala negara yang berpihak adalah kepala negara yang kehilangan keabsahan moral.
327. Presiden mestinya menjaga jarak dari kontestasi elektoral demi keadilan.
328. Namun Jokowi justru mengorkestrasi peta dukungan politik.
329. Campur tangan ini memperlemah independensi pemilu.
330. Kemenangan yang dihasilkan bukan suara rakyat, tapi hasil desain kekuasaan.
331. Lembaga seperti KPU, MK, dan Bawaslu menjadi tidak independen karena tekanan politik dari pusat.
332. Ini menciptakan efek domino kerusakan sistem demokrasi.
333. Gibran tidak bisa memisahkan dirinya dari kenyataan bahwa ia diuntungkan oleh intervensi ayahnya.
334. Maka posisi wakil presiden yang ia emban tidak berdiri di atas dasar keadilan.
335. Presiden seharusnya mewariskan sistem yang kuat, bukan posisi untuk anaknya.
336. Demokrasi yang sehat butuh presiden yang netral, bukan protektif terhadap keluarga.
337. Gibran adalah simbol dari pelanggaran prinsip netralitas itu.
338. Maka ia tidak layak menerima warisan yang diperoleh dari kekuasaan yang dimanipulasi.
339. Pemakzulan adalah jalan konstitusional untuk mengembalikan akal sehat bernegara.
340. Jika tidak dimakzulkan, praktik ini akan diwariskan ke generasi penguasa berikutnya.
341–360: Infrastruktur Negara Digerakkan untuk Kemenangan Gibran
341. Birokrasi pemerintah tidak netral menjelang dan selama masa kampanye.
342. ASN, camat, kepala desa, hingga lurah mendapat arahan tersirat untuk mendukung pasangan 02.
343. Dana bansos, proyek infrastruktur, dan dana desa digunakan sebagai alat pengaruh elektoral.
344. Negara dipaksa melayani kepentingan elektoral satu keluarga.
345. Ini bentuk perampasan netralitas lembaga publik oleh elit politik.
346. Gibran tidak hanya diam, tetapi menikmati keuntungan dari sistem yang dibelokkan.
347. Presiden tidak pernah menegur lembaga yang melanggar prinsip netralitas.
348. Padahal tanggung jawab moral tertinggi ada di tangannya.
349. Ketika kepala negara berkompromi demi kepentingan keluarga, demokrasi dilanggar dari dalam.
350. Maka hasilnya harus dikoreksi secara sistemik: makzulkan Gibran.
351. KPU, MK, dan Bawaslu dikooptasi melalui tekanan politik dan hukum.
352. Legitimasi mereka diruntuhkan oleh keputusan yang hanya menguntungkan Gibran.
353. Prosedur hukum yang cacat tidak bisa menghasilkan wakil presiden yang sah.
354. Negara telah dipaksa membiayai proses demokrasi yang sudah ternoda sejak awal.
355. Publik dibiarkan percaya bahwa proses ini wajar, padahal telah direkayasa.
356. Gibran berdiri di atas hasil dari simulasi demokrasi yang direkayasa kekuasaan.
357. Maka seluruh legitimasi politiknya patut dipertanyakan secara serius.
358. Dalam sistem republik, kekuasaan tidak diwariskan — ia harus diperoleh dengan adil.
359. Dan ketika adil itu tidak ada, maka hasilnya tidak sah.
360. Gibran harus dimakzulkan karena ia adalah hasil dari sistem yang disabotase oleh kekuasaan.
361–380: Pewarisan Kekuasaan adalah Pelanggaran Etika Konstitusional
361. Konstitusi Indonesia tidak membuka ruang untuk pewarisan kekuasaan secara keluarga.
362. Upaya menurunkan kekuasaan kepada Gibran adalah pengkhianatan terhadap semangat reformasi.
363. Jabatan publik bukan hadiah keluarga, melainkan amanat rakyat.
364. Jokowi telah mencampuradukkan fungsi sebagai presiden dan kepala keluarga.
365. Negara tidak boleh dikelola seperti perusahaan keluarga.
366. Politik harus berpijak pada keadilan, bukan garis keturunan.
367. Gibran naik ke posisi wapres bukan karena terpilih bebas-merdeka, tapi karena difasilitasi oleh struktur kuasa ayahnya.
368. Ini menciptakan preseden buruk bagi presiden setelahnya.
369. Jika ini dibiarkan, maka sistem akan mengulangi pewarisan kekuasaan secara tidak sah.
370. Maka makzul adalah perlawanan terhadap dinasti politik dari dalam sistem.
371. Kita harus mencabut legitimasi politik dari mereka yang tidak pernah memperjuangkannya secara sah.
372. Gibran tidak menguji dirinya dalam pertarungan gagasan.
373. Ia tidak lahir dari perjuangan rakyat, tapi dari pengkondisian elite.
374. Demokrasi kehilangan makna jika hasilnya sudah ditentukan dari atas.
375. Wapres yang naik dari permainan istana tidak akan berpihak kepada rakyat.
376. Ia akan tunduk pada jaringan kekuasaan yang membesarkannya.
377. Gibran tidak bisa menjadi penyeimbang dalam sistem presidensial.
378. Ia adalah bagian dari mesin politik ayahnya.
379. Maka posisinya mengancam keseimbangan kekuasaan negara.
380. Satu-satunya jalan untuk memperbaiki ini adalah pemakzulan.
381–400: Negara Bukan Milik Keluarga Presiden
381. Republik adalah milik rakyat, bukan milik trah keluarga manapun.
382. Kekuasaan yang diwariskan memperlemah prinsip kedaulatan rakyat.
383. Gibran menjadi simbol bahwa negara bisa dibentuk atas nama keluarga, bukan konstitusi.
384. Ini pelanggaran serius terhadap cita-cita demokrasi Indonesia.
385. Presiden mestinya mendorong regenerasi kepemimpinan, bukan melanggengkan warisan politik.
386. Gibran naik terlalu cepat, terlalu mudah, dan terlalu terproteksi.
387. Proses ini merusak kepercayaan publik terhadap sistem politik.
388. Demokrasi berubah menjadi pertunjukan dinasti jika kita diam.
389. Pemakzulan bukan hanya soal hukum, tapi soal menyelamatkan republik.
390. Gibran harus dimakzulkan karena negara ini bukan milik Presiden Jokowi.
390. Kekuasaan tanpa legitimasi publik adalah bentuk lain dari kudeta.
391. Kudeta yang terjadi secara halus melalui mekanisme hukum tetaplah kudeta.
392. Gibran adalah hasil dari kudeta hukum dan moral publik.
393. Maka harus dihentikan agar tidak menjadi preseden berbahaya.
394. Jika tidak dihentikan sekarang, generasi berikutnya akan terbiasa dengan warisan politik.
395. Republik bisa runtuh bukan karena serangan luar, tapi karena pengkhianatan dari dalam.
396. Gibran adalah cerminan pengkhianatan sistem oleh orang yang berada dalam sistem.
397. Ini bukan kebetulan, tapi strategi yang disusun.
398. Maka jawabannya bukan diam, tapi bertindak.
400. Dan tindakan itu adalah: Makzulkan Gibran. Sekarang.
Oleh: Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M., Advokat & Konsultan Hukum, Pengamat Sosial Politik, Pelaku UKM dan Pegiat Pendidikan.