Tidak akan lahir Gibran sebagai Wakil Presiden tanpa skenario besar yang dijalankan oleh ayahnya sendiri, Presiden Joko Widodo. Di balik senyum Jokowi yang merakyat, tersembunyi luka dalam bagi demokrasi: pengkhianatan terhadap konstitusi, etika, dan cita-cita reformasi. Maka, memakzulkan Gibran bukan hanya soal anaknya — tapi soal dosa politik bapaknya yang membusukkan sistem. Inilah 100 alasan selanjutnya.
501–520: Jokowi Melanggar Janji Reformasi
501. Jokowi berjanji menjaga demokrasi, tapi justru menyabotasenya demi anaknya.
502. Ia adalah presiden hasil reformasi, tapi berperilaku seperti penguasa Orde Baru.
503. Jokowi lahir dari semangat rakyat biasa, tapi berakhir sebagai penjaga dinasti.
504. Ia tidak menegakkan demokrasi, justru menundukkannya di bawah ambisi keluarga.
505. Konstitusi direkayasa, bukan untuk memperkuat rakyat — tapi untuk mempercepat karier anaknya.
506. Jokowi mengabaikan batas moral kekuasaan.
507. Ia menjadikan reformasi sebagai slogan kosong tanpa isi.
508. Ia membiarkan (bahkan mendesain) pelanggaran etika di MK.
509. Jokowi tahu putusan MK cacat, tapi tak bersikap apa-apa.
510. Diamnya adalah bentuk setuju — dan kesepakatan itu adalah dosa konstitusional.
511. Ia pernah mengaku “tidak cawe-cawe”, tapi kenyataan berkata sebaliknya.
512. Jokowi cawe-cawe dari awal hingga akhir: dari MK, KPU, koalisi, hingga perintah lapangan.
513. Ia tidak lagi presiden untuk semua rakyat — ia adalah presiden untuk satu keluarga.
514. Ia menyusun narasi besar tentang “regenerasi”, padahal ini rekayasa kekuasaan.
515. Jika reformasi menolak KKN, Jokowi malah membangunnya kembali.
516. Ia membungkus dinasti dengan baju “anak muda pemimpin masa depan”.
517. Ia mempermainkan moralitas publik demi kenyamanan politik pribadi.
518. Kita tidak bisa membiarkan presiden melukai demokrasi dan tak ditagih jawabannya.
519. Karena itu, makzulkan Gibran — agar Jokowi tahu bahwa rakyat tidak lupa.
520. Dan agar reformasi tak berhenti sebagai mimpi yang dikhianati.
521–540: Jokowi Menciptakan Dinasti Lewat Jalur Negara
521. Jokowi mengorganisir pencapresan anaknya melalui instrumen kekuasaan.
522. Dari MK, KPU, hingga kementerian, semua diarahkan untuk membuka jalan Gibran.
523. Jokowi tidak netral, bahkan bertindak aktif dalam menentukan cawapres pasangan Prabowo.
524. Ia menciptakan sistem yang menjadikan anaknya kandidat “pasti lolos”.
525. Pemilu bukan lagi ajang pertarungan gagasan, tapi penobatan keluarga.
526. Jokowi membungkam suara kritis dari dalam pemerintahannya sendiri.
527. Menteri yang mengkritik didepak, yang patuh dipertahankan.
528. Demokrasi tak hidup dalam lingkungan yang takut pada presiden.
529. Dinasti ini bukan kebetulan — tapi desain yang dirancang rapi.
530. Dan Gibran adalah hasil utamanya.
531. Tak ada yang berani berbeda pendapat karena Jokowi mengunci akses kekuasaan.
532. Koalisi dibentuk bukan berdasarkan visi, tapi berdasarkan siapa yang siap mengikuti garis keluarga.
533. Penetapan Gibran sebagai cawapres bahkan terjadi di hari terakhir, setelah semua sudah dikondisikan.
534. Ini bukan regenerasi — ini perintah politik.
535. Jokowi menanamkan paham bahwa kekuasaan bisa diturunkan, bukan diperebutkan secara adil.
536. Dinasti tak akan tumbuh tanpa tangan ayah yang membajak sistem.
537. Gibran tidak bisa lepas dari tanggung jawab itu.
538. Ia adalah pewaris sistem, maka ia harus turut bertanggung jawab atas rusaknya sistem.
539. Negara harus bebas dari jalur dinasti agar demokrasi tumbuh sehat.
540. Dan caranya: memakzulkan hasil utama dari dinasti itu — Gibran.
541–560: Jokowi Mengaburkan Fungsi Lembaga Negara
541. Di era Jokowi, Mahkamah Konstitusi kehilangan marwahnya.
542. Anwar Usman sebagai paman Gibran memutus perkara yang membuka jalan bagi keponakannya.
543. Presiden tidak mengecam, tidak bersikap — malah diam.
544. KPU dinyatakan melanggar etik, tapi tetap dijadikan juru sah pendaftaran Gibran.
545. Presiden tidak pernah memanggil atau memperingatkan mereka.
546. Bawaslu pasif — dan Jokowi diam.
547. Semua ini menunjukkan pembiaran sistematis terhadap pelanggaran hukum.
548. Negara dibiarkan berjalan di luar rel — asal demi kemenangan anaknya.
549. Di tangan Jokowi, lembaga negara menjadi pelayan keluarga.
550. Gibran adalah penerima manfaat dari pelumpuhan lembaga-lembaga itu.
550. Dalam situasi seperti ini, tak cukup hanya menyalahkan institusi.
551. Harus ada koreksi di level simbolik dan politik: cabut hasilnya.
552. Legitimasi wapres yang diperoleh dari proses yang dirusak presiden, tidak sah.
553. Jokowi mungkin tak bisa dituntut sebagai presiden yang akan berakhir masa jabatannya.
554. Tapi Gibran sebagai hasil warisan kuasa, bisa dan harus dimakzulkan.
555. Karena kalau tidak, maka perusakan institusi akan menjadi tradisi.
556. Rakyat kehilangan kepercayaan karena negara dikendalikan untuk warisan politik.
557. Jokowi menciptakan kultur politik keluarga yang korosif.
558. Maka jawabannya bukan hanya kritik — tapi tindakan tegas.
560. Makzulkan Gibran untuk memulihkan kehormatan lembaga-lembaga negara.
561–580: Jokowi Melegitimasi Praktek Otoritarianisme Baru
561. Jokowi menggunakan simbol demokrasi untuk menjalankan agenda otoriter.
562. Ia menciptakan demokrasi prosedural yang hampa makna.
563. Pemilu digelar, tapi hasilnya sudah diarahkan.
564. Debat dibuka, tapi tanpa ruang kritik dan perbedaan pandangan.
565. Aparat dikerahkan untuk meredam suara-suara penentang.
566. Kampus dibungkam, mahasiswa dikriminalisasi.
567. Jokowi menjadikan stabilitas sebagai kedok untuk mematikan oposisi.
568. Semua ini mengarah pada otoritarianisme model baru — melalui legitimasi elektoral palsu.
569. Gibran, sebagai simbol, adalah wakil dari hasil otoritarianisme terselubung itu.
570. Maka ia harus diturunkan sebagai bagian dari perlawanan terhadap tirani baru.
581–600: Karena Masa Depan Demokrasi Tidak Bisa Dipertaruhkan
581. Jika Gibran bertahan, maka praktik pewarisan kekuasaan akan terus direplikasi.
582. Presiden berikutnya akan merasa sah menyiapkan anak, menantu, atau keponakan.
583. Demokrasi akan menjadi proyek keluarga — bukan bangsa.
584. Rakyat akan makin apatis karena merasa pemilu hanya sandiwara.
585. Anak muda akan belajar bahwa kekuasaan bisa diwariskan, bukan diperjuangkan.
586. Sistem meritokrasi hancur, digantikan koneksi darah.
587. Dan semua ini dimulai dari satu dosa utama: persekongkolan presiden untuk anaknya.
588. Gibran adalah simbol paling nyata dari kehancuran moral kekuasaan.
589. Maka ia harus dihentikan bukan karena pribadi, tapi karena makna yang dibawanya.
590. Kita tidak bisa membiarkan ini menjadi cerita biasa dalam sejarah.
591. Demokrasi adalah sistem yang harus terus-menerus dikoreksi.
592. Dan koreksi terbesar saat ini adalah mencabut legitimasi hasil pelanggaran.
593. Gibran duduk di kursi hasil sistem rusak.
594. Jika kita tidak bertindak, maka kita adalah bagian dari pembiaran itu.
595. Republik ini milik semua, bukan milik satu keluarga.
596. Pemilu tidak boleh jadi upacara kosong yang hasilnya sudah ditentukan oleh istana.
597. Kita tidak bisa membiarkan masa depan ditentukan oleh rekayasa masa lalu.
598. Pemakzulan bukan sekadar tindakan hukum — tapi tindakan sejarah.
599. Agar demokrasi Indonesia tidak musnah perlahan.
600. Maka, demi membalas dosa politik Jokowi, Gibran harus dimakzulkan.
Oleh: Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M., Advokat & Konsultan Hukum, Pengamat Sosial Politik, Pelaku UKM dan Pegiat Pendidikan.
Beranda Klinik Hukum Bagian 06 Dosa Politik Jokowi Terhadap Demokrasi (Alasan 501–600 dari Seribu Alasan...