Beranda Sosbud Bangsa, Negara, dan Indonesia

Bangsa, Negara, dan Indonesia

361

Oleh Roch Basoeki Mangoenpoerojo

Agustus ke-63 telah tiba. Namun, apakah pintu gerbang kemerdekaan itu masih ”di depan”? Tampaknya begitu. Kita belum mampu memastikan kapan menyebut bangsa, kapan negara, bahkan masih menganggap seolah Indonesia adalah kelanjutan Majapahit.

Spanduk menyebut kata senyawa ”bangsa dan negara” seolah sudah tak berjarak. Padahal, berbeda sekali, negara identik pemerintah yang menguasai rakyat. Sedangkan bangsa hanya muncul pada hari-hari bersejarah. Latah seperti ini sudah 63 tahun berjalan, tanpa pernah disadari.

Bukan Majapahit

Sumpah Palapa Majapahit tidak pernah menyentuh Jawa Barat yang Indonesia. Itu fakta. Secara konsep, Indonesia bukan negara berkuasa besar di kawasan Pasifik yang luas, seperti Majapahit, atau Sriwijaya, Pajajaran, dan lain-lain. Konsep tentang ”kekuasaan bernegara” tak lepas dari bagaimana sesuatu negara menjalankan kekuasaan.

Sedangkan Indonesia, sebenarnya, hanya sebuah komunitas yang terbentuk oleh suatu situasi. Bermula dari anak pribumi Hindia Belanda yang bersekolah di Belanda mendirikan ”Perhimpunan Indonesia” di Rotterdam, 1922. Lalu para Pemoeda Indonesia menyelenggarakan Kongres Pemoeda I, 1925. Lalu, tahun 1926 lahir lagu Indonesia Raya yang tidak berbicara Negara.

Kongres Pemoeda II 1928 melahirkan ”bangsa Indonesia” melalui Sumpah Pemuda. Ini bertentangan makna dan jiwanya dengan Sumpah Palapa yang menonjolkan kekuasaan. Hingga 1942, komunitas/bangsa itu masih terasa eksistensinya karena dibutuhkan Jepang, lalu mendapat berbagai peluang pada tahun 1945 untuk membuat negara.

Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, komunitas itu memiliki wadah lebih nyata, yaitu Negara. Meski demikian, tidak serta-merta ”Indonesia” menjadi milik negara. Justru sebaliknya, Negara adalah milik bangsa Indonesia (Baca teks Proklamasi ”atas nama bangsa”).

Kepentingan bangsa

Komunitas itu pada tahun 1928 diberi predikat ”bangsa” yang bertanah air dan berbahasa satu, Indonesia. Secara ilmiah, para pemimpin saat itu bereferensi kepada Ernest Renan. Bangsa adalah komunitas yang memiliki keinginan untuk bersatu. Sedangkan Otto von Bauer menyebut adanya kesatuan perangai karena nasib.

Dalam Sidang BPUPKI, kedua referensi itu dianggap kuno oleh Bung Hatta dan Mohamad Yamin yang diiyakan hadirin. Muncullah pendapat Soekarno dalam pidato 1 Juni pada akhir sidang. Untuk kita, perlu ditambah katanya, yaitu adanya satu kesatuan geopolitik. Maka, yang disebut bangsa Indonesia adalah komunitas yang bernasib sama dan menghendaki kesatuan dalam geopolitik Sabang sampai Merauke.

Mereka tentu memiliki ”kepentingan” demi kepastian eksistensi komunitas yang terbangun. Perangkat penunjuk kepentingan bangsa, salah satunya Trisakti, yaitu mandiri dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam budaya. Demi terjaga dan terwujudnya ketiga kepentingan bangsa itu, perlu wadah yang dalam tata hukum disebut negara. Preambul menyebutnya, ”Negara Kebangsaan”.

Dengan ukuran negara mapan, Syahrir mengatakan, ”Kita belum siap merdeka” (sampai hari ini?). Kata Bung Karno, ”Kita siapkan rakyat untuk merdeka dengan cara kita sendiri, bukan cara Belanda atau siapa pun.” Yang dimaksud cara sendiri adalah menegakkan ketiga kepentingan bangsa melalui hukum Indonesia (yang kini tanpa pengendali).

Semua merasa layak

Tampaknya saat Indonesia dianggap sebagai nama negara kelanjutan kejayaan kerajaan masa lalu, semua orang layak menjadi Hayam Wuruk dan Gajahmada. Jongko Joyoboyo pun ampuh sebagai referensi. Hal ini tampak di Senayan dan semua lembaga yang terbentuk belakangan sampai calon presiden. Semua boleh bilang aku untuk menyirnakan kata kita.

Ternyata benar, kita masih di depan pintu gerbang kemerdekaan. Kita masih menggunakan hukum orang lain. Kita mundur, menjauh dari pintu gerbang yang telah dikaburkan, anak cucu tak boleh tahu ”negara ini mau ke mana?”. Maka, pantaskah kita mengucap Dirgahayu (Komunitas) Indonesia?

Roch Basoeki Mangoenpoerojo Anggota Presidium Barisan Nasional

sumber : kompas