Sistem pemilu presiden di AS bakal menimbulkan kisruh, rusuh, apabila diterapkan di Indonesia. Mengapa? Soalnya, hasil pemilu presiden di AS sangat memungkinkan seseorang yang meraih suara terbanyak alias popular votes tidak menjadi presiden terpilih karena kalah dalam electoral votes.
Simak hasil pemilu presiden tahun 2000 dengan selisih suara yang sangat tipis antara George W Bush (Republik) dan Al Gore (Demokrat) di Florida. Waktu itu, Bush meraih 271 electoral votes dari 30 negara bagian, sedangkan Gore memperoleh 266 electoral votes dari 20 negara bagian plus Washington DC.
Padahal, Bush memperoleh 50.456.002 suara popular (47,9 persen). Gore lebih banyak dengan meraih 50.999.897 suara popular (48,4 persen). Tetapi, Bush ditetapkan sebagai presiden karena unggul dalam electoral votes. Konstitusi mengatur demikian.
Hal serupa sudah pernah terjadi beberapa kali di AS. Banyak yang kecewa karena popular votes jelas mewakili suara masyarakat banyak pada seorang kandidat. Tetapi, sistem menegaskan bahwa suara dari electoral college yang menentukan. Kini ada upaya untuk mengubah sistem yang dinilai tidak cocok lagi itu.
Di Indonesia, jelas sistem ini bakal kisruh karena masyarakat atau pemilih di sini masih harus belajar untuk menghadapi kekecewaan. Belajar untuk menerima kekalahan karena memang sistem atau konstitusinya sudah mengatur demikian. Padahal, sistem atau konstitusi yang mengatur sistem tadi sebelumnya sudah dibahas dan disepakati bersama.
Makanya sudah lumrah apabila pemilihan pada level apa pun di negeri ini sering diwarnai dengan benturan fisik. Lebih disayangkan lagi harta benda, termasuk kantor atau fasilitas umum yang sebenarnya milik pemerintah, dibangun dengan uang dari pajak ikut dirusak sebagai pelampiasan kekecewaan. Tidak bisa menerima kekalahan.
Padahal, seluruh sistem yang ada di sini berdasarkan kesepakatan bersama, setelah lebih dulu dibahas juga secara bersama. Anehnya lagi, para kandidat yang bertarung dalam pemilu di Indonesia juga sudah memahami semua aturan yang ada. Bahkan, mereka juga ikut membuatnya.
Akan tetapi, dalam banyak kasus, justru para kandidat tokoh ini yang tidak bisa belajar menerima kekalahan. Massa dibujuk untuk melawan. Berbagai alasan seperti kecurangan dan suap dikemukakan. Alasan tanpa bukti. Hanya semata karena tidak besar hati. Tidak siap menerima kekalahan. Tidak pernah belajar untuk kecewa.
Jadi, sebenarnya sistem pemilihan presiden AS ini bukan tidak cocok dengan iklim di Indonesia, tetapi banyak dari mereka yang bertaruh dalam pemilihan level apa pun di negeri ini yang tidak siap menerima kekalahan. Tidak pernah belajar untuk kecewa. Selama kondisi itu tidak pernah diperbaiki, maka sistem apa pun termasuk sistem pemilihan yang sekarang ini diterapkan tidak pernah memadai.
Belajar menerima kekalahan, belajar untuk kecewa juga berlaku umum dalam level kehidupan apa pun. Dan menjadi tugas semua orang, apalagi para tokoh yang berpengaruh di negeri ini, untuk sejak kini mengajarkan bahwa hidup tidak pernah selalu nyaman, menang. Kecewa juga bagian yang harus diterima. Besar hati, lapang dada. (ppg)
sumber : kompas