Oleh Bernard Simamora

Indonesia selalu saja diguncang bencana. Mulai dari bencana banjir, kecelakaan Kereta Api, tanah longsor, pesawat terbang jatuh, Tempat Pembuangan Akhir Sampah longsor, “bencana” kemacetan lalu lintas, “bencana” korupsi karena “tidak cukup apik”, dan lain sebagainya. Sejumlah bencana tersebut merupakan bencana alam seperti tsunami, gunung berapa meletus, dan sebagainya.

Tetapi sejumlah bencana merupakan “buatan” manusia baik karena kesengajaan, ketidaksengajaan, kurang calculated, atau kebodohan, yang sering dibungkus dengan kata-kata “human error”. Bencana akibat kesengajaan pihak tertentu bisa kita sebut sebagai sebuah kejahatan dari pihak itu. Sedang bentuk lain dari penyebab bencana “buatan” manusia selain kejahatan, berkaitan dengan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia), penguasaan IPTEK (Ilmu dan Teknologi).

Bisa disimpulkan bahwa intensitas dan frekuensi bencana “buatan” manusia yang kita alami berbanding terbalik dengan kualitas SDM. Semakin tinggi kualitas SDM, intensitas dan frekuensi “bencana” buatan manusia akan semakin rendah.

Penguasaan IPTEK tentu saja hanya mampu diserap dan diterap oleh SDM berkualitas dan multi cerdas. Multi cerdas bukan lagi sebatas nilai rapor atau IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) yang tinggi, yang hanya mampu menggambarkan Intelligence Quetiont (IQ), tetapi meliputi Emotional Quetiont (EQ), dan juga Spritual Quetiont (SQ). EQ berkaitan dengan penggunaan emosi, semangat, pressure situasi tertentu menjadi energi positif, sedang SQ berkaitan dengan hati nurani, perenungan, introspeksi, dan bersama-sama EQ memberdayakan kemampuan berkarya alam bawah sadar. Singkatnya, SDM berkualitas pada era kini adalah yang memiliki kecerdasan berganda. Kecerdasan berganda yang akan menggiring seseorang mampu menjadi problem solver secara mandiri.

Transformasi kecerdasan (dalam kerangka peningkatan kualitas SDM), serta transformasi IPTEK kepada generasi penerus, secara dominan masih diperankan oleh guru. Guru menjadi kata kunci dalam setiap perkembangan anak bangsa. Sekalipun keluarga adalah lembaga pedidikan pertama dan utama pada awalnya dalam perkembangan kecerdasan anak, tetapi penyempurnaannya (atau penghancurannya) tetap di tangan guru (satu paket dengan institusi pendidikan itu sendiri).

Jika demikian, betapa besarnya peran guru di dalam kehidupan pribadi warga negara, kehidupan keluarga, kehidupan bermasyarakat; berbangsa dan bernegara. Mengapa kesadaran mengenai peran guru masih belum mendominasi strategi pembangunan kita, anggaran belanja kita, realisasi 20% anggaran pendidikan kita?

Menggapa juga, ditengah kekurangan tenaga guru di seantero Nusantara, guru yang ada malah tidak bisa disejahterakan. Bukan saja guru yang PNS (Pegawai Negeri Sipil), tetapi yang paling parah adalah guru bantu/honorer yang berjumlah ratusan ribu itu, mayoritas mendapat gaji puluhan ribu per bulannya.

Dengan kondisi “guru kita” yang demikian, bagaimana bisa diharapkan anak didik yang cerdas. Apalagi multi cerdas?! Ketika kemajuan teknologi berlari begitu kencang, persoalan kita masih kesejahteraan guru. Ketika globasisasi sudah mengepung, persoalan kita masih Ujian Nasional. Akhirnya teknologi dan globalisasi hanya menyisakan kepada kita kata-kata “human error” bertubi-tubi di media massa atas kecelakaan-kecelakaan yang terjadi yang merenggut nyawa para anak negeri. Oleh karena dari dulu hingga kini, guru negeri tetap jadi “Omar Bakri” sejati.

Jika bencana “buatan” manusia bertubi-tubi menghadang masyarakat kita, mestinya kita melirik kata-kata : “human error”, hanya sebatas pemanis bibir yang arti sebenarnya adalah “Ketololan SDM”. Ketololan SDM berarti kegagalan pendidikan dengan segala sistem dan sub-sistemnya. Kegagalan utama kita dimulai dari ketika kita memandang guru dengan sebelah mata.

Dimuat di Surat Kabar Pelita Indonesia, 29 Juni 2005

Bernard Simamora, pemerhati masalah sosial dan pendidikan tinggal di Bandung