Beranda Politik Biaya “Piknik” Studi Banding DPR 140M Harus Dihentikan

Biaya “Piknik” Studi Banding DPR 140M Harus Dihentikan

231

Oleh Bernad Simamora

Sesuai data DIPA Tahun 2012 sebelum APBN Perubahan, anggaran kunjungan kerja (kunker) anggota DPR tahun 2012 sebesar Rp140.122.157.000. Dibandingkan dengan tahun 2011 sebesar Rp 137.450.310.000, naik sebesar Rp 2.671.847.000. Dana sebesar itu dianggap masyarakat sebagai biaya ‘study tour ‘ yang dilegalkan atas nama “Studi Banding”.

Alokasi terbesar dari anggaran Tahun 2012 itu adalah untuk Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) sebesar Rp 29,8 miliar. Sedangkan alokasi kedua anggaran terbesar untuk Pimpinan DPR yaitu Rp 26,8 miliar. Komisi I menempati ranking tiga dengan alokasi anggaran Rp 9 miliar. Baleg menempati urutan empat dengan alokasi anggaran sebesar Rp 7,7 miliar. Alokasika lainnyaya berturut-turut untuk Komisi VIII (Rp 7,6 miliar), Komisi V (Rp 5,6 miliar), Komisi II dan X (Rp 5,5 miliar), Komisi IX (Rp 5,3 miliar), dan seterusnya Komisi VII, IV, XI, III, VI, BURT, Banggar BK dan terakhir BAKN. Selain itu, dalam anggaran tersebut juga ada biaya asuransi perjalanan sebesar Rp 674 juta dan biasa visa sebesar Rp 1,4 miliar.

Polemik soal kunjungan kerja (kunker) ke luar negeri alias studi banding terus bergulir. Rakyat makin muak dengan perilaku dan tingkah anggota dewan yang suka jalan-jalan ke luar negeri. Apalagi studi banding terkait RUU Desa ke Brazil dan RUU Palang Merah Indonesia (PMI) ke Denmark dan Turki dinilai tidak relevan karena kunjungan ke dua negara Eropa yang diperkirakan menghabiskan anggaran Rp 1,3 miliar hanya diperuntukkan mencari logo terbaik bagi Palang Merah Indonesia (PMI). Hal yang memalukan studi banding ke Denmark, ternyata juga ada wisata airnya. Anggota DPR tepergok sedang bersantai menyusuri sungai di Copenhagen, Denmark, dengan perahu wisata di kawasan Nyhavn, Copenhagen. Lembaga DPR sudah “tersudut” ketahuan publik bahwa kunjungan kerja mereka bukan lagi studi banding tapi sudah menjadi studi tur.

Apakah tidak ada cara lain menggantikan studi banding yang pro rakyat miskin? Ada logika dan akal sehat yang bisa kita dijalankan terkait menggantikan studi banding. Ada sejumlah pakar dan peneliti di kampus-kampus yang bisa diajak konsultasi. Bahkan hasil-hasil penelitian di dalam negeri saja belum tentu dikaji anggota DPR, tetapi harus keluar negeri. Jika kunjungan kerja itu dilakukan untuk membahas sebuah produk undang-undang, kunjungan itu tidak terlalu diperlukan. Soalnya, semua hal itu bisa dilakukan lewat Internet.

Ibarat ’’anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu’’, DPR sepertinya sudah kebal dengan kritik mengenai pemborosan anggaran melalui studi banding dan selalu saja ada alasan untuk mengulang kegiatan tersebut. Anggapan bahwa studi banding hanya pemborosan anggaran bukan hanya persepsi publik semata. Mantan anggota Komisi I DPR dari Golkar Yuddy Chrisnandi mengaku, kunjungan kerja DPR ke luar negeri sebagian besar hanya untuk berwisata.

Kunjungan kerja itu diakui hanya 20 persen untuk kegiatan kenegaraan, sedangkan 80 persen alokasi waktu digunakan untuk piknik. Sebab, waktu efektif per hari untuk acara kenegaraan hanya sekitar dua jam saja, selebihnya waktu lebih banyak digunakan untuk berjalan-jalan atau berbelanja. Bukan sebuah rahasia lagi apabila para staf Kedutaan Besar Republik Indonesia di sebuah negara harus dibuat repot mengawal kunjungan wisata berkedok kenegaraan tersebut.

Penggunaan anggaran negara dalam jumlah besar tanpa kemanfaatan yang jelas juga sangat menyentuh rasa keadilan. Namun, kenyataan bahwa kritik atas persoalan ini selalu mentah, sedikit banyak mencerminkan posisi rakyat yang lemah ketika menuntut pertanggungjawaban anggaran. Celah untuk mental korup ini harus segera ditutup dengan penyempurnaan mekanisme proses legislasi yang memenuhi prinsip-prinsip akuntabilitas dan rasa keadilan

Lembaga DPR sepertinya telah mati rasa terhadap kritik keras publik. Hingga saat ini, DPR dinilai tak merespons aspirasi publik yang sebagian besar mendesak mereka mempublikasikan hasil kunjungan kerja ke luar negeri yang dilakukan selama ini. Studi Banding tidak lebih dari kedok untuk menutupi nafsu pelesiran. Pasalnya, tidak ada korelasi positif antara kinerja legislasi dan hasil studi banding. Padahal, studi ke luar negeri dilakukan dalam rangka penyelesaian pembahasan rancangan undang-undang. Contohnya, pada tahun 2010 DPR menargetkan pengesahan sebanyak 70 RUU, kenyataannya hanya tercapai 7 RUU yang mampu disahkan menjadi UU pada tahun tersebut.

Memang bila dibandingkan anggaran studi banding DPR dengan eksekutif, belum seberapa nilainya. Untuk tahun 2012 saja, anggaran perjalanan pemerintah ke luar negeri Rp 23 Triliun. Fenomena yang kunjungan kerja juga terjadi di lingkungan eksekutif yang ditandai dengan makin besarnya alokasi perjalanan dinas ke luar negeri, pun dalam negeri di kalangan pejabat pemerintahan mulai di tingkat pusat hingga kabupaten/kota. Selain pelesir, juga mendapat uang tambahan yang jadi penghasilan. Uang sebesar anggaran studi banding DPR sangat berarti bagi rakyat, dan tidak perlu balapan dengan pemerintah mengahabiskan uang besar negara untuk perjalanan ke luar negeri.

DPR akan kehilangan kepercayaan rakyat bila bersikeras untuk tidak melakukan moratorium kunjungan kerja anggota DPR ke luar negeri. Masyarakat menuntut adanya perbaikan atas kinerja DPR termasuk untuk tidak lagi plesiran ke luar negeri untuk hal-hal yang tidak substansi menyangkut kepentingan rakyat. Moratorium adalah langkah terbaik sat ini, dan anggota DPR juga harus memiliki tenggang rasa kepada rakyat.

Mana Hasil Studi Banding DPR ke Luar Negeri?

Publik membutuhkan penjelasan apa pentingnya dan apa hasil dari Studi banding yang dilakukan anggota DPR ke luar negeri. Bentuknya bisa berupa Laporan Pertanggungjawaban (LPJ), publikasi di media massa atau online, risalah, atau apa saja yang dapat diakses oleh rakyat yang diwakilinya. Selama ini tidak ada pertanggungjawaban resmi dari setiap anggota DPR maupun komisi terkait studi bandingnya, baik kepada institusi DPR, maupun kepada publik. DPR selama ini selalu beralasan kunjungan mereka berguna. Kritik publik pun tak digubris.

Moratorium

Untuk itu, ia menyarankan agar agenda studi banding dihentikan terlebih dahulu, sampai ada proses dan mekanisme transparasi yang jelas. Moratorium studi banding DPR ke luar negeri patut segera dilakukan. Ketua DPR harus tegas dan memerintahkan Sekjen untuk menghentikan studi banding itu. Sejak dulu hingga sekarang tampaknya tak ada niat serius DPR menghentikan studi banding, yang banyak menghabiskan anggaran negara. Hal tersebut harus dilakukan untuk mengevaluasi tentang urgensi studi banding tersebut, tidak hanya sekadar menentukan hasil-hasil yang tepat dalam studi banding. Selain itu, pada sidang paripurna, pembahasan mekanisme studi banding pun tidak harus ditutupi-tutupi.

Saran pengamat kebijakan publik agar DPR mengadakan mata anggaran khusus untuk jalan-jalan para anggota dewan, tak lebih sekeder sindiran belaka. Meskipun hal dianggap lebih baik ketimbang mencari-cari alasan untuk plesiran ke luar negeri yang dikemas dengan kunjungan kerja, namun perasaan rakyat miskin yang tinggal digubuk, makan sekali sehari belum tentu, anak belum tentu bisa sekolah, harus dijaga.

Anggota DPR bertobat dan kembali ke jalan benar untuk memperjuangkan nasib rakyat. Mereka jangan bohongi diri sendiri, mendingan berhemat uangnya untuk rakyat banyak. Kalau hanya untuk wisata, belanja, barang-barang di luar negeri lebih mahal dan barang-barang Indonesia lebih bagus. ()