Rencana Komisi Pemilihan Umum atau KPU melibatkan auditor di luar kantor akuntan publik dalam mengaudit sekitar 18.000 dana kampanye berpotensi melanggar undang-undang. Wacana sentralisasi laporan audit dana kampanye supaya dapat dilakukan akuntan publik yang jumlahnya terbatas juga memiliki banyak kendala teknis dan hukum.
Sekretaris Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) Tarkosunaryo, pekan lalu di Jakarta, mengatakan, kedua kendala itu harus diatasi KPU dengan mencari payung hukum baru bagi proses audit dana kampanye. Jika KPU tidak melakukannya, dikhawatirkan akan muncul kesenjangan antara harapan publik dan hasil audit dana kampanye.
Untuk mengatasi keterbatasan akuntan publik di Indonesia, KPU berencana melibatkan auditor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Padahal, Pasal 132 Ayat 7 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menegaskan, yang berwenang mengaudit dana kampanye peserta pemilu adalah akuntan publik, bukan BPKP.
Untuk memberdayakan akuntan yang jumlahnya terbatas, KPU mewacanakan mengaudit dana kampanye secara tersentralisasi, atau dikumpulkan oleh pimpinan pusat partai. Padahal, Pasal 134 UU Nomor 10 Tahun 2008 secara jelas menyebutkan bahwa audit dana kampanye peserta pemilu dilakukan secara berjenjang dari kabupaten/kota ke pusat.
Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Abdullah Dahlan, mengingatkan, jika KPU tak mengajukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, dikhawatirkan proses audit dana kampanye pemilu hanya menjadi formalitas belaka. (MZW)
Sumber : kompas