Partai Keadilan Sejahtera, yang pada awalnya lahir dengan nama Partai Keadilan, pada Pemilu 2004 mampu memperlihatkan kuantitas dukungan yang luar biasa. Bahkan, di Provinsi DKI Jakarta yang menjadi wilayah yang cukup prestisius, PKS mampu menjadi partai yang unggul.

Sejak awal dideklarasikan, PKS sudah mencanangkan diri sebagai partai dakwah. Sebuah partai berbasis massa Islam yang hadir di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Kehadiran PKS berbeda dengan kehadiran partai lain. PKS hadir di masyarakat Indonesia lengkap dengan budaya dan gaya hidupnya. PKS hadir dengan musik nasyid yang khas, kebiasaan kampanye dengan melibatkan anak-anak dan istri, yang massanya lebih banyak menggunakan sepeda motor, dan sapaan ramah dengan idiom Islam yang sangat kental.

Tak heran, budaya, kebiasaan para kader PKS yang ditampilkan di masyarakat Indonesia memunculkan kesan PKS sebagai partai yang eksklusif. ”Dakwah itu selalu mengajak kebaikan dan tidak membatasi orang. PKS sebagai partai dakwah tidak memusuhi orang. Bahkan, kalaulah di dunia ini pelacur dianggap sebagai lapisan masyarakat terbawah, maka pelacur sekalipun wajib didakwahi, bukan dimusuhi,” itulah kata-kata Sekjen Partai Keadilan (PK) M Anis Matta, yang saat ini juga menjadi Sekjen PKS, pada saat awal PK mulai bersentuhan dengan pers tahun 1999.

Tampaknya, kata-kata untuk mengajak semua golongan itu bukan basa-basi. Sejumlah anggota legislatif PKS hasil Pemilu 2004 ada yang berasal dari non-Muslim. Sejak Pemilu 2004, semakin disadari bahwa PKS harus membuka diri kalau ingin menjadi partai besar. Inilah yang menjadi dilema dan tarikan di internal PKS. Di satu sisi ada keinginan menjadi partai yang besar dengan membuka diri, di sisi lain tidak ingin kehilangan identitas keislamannya.

Dalam rakernas di Bali pada awal tahun ini, PKS mengukuhkan diri sebagai partai terbuka. Sebuah partai yang ingin menjadi rumah besar bagi semua golongan dan latar belakang agama, dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Itu sebabnya pula PKS mulai mengelola berbagai isu kebangsaan dan berusaha menghilangkan isu dikotomi antara Islam dan nasionalis.

Tidak heran jargon politik PKS pada Pemilu 2004, yakni ”Bersih dan Peduli”, kembali ditegaskan lagi untuk Pemilu 2009 dengan ”Bersih, Peduli, dan Profesional”. Inilah jawaban PKS atas kegamangannya terhadap klaim partai dakwah.

PKS tak lagi sekadar bermusik nasyid, musik kelompok Ungu, the Rock, bahkan Slank pun sudah bisa diterima. Tidak lagi sekadar berbaju koko, tetapi sudah rapi berjas dan berdasi. Toh, kelompok di luar PKS tetap ada yang curiga PKS sekadar mengejar massa, bahkan tidak sedikit kader PKS yang menanyakan, apakah ini memang orientasi PKS. (MAM)

Sumber : Kompas