Setelah konstitusi dikhianati lewat Mahkamah Konstitusi, kita harus menyoroti akar masalahnya: ambisi untuk membangun dinasti kekuasaan. Ketika negara berubah jadi perusahaan keluarga, maka demokrasi sedang sekarat. Berikut 100 alasan berikutnya kenapa Gibran harus dimakzulkan.
101–120: Presiden Jokowi dan Hasrat Mewariskan Kekuasaan
101. Jokowi adalah presiden pertama yang secara aktif menyusun jalan politik bagi anaknya.
102. Sebagai kepala negara, Jokowi seharusnya netral, bukan kingmaker.
103. Ia memanfaatkan otoritasnya untuk membuka jalan bagi Gibran melalui Mahkamah Konstitusi.
104. Ketika ayah mempersiapkan jalan kekuasaan untuk anaknya, itu bukan demokrasi — itu monarki terselubung.
105. Proyek pencapresan Gibran tak mungkin terjadi tanpa restu dan fasilitasi dari Jokowi.
106. Jokowi tidak hanya membiarkan, tetapi mendorong pelemahan konstitusi.
107. Ia adalah presiden yang paling aktif menciptakan keturunan politik.
108. Dari wali kota, gubernur, hingga wapres — semua ditapaki Gibran dalam 3 tahun.
109. Jalan karier ini bukan normal; ia dipercepat lewat jalur kekuasaan.
110. Maka ini bukan lagi regenerasi politik, ini politik pewarisan.
121–140: Dinasti dalam Sistem Demokrasi Adalah Anomali
111. Demokrasi sejati menjamin semua orang punya peluang yang sama.
112. Tapi ketika anak presiden mendadak jadi wapres, sistem sudah timpang.
113. Dinasti politik adalah bentuk penyelewengan hak partisipasi politik rakyat.
114. Ia membatasi ruang bagi tokoh-tokoh lain yang lebih kompeten.
115. Politik warisan adalah penanda kemunduran demokrasi.
116. Negara yang sehat tidak diwariskan, tapi dipilih rakyat dengan adil.
117. Dinasti politik menutup ruang meritokrasi.
118. Gibran tidak dikenal karena ide, visi, atau capaian; tapi karena status keluarga.
119. Ini menyingkirkan nilai keadilan dalam kompetisi politik.
120. Maka pemakzulan Gibran adalah upaya menghentikan sistem dinasti.
141–160: Dinasti Politik Melahirkan Kepatuhan Bukan Kepemimpinan
121. Anak presiden yang naik ke jabatan tinggi cenderung tunduk pada kekuasaan orang tuanya.
122. Ini menyebabkan ketergantungan politik pada sang ayah, bukan pada rakyat.
123. Dalam situasi krisis, Gibran akan lebih patuh pada istana daripada suara rakyat.
124. Dinasti menumbuhkan patronase, bukan pemimpin berdaulat.
125. Dalam politik dinasti, yang penting adalah loyalitas keluarga, bukan keberanian moral.
126. Gibran belum menunjukkan sikap independen dari bayang-bayang Jokowi.
127. Ia belum pernah mengkritik atau berseberangan dengan keputusan istana.
128. Maka sebagai wakil presiden, ia rawan menjadi perpanjangan tangan istana.
129. Ini bertentangan dengan prinsip checks and balances dalam sistem presidensial.
130. Wakil presiden yang tak independen adalah ancaman demokrasi.
161–180: Pencitraan, Bukan Kapasitas
131. Karier Gibran dirancang lewat media, bukan karya kebijakan.
132. Pencitraannya sebagai “milenial” lebih kuat daripada kualitas kepemimpinannya.
133. Selama menjabat Wali Kota Solo, Gibran tak menelurkan kebijakan strategis.
134. Ia hanya populer karena nama ayahnya.
135. Dinasti politik cenderung menciptakan pemimpin karbitan.
136. Ini menyebabkan jabatan publik jadi alat eksperimen politik keluarga.
137. Tidak ada seleksi ketat terhadap kapasitas Gibran sebagai pemimpin nasional.
138. Ia lolos karena sistem sudah dibajak demi dirinya.
139. Maka ia adalah simbol keberhasilan pencitraan, bukan pematangan politik.
140. Demokrasi tak bisa bergantung pada ilusi.
181–200: Gibran adalah Simbol Politik Warisan yang Harus Diakhiri
141. Ketika satu keluarga menguasai lembaga eksekutif dan memengaruhi legislatif, negara dalam bahaya.
142. Apalagi jika lembaga yudikatif pun bisa diarahkan untuk membela mereka.
143. Ini membuka jalan bagi kekuasaan absolut tanpa kontrol.
144. Rakyat hanya menjadi penonton dalam skenario pewarisan kekuasaan.
145. Setiap struktur demokrasi akan lumpuh jika semua dikendalikan oleh satu garis darah.
146. Indonesia pernah lepas dari Orde Baru yang sentralistik — jangan jatuh lagi.
147. Gibran bukan korban, ia adalah pelaku utama proyek dinasti ini.
148. Maka harus bertanggung jawab secara politik dan moral.
149. Mempertahankan Gibran berarti membenarkan politik warisan.
150. Makzulkan Gibran, demi menghentikan tirani keluarga.
151. Makzulkan Gibran, demi membuka jalan bagi demokrasi yang adil.
152. Makzulkan Gibran, karena rakyat tak butuh pewaris, tapi pemimpin.
153. Makzulkan Gibran, agar sejarah tahu kita tak tunduk pada trah.
154. Makzulkan Gibran, karena republik bukan kerajaan.
155. Makzulkan Gibran, karena kita bangsa merdeka.
156. Makzulkan Gibran, sebelum kekuasaan diwariskan pada generasi berikutnya.
157. Makzulkan Gibran, sebelum semua institusi jadi alat keluarga.
158. Makzulkan Gibran, agar anak-anak kita tetap punya pilihan.
159. Makzulkan Gibran, agar pemilu tak jadi panggung boneka.
160. Makzulkan Gibran, agar demokrasi tak mati sia-sia.
161. Makzulkan Gibran, karena hukum bukan warisan darah.
162. Makzulkan Gibran, demi menghormati pejuang reformasi.
163. Makzulkan Gibran, agar tidak ada anak presiden lain yang mencalonkan diri lewat akal-akalan hukum.
164. Makzulkan Gibran, agar MK tak jadi stempel dinasti.
165. Makzulkan Gibran, karena semua presiden setelah Jokowi berhak berdiri tanpa bayang-bayang keluarga.
166. Makzulkan Gibran, karena kita rakyat — dan kita berdaulat.
167. Makzulkan Gibran, agar tak ada lagi keponakan ketua MK yang bisa jadi wapres.
168. Makzulkan Gibran, agar politik kembali punya etika.
169. Makzulkan Gibran, karena akal sehat publik sudah cukup disakiti.
170. Makzulkan Gibran, karena kita tak ingin jadi pengkhianat konstitusi.
171. Makzulkan Gibran, karena ini bukan tentang kebencian, tapi penyelamatan.
172. Makzulkan Gibran, karena kita punya tanggung jawab sejarah.
173. Makzulkan Gibran, karena demokrasi tak boleh tunduk pada nama belakang.
174. Makzulkan Gibran, karena suara rakyat bukan milik keluarga presiden.
175. Makzulkan Gibran, agar bangsa ini bisa menatap masa depan tanpa rasa malu.
176. Makzulkan Gibran, agar pemilu 2029 tak jadi reinkarnasi pewarisan.
177. Makzulkan Gibran, agar rakyat tak jadi penonton dalam panggung politik keluarga.
178. Makzulkan Gibran, karena negara ini bukan milik satu keluarga.
179. Makzulkan Gibran, agar presiden berikutnya tak merasa boleh menurunkan anaknya juga.
180. Makzulkan Gibran, karena kita belum sejauh itu kehilangan akal sehat.
181–200: Politik Warisan Adalah Ancaman untuk Masa Depan
181. Dinasti politik membuka jalan bagi konsentrasi kekuasaan pada satu keluarga, bukan distribusi kekuasaan kepada rakyat.
182. Jika anak presiden bisa jadi wakil presiden lewat manipulasi hukum, maka demokrasi hanya jadi formalitas.
183. Politik warisan merusak kepercayaan publik terhadap keadilan pemilu.
184. Gibran bukan lahir dari proses politik yang setara, tapi dari relasi biologis dan privilese kekuasaan.
185. Jika kita membenarkan ini, maka negara akan berjalan berdasarkan silsilah, bukan kompetensi.
186. Kekuasaan yang diwariskan akan cenderung otoriter karena tak punya akar pada suara rakyat.
187. Ketika jabatan tinggi diisi lewat hubungan darah, maka sistem meritokrasi mati total.
188. Pemimpin yang tidak diuji melalui proses wajar tak akan punya legitimasi untuk menghadapi krisis nasional.
189. Gibran adalah contoh konkret bagaimana negara digunakan untuk melayani ambisi keluarga, bukan kepentingan publik.
190. Jika ini dibiarkan, maka demokrasi Indonesia akan mengalami regresi struktural.
191. Gibran bukan simbol harapan generasi muda, tapi simbol kemunduran politik republik.
192. Anak muda yang sadar politik tak boleh meniru jalan instan yang ditempuh Gibran.
193. Sistem yang membesarkan Gibran adalah sistem yang menyusutkan partisipasi rakyat.
194. Meninggalkan sistem ini artinya menyelamatkan masa depan demokrasi dari nepotisme kronik.
195. Mempertahankan Gibran berarti membiarkan politik Indonesia dikuasai oleh privilese.
196. Makzulkan Gibran berarti membuka ruang politik yang sehat dan adil untuk semua.
197. Kita tidak menolak Gibran karena usianya, tetapi karena jalur yang ia tempuh melanggar prinsip negara hukum.
198. Gibran adalah konsekuensi dari sebuah sistem yang membenarkan manipulasi sebagai strategi.
199. Maka pemakzulan adalah bentuk koreksi sistemik atas penyimpangan itu.
200. Demi masa depan republik, demi keadilan, demi akal sehat — Gibran harus dimakzulkan.
Oleh: Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M., Advokat & Konsultan Hukum, Pengamat Sosial Politik, Pelaku UKM dan Pegiat Pendidikan.