Didik Novi Rahmanto

Satuan Tugas Penindakan BNPT

Salah satu faktor yang mendorong orang-orang nekat bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) adalah kepercayaan terhadap konsep dunia yang adil (just world). Keyakinan ini, sebagaimana dijelaskan oleh Lerner M. J. dalam The Belief in a Just World (1980), merujuk pada kepercayaan bahwa dunia bekerja dengan cara yang konsisten dan adil dengan yang baik akan mendapat penghargaan dan yang jahat akan mendapat hukuman. Keadilan semacam ini dipercaya hanya bisa diwujudkan oleh ISIS, yang sedari awal mengaku sebagai khilafah yang akan mengembalikan kejayaan Islam. Ini berarti ISIS tak hanya menjanjikan surga, yang baru bisa digapai setelah mati, tapi juga kualitas hidup yang lebih baik di dunia ini.

Hal tersebut ditunjukkan dengan serangkaian propaganda ISIS yang menyebut mereka menyediakan lowongan pekerjaan serta sekolah, rumah sakit, air, dan listrik gratis. Janji-janji semacam ini menarik perhatian banyak orang, termasuk mereka yang tak tahu apa-apa soal ilusi khilafah yang menjadi “jualan” utama ISIS.

Beberapa dari orang-orang ini bahkan mengira perjalanan ke Irak dan Suriah tak lain seperti merantau ke negara lain, tempat mereka bisa bekerja dan menghasilkan uang untuk dikirim ke keluarganya di kampung halaman. Tapi, sampai di Suriah, mereka tak menemukan khilafah, melainkan kesusahan. Mimpi dan harapan untuk kehidupan yang lebih baik musnah sudah. Bahkan tak sedikit dari mereka yang menjadi korban kekejaman ISIS, terutama perempuan dan anak-anak.

Di antara ratusan warga negara Indonesia (WNI) bekas anggota ISIS itu tentu ada banyak yang masih menjadi penganut garis keras. Mereka adalah orang-orang yang telanjur jahat, bukan jihad. Mereka sudah memutuskan untuk tetap bertahan bersama ISIS, apa pun yang terjadi. Kembali ke Indonesia sama saja dengan menjual akidah dan menyerah kalah, sehingga mereka tak akan melakukannya. Beberapa percakapan WNI bekas ISIS di media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram, yang diduga kuat berada di kamp Al Hol di Suriah, saling bersahutan mengingatkan kawan-kawannya untuk menolak pulang ke Indonesia dan lebih baik menunggu para “ikhwan” datang menyelamatkan mereka. Mereka khawatir, kepulangan mereka hanya akan menjadi bahan ejekan dan tertawaan, terutama dari orang-orang yang mereka sebut “pendengki”.

Meski telah kalah dan pemimpin tertingginya, Abu Bakar al Baghdadi, tewas, ISIS tetap menjadi ancaman yang berbahaya. Apalagi belum lama ini juru bicara mereka, Abu Hamzah al Quraisy, telah menyebarkan dokumen yang berisi seruan untuk bersiap melakukan serangan balasan.

Untuk para WNI garis keras ini, tentu pemerintah harus bertindak tegas dengan menolak kepulangan mereka. Potensi bahaya yang mereka bawa sangat besar dan kita tak mau mengambil risiko untuk itu.

Kita perlu mendukung upaya pemerintah untuk melakukan pemetaan profil perorangan (profiling) yang lengkap terhadap para WNI mantan ISIS. Dengan demikian, kita bisa memberi pertolongan kepada mereka yang membutuhkan dan memberi hukuman kepada mereka yang memang layak mendapatkannya.

Repatriasi atau pemulangan eks ISIS bukan hanya masalah pemerintah Indonesia. Negara-negara lain yang warganya terperangkap di kamp penampungan juga mengalami hal serupa. Beberapa dari negara itu mulai memberlakukan perlakukan khusus untuk kebijakan repatriasi. Belanda, misalnya, hanya memulangkan anak-anak, dan orang tua mereka tak boleh ikut serta. Itu pun dengan syarat anak-anak itu harus mengikuti program deradikalisasi.

Bagaimana dengan Indonesia? Memulangkan WNI eks ISIS memang berpotensi besar membawa bahaya laten terorisme sehingga, dengan pertimbangan keamanan dalam negeri, pemerintah tak perlu berinisiatif untuk menjemput mereka. Meski begitu, kita tetap perlu meningkatkan kesiapsiagaan di dalam negeri, yang dimulai dengan profiling menyeluruh terhadap setiap WNI eks ISIS, khususnya terhadap potensi kerentanan mereka, sehingga kita bisa segera menentukan pola penanganannya. Ini dilanjutkan dengan menyiapkan sistem pengadilan untuk proses hukum para bekas kombatan.

Untuk yang diputuskan tak diproses secara hukum, seperti perempuan dan anak-anak, mereka tetap disiapkan untuk mengikuti tahap deradikalisasi dan rehabilitasi dengan bantuan dari Kementerian Sosial, khususnya dalam hal penempatan, yakni di Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus Handayani serta Rumah Perlindungan dan Trauma Center Bambu Apus. Selain itu, kita perlu melakukan resosialisasi dan reintegrasi yang ditujukan untuk memandu masyarakat agar siap menerima para eks ISIS ini kembali ke tengah-tengah mereka lagi.

Pemerintah juga perlu segera menerbitkan peraturan pemerintah mengenai deradikalisasi, khususnya untuk bekas kombatan. Mekanisme penegakan hukum tentu bisa diberikan kepada mereka, tapi hanya jika mereka sudah tertangkap. Peraturan ini diperlukan untuk menjadi landasan penanganan terhadap mereka yang belum tertangkap atau belum diproses secara hukum.

Dalam skala yang lebih besar, kita juga perlu lebih serius mengambil sikap tegas untuk praktik-praktik intoleransi dan diskriminasi. Keduanya adalah wadah untuk persemaian radikalisme dan terorisme. Jika tak segera diatasi, repatriasi ini hanya memindahkan para bekas ISIS ke lain kubangan, bukan mengentaskan mereka dari jurang kesengsaraan.

Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1311304/dunia-yang-adil-di-mata-isis/full&view=ok