Oleh A Tony Prasetiantono

Pengumuman kebangkrutan Lehman Brothers Holdings Inc, Senin (15/9), sepertinya telah memojokkan perekonomian global ke bibir jurang. Kini situasinya menjadi sangat kritis.

Bayangkan, bank investasi terbesar keempat di Amerika Serikat, yang sudah teruji selama 158 tahun, dengan aset 639 miliar dollar AS, bisa bangkrut. Padahal, bank ini pernah berhasil melewati masa- masa sulit saat terjadi kebangkrutan perusahaan kereta api di AS tahun 1800-an, depresi dunia tahun 1930-an, serta runtuhnya hedge fund Long-Term Capital Management (LTCM) pada tahun 1998. Kini semua kehebatan itu tak berbekas.

Meski krisis subprime mortgage sudah berlangsung sejak Juli 2007 dan beberapa bank investasi besar sempat mengumumkan kerugiannya, termasuk Citigroup dan Merrill Lynch, tetapi berita bangkrutnya Lehman Brothers merupakan hal yang mengejutkan. Sebagaimana kasus-kasus sebelumnya, kasus kerugian bank investasi biasanya berakhir dengan solusi bail out, yakni penyuntikan dana untuk menambah modal. Akhir-akhir ini, investor dari Timur Tengah (sovereign wealth fund) terlihat amat aktif memborong aset-aset perusahaan AS terkemuka. Investor Timur Tengah bahkan menyuntikkan dana puluhan miliar dollar AS ke Citigroup, bank universal yang menjadi salah satu ikon terpenting sektor finansial AS.

Kini, yang menjadi masalah adalah, banyak yang meyakini, kebangkrutan Lehman Brothers bukan kasus terakhir. Masih ada sejumlah kasus lain menyusul, yang antara lain disebabkan oleh risiko sistemik (systemic risk) karena Lehman Brothers memiliki banyak kewajiban kepada banyak kreditor. Seluruh utang Lehman Brothers mencapai 613 miliar dollar AS. Jumlah ini sedikit lebih rendah daripada asetnya yang diklaim 639 miliar dollar AS. Namun, apakah angka-angka itu valid? Kalaupun valid, berapa lama aset-aset itu bisa dicairkan?

Dua kreditor besar Lehman Brothers adalah Citibank dan Bank of New York Mellon, yang memegang obligasi 138 miliar dollar AS. Jika aset-aset itu tidak tertagih, bank-bank ini akan terkena dampak risiko sistemik. Seberapa parah kondisi ini akan menyeret perekonomian global ke jurang krisis atau resesi? Bagaimana implikasinya terhadap perekonomian Indonesia?

Tiga ”jurus”

Dalam menghadapi ancaman resesi ini, pemerintah federal AS setidaknya mengandalkan pada tiga ”jurus”, yang merupakan kombinasi kebijakan (policy mix) antara moneter, fiskal, dan penyelamatan korporasi finansial. Kebijakan moneter yang bisa dipilih adalah menurunkan suku bunga. Pada saat ini, suku bunga bank sentral (Fed funds rate) adalah 2,0 persen. Pilihan bagi Fed hanya dua: menurunkan suku bunga, misalnya menjadi 1,75 persen atau 1,50 persen, atau menahannya di level 2,0 persen. Kebanyakan analis ekonomi di AS, menurut survei Bloomberg, Selasa (16/9), berpendapat, The Fed cenderung akan menurunkan suku bunganya.

Memang hal ini berisiko. Inflasi year on year (12 bulan terakhir) AS kini sudah tinggi, 5,6 persen. Penurunan suku bunga akan memicu inflasi lebih tinggi. Namun, dengan harga minyak yang meluncur turun ke level 91 dollar AS per barrel, yang berarti bisa menekan inflasi, maka diduga The Fed akan memilih kebijakan ini. Penurunan suku bunga juga bisa membantu bursa saham mengalami rebound (memantul ke atas) karena dana akan mengalir dari pasar uang ke pasar modal.

Sementara itu, penurunan suku bunga AS juga akan menyebabkan mata uang dollar AS melemah terhadap euro dan poundsterling. Ini akan menjadi berita buruk bagi Eropa dan Inggris, yang selama ini sudah amat tertekan neraca perdagangannya akibat mata uangnya terlalu kuat. Mereka juga akan menurunkan suku bunga. Kawasan lain, misalnya Australia, juga menurunkan suku bunganya agar mata uangnya tidak menjadi terlalu kuat sehingga bisa memperbaiki neraca perdagangannya.

Sedangkan kebijakan stimulus fiskal dilakukan pemerintah federal melalui pengembalian uang pajak kepada masyarakat (tax refund) agar dapat dibelanjakan, sejumlah 157 miliar dollar AS. Kebijakan ini lumayan sukses, buktinya sisi konsumsi AS cukup tinggi sehingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi masih positif (sekarang 2,2 persen), yang berarti belum resesi. Para ekonom biasanya mendefinisikan resesi sebagai situasi pertumbuhan ekonomi negatif selama dua triwulan berurutan.

Yang agak membingungkan adalah kebijakan penalangan (bail out). Menteri Keuangan Henry Paulson menolak untuk menyelamatkan Lehman Brothers karena tidak mau menginjeksinya dengan dana yang berasal dari pajak yang dibayar masyarakat. Sikap ini juga dimaksudkan sebagai terapi kejut agar pengelola bank lebih berhati-hati (Jakarta Post, 16/9). Sikap ini agak aneh karena sebelumnya pemerintah mau menalangi Bear Stearns, Fannie Mae, dan Freddie Mac. Apa bedanya? Saya menduga penyebabnya karena kasus Lehman Brothers berskala jauh lebih besar. Jika ditalangi, bisa menimbulkan moral hazard. Ini tidak baik dari sisi tata kelola perusahaan (corporate governance). Namun, membiarkan Lehman Brothers mati sungguh berisiko. Bank- bank lain bisa berguguran terkena efek domino. Bisakah Menkeu Paulson berubah pikiran?

Meredakan kepanikan

Indonesia tidak bisa menghindar dari dampak negatif kejadian ini. Karena sedikitnya 50 persen investor di Bursa Efek Indonesia adalah pemain asing, maka kepanikan di New York serta-merta juga diekspresikan di Jakarta. Akibatnya, bursa efek kita kalang kabut dan indeks harga jatuh ke 1.700-an atau kembali ke level akhir 2006.

Secara teknis, agak sulit mencegah para investor asing tidak menarik dananya dari Jakarta. Mereka sedang berusaha mengurangi kerugian di New York dengan melepas aset di Jakarta. Namun, bagi investor domestik, otoritas bursa harus berusaha meyakinkan mereka bahwa seharusnya tidak ada hubungan langsung antara kepanikan sektor finansial di New York dan di Jakarta. Karakteristik bank-bank investasi AS berbeda, mereka memiliki exposure di kredit perumahan yang kurang berkualitas (subprime mortgage) dan produk turunannya. Sedangkan bank-bank di Indonesia, tidak memiliki exposure semacam itu. Bank-bank kita lebih banyak bermain di kredit konsumen dan komersial, yang relatif lebih aman. Justru dengan harga saham yang sedang rendah di Jakarta, inilah saatnya membeli, bukan menjual.

Secara fundamental, perekonomian Indonesia sebenarnya sedang baik-baik saja meski tidak terlalu impresif. Pertumbuhan ekonomi semester I-2008 sebesar 6,39 persen termasuk baik dan di luar dugaan. Industri perbankan juga mencatat kinerja yang mengejutkan. Ekspansi kredit mencapai 35 persen, suatu level yang tak terbayangkan sebelumnya. Akibatnya, indikator loan to deposit ratio (LDR) atau rasio antara kredit berbanding dana pihak ketiga mencatat rekor tertinggi sejak krisis 1998, yakni 76 persen. Artinya, industri perbankan sedang berakselerasi.

Memang ada masalah inflasi (y-o-y) yang kini 11,85 persen. Namun, itu bisa dipahami karena kenaikan harga BBM domestik yang tak terhindarkan akibat harga minyak dunia yang pernah mencapai 147 dollar per barrel (11/7/2008). Bahkan negara Singapura pun, yang mestinya gampang menangani inflasi, ternyata gagal (inflasi 6,5 persen). Inflasi yang jauh lebih tinggi dialami Pakistan (23 persen) dan Vietnam (27 persen). Masalah lain adalah surplus perdagangan yang menipis menjadi tujuh miliar dollar AS (Januari-Juli 2008), jauh menurun dibandingkan hampir 40 miliar dollar AS di sepanjang 2007. Melemahnya surplus perdagangan ini ikut memberi andil penurunan cadangan devisa Bank Indonesia, dari 60 miliar dollar AS menjadi 57 miliar dollar AS.

Semua gambaran fundamental itu sebenarnya tidak perlu membuat panik bursa efek kita. Terlebih dengan harga minyak yang kini 91 dollar per barrel, mestinya menimbulkan optimisme bahwa ancaman inflasi dari faktor eksternal (imported inflation) dapat dikendalikan. Jadi, kunci solusi dari gonjang-ganjing ini adalah apakah kepanikan dapat dikendalikan?

Mudah-mudahan para pelaku bursa segera kembali menemukan rasionalitasnya, dan memborong kembali saham-saham yang kini berharga murah. Kerja sama bank sentral negara-negara maju untuk memasok likuiditas juga akan menjadi faktor kunci. Di Indonesia, upaya Departemen Keuangan untuk mencairkan dana Rp 120 triliun dari rekeningnya di Bank Indonesia, untuk dibelanjakan secara efektif bisa menjadi stimulus fiskal yang bisa meredakan ketegangan likuiditas, yang akhir-akhir ini sedemikian ketat.

A Tony Prasetiantono Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Chief Economist BNI

Sumber : Kompas