Beranda Klinik Hukum Elektabilitas dan Kepemilikan Media Massa

Elektabilitas dan Kepemilikan Media Massa

259

Hiruk pikuk jelang pemilihan calon legislatif (Pileg) 9 April 2014 makin dekat makin seru, khususnya di media massa. Pimpinan partai ramai-ramai dan silih berganti “jual diri” dan “jual partai”, siapa tahu “dibeli” rakyat. Tidak hanya melalui iklan yang secara gamblang merupakan advertorial alias promosi, sang politisi yang memiliki media massa bahkan tidak malu-malu lagi menerapkan jurnalisme onani, alias orgasm jurnalism. Tujuannya tentu saja untuk mendongkrak elektabilitas lalu menuai kuri di DPR/D yang banyak.

Secara umum, elektabilitas menunjukkan tingkat keterpilihan yang disesuaikan dengan kriteria pilihan, yang bisa diterapkan kepada barang, jasa maupun orang, badan atau partai. Elektabilitas parpol berarti tingkat keterpilihan parpol itu di mata publik. Untuk meningkatkan elektabilitas maka objek (parpol dan politisi) harus memenuhi kriteria keterpilihan dan juga populer. Populer hanya salah satu unsur elektabilitas, karena, popularitas adalah tingkat keterkenalan di mata publik, yang, meskipun populer belum tentu layak dipilih. Sebaliknya meskipun punya elektabilitas tinggi tetapi tidak diketahui publik, alias miskin popularitas, maka publik belum tentu memilihnya. Untuk itu lah iklan politik kini memenuhi ruang dengar dan ruang penglihatan kita.

Iklan-iklan politik telah bertebaran di mana-mana, baik baliho, selebaran, iklan di media cetak, pun iklan elektronik di berbagai TV, Radio, portal, dan seterusnya yang mencekoki indra penglihatan dan pendengaran kita. Harapannya, dari hati dan telinga mengalir ke hati pemirsa, lalu menjatuhkan pilihan padanya. Berbagai peristiwa dan dinamika di tengah masyarakat, dimanfaatkan, bahkan bahkan bencana dan musibah di-setting sedemikian menjadi ajang mencari benefit polularitas untuk menunjukkan betapa “the best-nya” dan me-rakyatnya mereka, sedangkan yang lainnya pecundang.

Prabowo Subianto, yang tidak memiliki perusahaan media itu, merupakan pembayar iklan politik terbesar sejak pemilu 2009. Sedangkan pemilik media massa yang juga pimpinan partai memiliki kesempatan yang lebih banyak mendongkrak elektabilitas diri dan parpolnya, dan melorotkan elektabilitas lawan. Hari-hari ini tengah terjadi jurnalisme onani di media massa kita, dimana petinggi dan pemilik perusahaan media yang juga politisi diberitakan medianya sendiri untuk tujuan yang tidak bersifat jurnalistik, tetapi mementingkan kepuasan sendiri daripada memenuhi hak rakyat untuk mendapatkan berita yang akurat.

Bisa disimak, berita baik Partai Golkar dan petingginya muncul dengan frekwensi tinggi di AnTV dan TVOne, sedangkan berita jeleknya muncul di MetroTV. Berita baik Partai NasDem dan petigginya ramai di MetroTV, tetapi sepi di TV lainnya. Di sisi lain, berita buruk Partai Demokrat sering muncul di semua TV swasta, tetapi minim di TVRI. Grup MNC ramai-rama dan sering-sering memberitakan kegiatan positif dan politik Partai Hanura dan Wiranto/Hary Tanoe (HT)

Hal di atas dimungkinkan karena Ketum Partai Golkar Aburizal Bakrie adalah pemilik dua stasiun televisi yaitu ANTEVE dan TVOne. Hary Tanoe (HT) pemilik RCTI, TV Global, dan jaringan MNCTV lainnya, Surya Paloh Ketum Partai NasDem pemilik MetroTV. Sedangkan TVRI, tentu saja milik pemerintah, yang tidak berani memberitakan penyakit parpol pemerintah.

Iklan-iklan di media dan “presudo-news” melalui jurnalisme onani mencoba mendekripsikan dewa-dewi politik, mendramatisasi peran parpol memperjuangkan nasib rakyat, meluncurkan janji-janji surga, memuji-muji calon pemilih, memojokkan lawan politik dan sebagainya melalui “pseudo-news”. Masyarakat pemilih dianggap hanya sekedar pembeli putus “produk” yang ditawarkan parpol dengan benefit yang seolah begitu real padahal sangat abstrak. Padahal, bila pemilih berhasil “terperangkap” iklan partai, semestinya merupakan wahana agregasi kepentingan pemilih kepada partai, dan berlangsung jangka panjang. Selanjutnya, melalui rangkaian aktivitasnya, partai semestinya membangun “custome satisfaction” bagi pemilih, sehingga tidak “jual putus”.

Sebagai hasil dramatisasi, iklan tidak bakal mendekripsikan fakta sebenarnya. Lebih merupakan gombal menaikkan elektabilitas, sedangkan pemilih gampang lupa janji politisi. Iklan politik itu jauh dari kenyataan, hanya berupa janji surga. Bukankah iklan parpol pemenang pemilu 2009 mengatakan “Katakan Tidak Pada Korupsi” – PadaHal korupsi besar-besaran danbanyak kadernya yang terlibat! Demikian hanylnya pseduo-news jurnalisme onani, cenderung merupakan penggiringan opini, penyesatan dan pembodohan.

Kita percaya, setiap yang menginginkan bangsa ini maju, setuju bila para pemilih pada 9 April 2014 hendaknya tidak lagi termakan janji-janji surga yang sarat gombal, kemunafikan, penyesatan, dan pembodohan hanya karena popularitas. Elektabilitas tidak sama dengan popularitas. Pemilih perlu sadar dan lebih mengetahui, parpol dan politisi mana yang hanya memenuhi syahwat kekuasaan untuk mengabdi pada diri sendiri, dan yang meraih kekuasaan untuk melayani dan mengabdi kepada kepentingan masyarakat banyak.

Bandung, 26 Januari 2014

Bernard Simamora