Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia ikut andil dalam rencana kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Kebijakan itu bukan semata-mata pertimbangan kepentingan nasional. Ada agenda internasional yang diwajibkan kepada Indonesia untuk terus meliberalisasi sektor minyak dan gas (migas). Kebijakan menaikkan harga BBM juga bagian dari kesalahan pemerintah mematok harga minyak lokal dengan harga internasional.
“Beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) di tengah kenaikan harga minyak dunia, makin terasa tinggi karena alokasi anggaran pembayaran utang senilai Rp 158 triliun tidak boleh diutak-atik. Ini menyangkut kepentingan multilateral seperti IMF dan Bank Dunia,” kata pengamat ekonomi Indonesia Bangkit Dr. Hendri Saparini di Jakarta, Minggu (18/5).
Dia menegaskan, penundaan atau penjadwalan ulang pembayaran utang, bisa mengurangi beban APBN dan pada akhirnya harga BBM tidak perlu dinaikkan. Tanpa menaikkan harga BBM meski harga minyak di pasar dunia menembus 128 dolar AS per barel, kata Hendri Saparini, tidak akan membuat APBN kolaps. Apabila BBM dinaikkan 35% dari harga yang berlaku saat ini, penghematan anggaran sekitar Rp 35 triliun. Sebanyak Rp 14 triliun saja yang disalurkan untuk bantuan langsung tunai (BLT). “Sisanya (Rp 21 triliun) untuk menutup defisit anggaran akibat pembayaran utang Rp 158 triliun,” ujarnya.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) itu menegaskan, “Pilihan menaikkan harga BBM merupakan kebijakan tidak adil. Yang untung hanya segelintir orang.”
Surplus
Mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie menyatakan, kesalahan sangat mendasar bagi pemerintah dengan mengukur harga minyak dalam negeri dengan harga internasional. Akibatnya, Pertamina harus membayar harga minyak kepada menteri keuangan dengan harga internasional. Ini yang dijadikan patokan dan melegitimasi Pertamina boleh menjual BBM dengan harga tinggi di tingkat lokal.
Dia menyatakan, penjualan pertamax Rp 4.500,00 per liter sebenarnya masih ada kelebihan bila diperhitungkan dari biaya eksplorasi, proses minyak, sampai distribusi sebesar Rp 6.300,00/liter. Dengan harga jual pertamax Rp 4.500,00, ada kelebihan Rp 3.870,00 per liter. “Bagaimana bicara subsidi?” katanya.
Dia menyebutkan, pemerintah mematok harga BBM lokal saat ini setara Rp 5.500,00/liter. Oleh karena itu, diperhitungkan ada subsidi.
Pakar ekonomi lulusan Belanda ini menyatakan, model hitungannya telah disodorkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Presiden tidak menanggapi,” ujarnya.
Hal serupa pernah disampaikan kepada menteri-menteri pada masa presiden sebelumnya, juga tidak diterima oleh mereka.
PB NU menolak
Sementara itu, Pengurus Besar (PB) NU akan mengirim surat kepada Presiden SBY, Senin (19/5) yang berisi permintaan pembatalan kenaikan harga BBM.
“PB NU meminta pemerintah membatalkan rencana kenaikan harga BBM atau setidaknya menunda,” kata Ketua Umum PB NU K.H. Hasyim Muzadi seusai menerima para kiai pendiri PKNU di Pondok Pesantren Al Hikam, Kota Malang, Minggu (18/5).
K.H. Hasyim Muzadi menilai, alasan pemerintah yang menyatakan subsidi hanya untuk orang kaya adalah logika sementara. Artinya, logika ini harus dihilangkan karena secara logika, penghapusan subsidi akan berdampak pada kenaikan harga sembilan bahan pokok. Kenaikan harga sembilan bahan pokok ini akan membebani masyarakat. “Rakyat belum siap dengan kenaikan harga barang-barang,” ujarnya.
Menurut Muzadi, upaya-upaya yang harus diambil pemerintah untuk mengatasi beban APBN adalah dengan mengoptimalkan efisiensi sejumlah pos anggaran. “Soal mana pos anggaran yang harus diefisiensi, PB NU menyerahkan ke pemerintah,” ujarnya.
PB NU juga meminta agar DPR dan pemerintah mempunyai pandangan yang sama soal kenaikan harga BBM. Jika tidak, rakyat tidak akan memercayai pemerintah dan DPR soal berbagai alasan kenaikan harga BBM. (A-84/Tmp)***
sumber : Pikiran Rakyat